TEMPO.CO, Jakarta - Ada dua kegagalan paradigma pembangunan dalam praktek pengelolaan laut Indonesia. Indonesia semakin jauh disebut negara maritim, padahal dari sisi wilayah laut mendominasi dua pertiga dari keseluruhan luas Indonesia.
Kegagalan pertama, pembangunan gagal menempatkan laut sebagai ruang hidup menyatukan. Dengan komposisi sekitar 60 persen rakyat Indonesia tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bahkan sebagian rakyat di antaranya ada yang melanjutkan tradisi hidup di atas laut, kondisi ini jelas merugikan.
Lalu, penyeragaman pembangunan kota-kota pantai dan moda transportasi cenderung mengarah pada wilayah daratan, seperti di Pulau Jawa, telah menyulitkan akses antarpulau di timur Indonesia yang membutuhkan moda transportasi laut. (Baca: RI Dorong Keamanan Pangan dan Sektor Kelautan)
“Belakangan, laut juga diposisikan sebagai tong sampah raksasa dengan adanya 5,3 juta ton dari 7 juta ton limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) memenuhi lingkungan dan muara sungai di seluruh wilayah pesisir Indonesia,” kata Dr M. Riza Damanik dalam diskusi Teknologi, Ekonomi Kelautan, dan Kewirausahaan pada 2 November 2013 di ASEAN Room, Hotel Sultan, Jakarta.
Diskusi yang digelar Yayasan Suluh Nuswantara Bakti dan digagas Pontjo Sutowo itu menampilkan pembicara Prof Dr H. Didin S. Damanhuri, M. Harjono Kartohadiprodjo SH, Dr M. Riza Damanik, dan moderator Prof Dr Bambang Wibawarta.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice dan Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) ini, celakanya, pemerintah justru membiarkan dan menerima pasokan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang datang dari berbagai negara, seperti dari Jepang, Cina, Prancis, Jerman, India, Belanda, dan Korea.
Di Nusa Tenggara Barat, misalnya, ada 140 ribu ton limbah tailing dari PT Newmont Nusa Tenggara yang setiap hari dibuang ke Teluk Senunu. Selain lingkungan, kehidupan nelayan secara ekonomi, sosial, dan budaya terpuruk.
Minimnya instrumen pertahanan dan keamanan di laut membuat semakin suburnya praktek kejahatan di kepulauan Indonesia, seperti pencurian ikan, penyelundupan kayu, narkoba, sampai perdagangan antarmanusia.
Indonesia dikondisikan jadi negara kontinen. Market di luar, kalau negara kelautan, pasar di dalam. "Kini kondisinya lebih murah kirim ikan dari Sulawesi ke Vietnam daripada ke Jawa," kata Riza.
Kedua, hilangnya pertimbangan dimensi sosial budaya kelautan dalam tiap tahapan diplomasi internasional yang mengikat Indonesia.
EVIETA FADJAR
Berita Terpopuler
Kesal Pemberitaan Tempo, Roy Suryo Kutip SBY
Roy Suryo Tuntut Tempo.co Minta Maaf
Ada Aliran Duit Mencurigakan di Rekening Wawan
Pengamat Ragukan Kemampuan Hamdan Zoelva Pimpin MK
Rekrutmen CPNS Diduga Sarat Kecurangan