TEMPO.CO, Yogyakarta - Aktivis dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Hasrul Halili mendesak DPR RI mengendapkan terlebih dahulu proses pembahasan RUU KUHP dan KUHAP. Dia bermaksud mendesak anggota dewan tidak terburu-buru mengesahkan kedua RUU itu. "Tidak perlu dibatalkan, tapi kaji ulang," kata dia.
Menurut Hasrul cara anggota dewan menanggapi kritik terhadap isi materi RUU KUHP dan KUHAP, yang sebagian pasalnya berpotensi menghambat pemberantasan korupsi, tidak tepat. Menurut dia dewan tidak bisa melemparkan kesalahan ke pemerintah yang mengajukan draft kedua RUU itu. "Ini tontonan tidak mendidik untuk publik," kata dia.
Hasrul mengatakan dewan sebaiknya menanggapi kritik dengan menghentikan dulu proses pembahasan. Dewan perlu menjaring banyak pertimbangan dari pegiat anti korupsi dan semua lembaga penegak hukum untuk memperbaiki draft RUU KUHP dan KUHAP. "Undang-undang ini memang butuh revisi tapi jangan sampai terburu-buru," kata dia.(baca juga: Busyro: Rakyat Tak Bakal Pilih Penjegal KPK)
Menurut Hasruk, secara paradigmatik ada kemunduran dalam politik hukum di perumusan sebagian pasal. "Publik harus mengawal ketat pembahasaanya," kata dia.
Aktivis PUKAT UGM, Oce Madril juga menganggap politik hukum pemerintah dalam perumusan draft dua RUU itu bermasalah. Secara makro, dia menilai pemerintah telah menurunkan derajat korupsi sekedar kejahatan biasa ketika merumuskan sejumlah pasal. "Disamakan seperti pencopetan, jadi penanganannya biasa saja," kata dia.
Menurut Oce pandangan seperti itu jelas tampak di pasal mengenai penghapusan penyelidikan, penyitaan bukti, penyadapan dan penghapusan undang-undang anti korupsi. Label kejahatan yang sangat serius terhadap korupsi tidak ada dalam RUU KUHP dan KUHAP. "Ini kemunduran jauh ke belakang," kata dia.
Oce menilai perdebatan dalam perumusan materi RUU KUHP dan KUHAP selama ini terlalu didominasi oleh pemerintah dan DPR. Padahal, semua institusi penegak hukum, yang akan menerima imbas langsung penerapan dua RUU itu, belum banyak dilibatkan. "Buka dulu ruang perdebatan isi materinya secara luas, saatnya legislasi juga menjadi milik publik," kata dia.(baca: Revisi KUHAP Dicurigai Ajang Balas Dendam Parpol)
Mantan hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, Sahlan Said menilai perumusan RUU KUHP dan KUHAP tidak banyak melibatkan praktisi hukum. Dia melihat indikasi fakta itu di pasal yang melarang hakim menjatuhkan hukuman lebih berat ketimbang putusan pengadilan di bawahnya. "Padahal kesimpulan hakim agung pada putusan kasus penganiayaan ringan yang kemudian dianggap penganiayaan berat pasti berimplikasi ke ukuran hukuman," kata dia.(baca: Revisi KUHAP, Busyro: KPK Coba Digorok Lagi)
ADDI MAWAHIBUN IDHOM