TEMPO.CO, Wisconsin - Tahukah Anda bahwa memberikan komentar bernada marah akibat membaca sebuah tulisan atau artikel di sebuah situs ternyata justru akan membuat Anda semakin marah. Dua hasil penelitian menunjukkan hal tersebut.
Riset pertama menunjukkan, saat seorang pengunjung sebuah situs marah-marah, setelahnya mereka merasa lebih rileks. Tetapi, secara keseluruhan, mereka cenderung merasa lebih marah dalam mengungkapkan rasa frustrasi dengan cara yang negatif.
Penelitian kedua menemukan, baik yang membaca komentar bernada kemarahan maupun yang menulisnya, sama-sama terkait dengan mood negatif. Kedua hasil riset tersebut dipublikasikan di jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, seperti dikutip situs Health Day edisi 22 Maret 2013.
"Internet membawa problem impulsif lebih dari yang lain," kata ketua penulis hasil riset, Ryan Martin, Associate Professor of Human Development and Psychology University of Wisconsin-Green Bay. "Sangat mudah untuk merespons seketika saat Anda sangat marah," dia menambahkan.
Martin mengatakan, hasil studi ini tidak hanya berfokus pada kemarahan di situs, tapi juga berimplikasi pada Facebook, Twitter, situs berita, maupun blog. Ia mengatakan, kombinasi menjadi anonim dengan menggunakan nama samaran dan mempunyai jarak sosial mengurangi kendala komunikasi dalam berinteraksi.
Martin mengatakan, situs yang berfungsi sebagai tas penampung virtual mendorong perilaku yang membahayakan. "Sebagian dari situs ini mendorong pengeluaran emosi sebagai cara untuk mengatasi kemarahan," kata dia. "Mereka berpikir bahwa mengungkapkan emosi merupakan cara sehat yang adaptif, padahal tidak."
Menanggapi hasil riset ini, beberapa pakar berbeda pendapat. Andrea Weckerle, presiden dari CiviliNation, sebuah lembaga nonprofit yang bekerja untuk menurunkan ketidakramahan online dan kekerasan di dunia maya pada orang dewasa, mengatakan bahwa kecilnya jumlah partisipan dalam kedua riset itu seharusnya diartikan sebagai stimulus diskusi mengenai isu kemarahan di Internet. Bahkan, dalam penelitian kedua, lanjut dia, partisipan terbatas pada mahasiswa sehingga kecil kemungkinan untuk bisa diterapkan secara umum.
Namun Weckerle mengaku bahwa masalah ini memang terjadi. "Kemarahan online adalah krisis kesehatan publik. Kehidupan dirusak dengan agresi kemarahan online," kata dia. Ketika sebagian orang merasa bahwa boleh saja mengungkapkan kemarahan di situs karena Internet adalah dunia yang terpisah, Weckerle mengatakan bahwa anggapan itu keliru.
HEALTH DAY | ARBA'IYAH SATRIANI
Berita Lain:
Barista, Duta Kopi Indonesia
Bersihkan Vagina dengan Sabun Timbulkan Infeksi
Minuman Energi Meningkatkan Tekanan Darah
Stres Melanda, Jauhi Delapan Makanan Ini