TEMPO.CO, Istanbul - Turki menempati urutan kedua setelah Cina dalam hal pembatasan konten Internet. Hal ini terungkap dalam sebuah laporan baru yang dirilis Yayasan Penelitian Kebijakan Ekonomi Turki (TEPAV) di tengah mencuatnya kontroversi undang-undang Internet bar, yang dituding akan memudahkan pemerintah membatasi dan mengontrol penggunaan Internet.
Seperti dilansir Hurriyet Daily News, laporan ini muncul pada Ahad, 9 Februari 2014, beberapa hari setelah parlemen Turki mengesahkan undang-undang Internet yang baru. Berdasarkan undang-undang ini, Direktorat Telekomunikasi Turki (TIB) dapat memblokir akses ke situs-situs yang dianggap melanggar privasi atau memiliki konten "menghina" tanpa putusan pengadilan.
Undang-undang Internet yang baru telah disetujui parlemen Turki pada 5 Februari lalu waktu setempat. Pengesahan ini lantas menimbulkan protes dan kecaman berbagai pihak yang menuding pemerintah berusaha memperkuat kontrol atas aktivitas warganya di dunia maya.
Lolosnya undang-undang Internet oleh parlemen memicu aksi demonstrasi pada Sabtu lalu yang menolak dan memaksa Presiden Turki Abdullah Gul untuk tidak meratifikasi undang-undang tersebut. Bentrokan tak terelakkan antara demonstran dan petugas polisi yang menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa.
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan menolak tudingan mengenai upaya sensor dan pembatasan itu. "Peraturan ini sama sekali tidak memaksakan sensor di Internet. Sebaliknya, undang-undang ini akan membuat masyarakat menjadi lebih aman dan bebas," kata Erdogan di tengah ribuan pendukungnya di Istanbul. Dia juga membantah pihak berwenang akan memiliki akses informasi pribadi pengguna Internet.
Partai-partai oposisi, Asosiasi Bisnis dan Industri Turki (TUSIAD), dan organisasi internasional lainnya mendesak Presiden Abdullah Gul untuk memveto undang-undang tersebut.
Sementara itu, menurut sebuah penelitian tentang penggunaan Internet, biaya berlangganan Internet di Turki juga lebih mahal daripada negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Di Turki, rata-rata biaya berlangganan Internet berkecepatan tinggi US$ 621 per tahun. Sedangkan di Luksemburg, biaya dengan kecepatan sama hanya US$ 112 per tahun. Hasil penelitian itu juga mengungkapkan pada 2009, 62 persen populasi di Turki ternyata tidak pernah menggunakan Internet.
HURRIYET DAILY NEWS | ROSALINA
Berita Lain
Mengapa Bos Sritex Lukminto Masuk Islam?
Dana Haji Diduga Dipakai Beli Mobil Pejabat
Reaksi Anggito Saat Dilapori Korupsi Dana Haji
Kasus Sisca Yofie, Ini Kesaksian Istri Terdakwa