TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad menolak membuka data nasabah untuk kepentingan penerimaan pajak. Menurut dia, berdasarkan Undang-Undang Perbankan, data nasabah hanya bisa dibuka jika menyangkut soal tindak pidana pajak dan harus melalui permintaan Menteri Keuangan kepada otoritas.
"Kami mengikuti aturan saja. Jika aturannya mengharuskan seperti itu, kami tentu harus ikut," kata Muliaman di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 3 Maret 2014. (Baca juga: Buka Data Bank untuk Pajak, Kemenkeu Gandeng OJK)
Menurut Muliaman, saat pengawasan perbankan masih berada di bawah Bank Indonesia, prosedur permintaan pembukaan data nasabah itu sudah dilakukan. Namun, hanya terbatas pada persoalan tindak pidana atau pelanggaran perpajakan. "Jadi itu sudah berjalan. Jika permintaan untuk penerimaan pajak tidak bisa. Karena aturannya memang seperti itu," ujar Muliaman.
Sementara itu, Direktur Utama Bank Negara Indonesia, Gatot S. Wondo, tidak mau banyak berkomentar soal itu. Ia mengatakan hanya akan mematuhi aturan yang ada mengenai prosedur pembukaan data nasabah. "Kan sudah ada aturannya, dulu dari Menteri Keuangan ke Gubernur BI dan sekarang ke OJK. Kok, dibuat aturan lagi?" kata dia. Mengenai permintaan data tersebut otomatis untuk kepentingan penerimaan pajak, Gatot tak mau berkomentar. "No comment soal itu." (Lihat juga: Chatib Minta OJK Restui Pembukaan Data Bank)
Direktur Utama Bank Tabungan Negara, Maryono, berpendapat sama. Menurut dia, data nasabah untuk kepentingan pajak hanya menyangkut kasus yang khusus. Sementara itu, permintaan agar data itu diberikan secara otomatis kepada Direktorat Pajak, Maryono mengatakan, berpotensi menimbulkan tumpang-tindih otoritas perbankan. "Karena ini juga menyangkut kerahasiaan bank," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri mengaku akan segera menemui OJK untuk membicarakan pembukaan data nasabah bank secara otomatis oleh Direktorat Pajak guna kepentingan penerimaan negara. Menurut dia, meski dalam UU Perbankan ada klausul data bank bisa dibuka untuk pajak, itu hanya bisa dilakukan atas permintaan Menteri Keuangan. (Berita terkait: Akses Data Bank Tangkal Pengemplang Pajak)
"Sekarang pengelolaan di bawah OJK. Kami mau bicarakan dulu. Kalau mereka sepakat, boleh," katanya saat dihubungi. Chatib bahkan mengatakan negara-negara ekonomi utama G-20 sudah setuju untuk bekerja sama dalam bentuk pertukaran data nasabah bank bagi kepentingan pajak. Menurut dia, pertukaran data tersebut akan mulai dilakukan pada 2015.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, menilai pembukaan data bank untuk kepentingan pajak tidak sederhana. Kerja sama antara Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saja dianggap tidak cukup. "Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang Perbankan harus diamendemen agar Direktorat Pajak punya akses data bank untuk menambah penerimaan negara," kata dia. (Artikel terkait: Agar Tak Kewalahan Kejar Pajak, Buka Data Bank!)
Dalam Pasal 41 ayat 1 UU Perbankan, otoritas perbankan diberi kewenangan mengeluarkan perintah tertulis kepada bank untuk membuka data atas permintaan Menteri Keuangan. Begitu pula dalam UU Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (KUP) yang mewajibkan lembaga negara atau asosiasi memberikan data dan informasi kepada Direktorat Pajak.
"Tapi poin dasarnya adalah bagaimana agar akses pajak bisa langsung tanpa prosedur permintaan izin kepada OJK," kata Yustinus. Ia memprediksi OJK tidak akan berani memberi izin karena secara positif UU Perbankan masih berlaku.
ANGGA SUKMA WIJAYA
Terpopuler :
Bawang Impor Banjiri Semarang
Penyaluran Benih Mulus Jika Persyaratan Lengkap
Kasus Penipuan Pinjaman, Citigroup Diperiksa
Inggris Akan Bebaskan Pajak Perdagangan Bitcoin