TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Irjen Mabes TNI Letnan Jenderal (Purn) Djaja Suparman kini jadi terdakwa korupsi. Sejak lama kasus korupsi di lingkungan militer seperti sulit disentuh. Hasil persidangan atas mantan Pangdam Brawijaya yang juga pernah jadi Pangkostrad ini akan jadi tolok ukur apakah akuntabilitas keuangan TNI sudah menunjukkan indikasi perbaikan.
Kasus Djaja Suparman sendiri berawal pada 1998 silam. Ketika menjabat Pangdam Brawijaya, Jenderal Djaja Suparman menyetujui pembelian lahan 8,8 hektar milik Kodam oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada. Perusahaan itu hendak membangun jalan tol dari Waru, Sidoarjo ke Tanjung Perak, Surabaya. Djaja setuju melepas tanah negara itu senilai Rp 17,4 miliar. Anehnya, uang hasil pembelian itu tak pernah dia setorkan ke kas negara.
Pada persidangan perdana perkara ini, pada akhir April 2013 lalu, Jenderal Djaja hadir dengan seragam militer. Dia diadili di Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya. Hakim dan jaksa dalam kasus Djaja ini juga jenderal. Oditur militer yang menangani perkara ini adalah Letnan Jenderal Sumartono, sementara majelis hakim diketuai Letnan Jenderal Hidayat Manao.
Dalam sidang, Djaja membantah semua dakwaan. "Saya tidak korupsi. Saya tidak mengerti dakwaan oditur, mengapa saya dinyatakan menggunakan uang ganti rugi untuk kepentingan pribadi," kata Djaja. Menurutnya, yang terjadi ketika itu adalah ruislag alias tukar guling. Duit dari PT Citra Marga pun berstatus hibah. Selain itu, Djaja mengeluh kalau haknya banyak dilanggar.
"Penyidikan kasus saya selesai 2009, tapi baru Juni 2011 dilimpahkan ke pengadilan. Hak asasi saya telah dilanggar," kata Djaja. Dia mengaku aktif menghubungi Mabes TNI agar kasusnya segera disidangkan agar segera ada kejelasan secara hukum. Djaja mengaku keluarganya terus-menerus ikut menanggung opini negatif karena dia dituding sebagai koruptor. "Sebelum saya dipanggil Allah, saya ingin nasib saya ada kejelasan," kata lulusan AKABRI 1972 yang kini berusia 66 tahun itu.
Penasehat hukum Djaja dari Lembaga Bantuan Hukum Pancasila, Teguh Santoso, yang turut membacakan eksepsi menambahkan, hubungan kliennya dengan PT CNMP adalah hubungan privat. Karena itu, kata dia, perkara tersebut menjadi urusah hukum perdata dan disidangkan di pengadilan negeri. "Tidak ada uang negara yang dikorupsi, karena PT CNMP bukan BUMN atau BUMD," kata Teguh.
Teguh juga menilai dakwaan oditur militer kabur dan tidak cermat. Karena itu ia mendesak agar persidangan dihentikan. "Sidang harus dihentikan, karena klien saya tidak melanggar hukum," kata dia.
KUKUH S WIBOWO
Berita Terpopuler:
Kronologi Pemotongan 'Burung' oleh Gadis Bercadar
Ditanya Soal Darin Mumtazah, Luthfi Melirik
Gadis Bercadar Potong 'Burung' dengan Cutter
Petinggi PKS Temui Din Syamsuddin
Tiga Pelajar SMP Gagalkan Pemerkosaan oleh Tukang Ojek