TEMPO.CO, Jakarta - Topan terbesar sepanjang sejarah yang melanda Filipina pada Jumat, 8 November 2013, menyisakan banyak derita. Tak hanya korban yang meninggal hingga 10 ribu jiwa, korban selamat masih perlu banyak perawatan. Khususnya, penangangan pascabencana agar korban selamat bisa terus bertahan hidup. “Ada tiga langkah utama,” ujar Jhon Oxford, profesor virologi dari Bart and The London School of Denstistry, dalam acara peluncuran Studi Terbaru Global Hygiene Council di Ritz Carlton, Jakarta, Selasa, 12 November 2013.
Oxford, yang juga Ketua Dewan Hygiene Global, menuturkan bahwa yang perlu diselamatkan adalah pasokan air bersih. Air bersih adalah cara menyelamatkan pengungsi yang selamat. Baik untuk kehidupan harian mereka maupun untuk perawatan pengungsi yang masih sakit. Air, kata Oxford, bisa jadi sumber penyakit yang mematikan seusai bencana. "Air berpeluang jadi terkontaminasi berbagai penyakit," kata dia.
Langkah kedua adalah pemisahan korban. Dalam setiap bencana, korban selalu tinggal dalam satu tempat penampungan. Tempat yang besar itu, menurut Oxford, harus disekat antara yang sehat dan yang sakit. "Bisa apa saja, sih, sebenarnya, tergantung kebutuhan," ujar dia. Artinya, bisa antar-jenis kelamin, berdasar usia, atau kondisi kesehatan.
Terakhir, ia melanjutkan, adalah membersihkan kondisi tempat yang tidak terkena bencana. Mulai dari nyamuk, sampah, dan genangan air harus dijauhkan dari pengungsi yang rata-rata kondisi psikis dan fisiknya menurun. Dengan situasi tersebut, penularan penyakit mudah sekali. Mulai dari tifus, pneumonia, malaria, kolera, hingga polio. Sebab, waktu bencana muncul, Oxford mengatakan, penyakit-penyakit yang dulu diperkirakan hilang bisa timbul kembali. Seperti kasus wabah kolera pascagempa Haiti (2010-2013) atau ancaman polio di Suriah (2013).
DIANING SARI
Baca juga:
AS Siap Bantu Upaya Pemulihan Akibat Topan Haiyan
Korban Topan Haiyan Mencapai 10 Ribu Orang
Topan Haiyan Tewaskan 5 Persen Penduduk Tacloban
Topan Haiyan, Filipina Umumkan Darurat Bencana