TEMPO.CO, Jakarta - Praktek jual-beli lahan di wilayah konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terus terjadi. Saat Tempo mengunjungi Desa Gunung Pincung, Lokapurna, pada pekan lalu, warga masih menawarkan lahan di daerah yang termasuk wilayah konservasi sejak 2003.
"Masih banyak lahan, mau luasnya berapa? Yang lahan kosong atau ada bangunannya?" seorang tukang kebun bertanya, sebut saja namanya Ahmad, saat Tempo berpura-pura menyari lahan. Ahmad menawarkan lahan seluas 2.000 meter persegi berikut bangunan 100 meter persegi dengan harga Rp 60 juta. “Saya tak menargetkan berapa nilai jasanya ya, seikhlasnya saja,” kata Ahmad tak sungkan.
Praktek menawarkan lahan di sekitar Gunung Salak Endah--sebutan buat TNGHS, sudah menjadi hal biasa bagi warga. Menurut Haji Onden, 62 tahun, tokoh perantara atau makelar tanah senior, menyatakan praktek terjadi sejak 1974. Saat itu wilayah Lokapurna mulai dilirik sejak beberapa jenderal seperti Mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal TNI (Purn.) H. Poniman (almarhum) dan Jenderal TNI Soerjadi Soedirja datang ke kawasan.
Pertama kali harga lahan yang dimakelari Haji Onden pada 1975 nilainya satu ringgit per meter persegi. “Itu harga lahan di dalam. Kalau di pinggir jalan sudah sepuluh perak,” tuturnya, sembari mengisap rokok putih. Dia menjelaskan, lahan di wilayah Lokapurna itu statusnya lahan garapan dan bukan hak milik. “Kami menyebutnya oper-alih lahan, bukan jual-beli,” katanya.
Sepuluh tahun kemudian, harga lahan naik pesat menjadi Rp 10 ribu per meter persegi. Harga melonjak setelah ditemukan obyek wisata seperti Curug Seribu dan Curug Cigamea. Belakangan, pada 1987, Pemerintah Daerah Bogor menetapkan wilayah Gunung Salak Endah sebagai obyek wisata Puncak kedua.
Penetapan sebagai Puncak II itu membuat transaksi lahan kian ramai. Apalagi pemerintah membangun jalan utama desa menjadi aspal selebar 4 meter. Sekarang tanah di pinggir jalan di Desa Gunung Sari, yang menjadi bagian wilayah Lokapurna, bernilai Rp 30-40 ribu per meter persegi atau Rp 300-400 juta per hektare. Tanah yang letaknya di dalam menjadi Rp 25 ribu per meter. Biasanya dari setiap transaksi Haji Onden mendapat jatah 5 persen, yang berasal dari pembeli dan penjual masing-masing 2,5 persen.
Tim Investigasi majalah Tempo edisi 4-10 Maret 2013 menulusuri hulu Sungai Ciliwung dan Cisadane. Kondisi keduanya mengenaskan. Banyak area tangkapan air yang telah beralih fungsi menjadi bangunan vila. Bahkan ratusan vila berdiri di zona inti Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pemiliknya adalah para penggede negeri ini, dari pengusaha, artis, politikus, hingga jenderal. Pembiaran berlangsung bertahun-tahun, Bupati Bogor dan Menteri Kehutanan saling tuding.
TIM INVESTIGASI TEMPO