TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Prosecutor Alliance yang juga jaksa di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, Reda Mantovani, meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan kesejahteraan jaksa di seluruh Indonesia. Status pegawai jaksa, menurutnya, tidak bisa disamakan dengan pegawai negeri sipil (PNS) biasa.
“Jaksa harus dilihat sebagai profesional hukum, beban kerjanya lebih tinggi dari PNS pada umumnya,” kata Reda ketika ditemui dalam acara diskusi Menaikkan Tunjangan, Mengurangi Korupsi di Kejaksaan di kantor Indonesian Corruption Watch (ICW), Jakarta, Ahad, 14 Agustus 2014.
Reda yang sengaja datang dari Hong Kong untuk membantu menyuarakan aspirasi rekan-rekannya di Indonesia itu, menuntut agar profesi jaksa dapat disejajarkan dengan profesi seorang hakim. Beban kerja seorang jaksa mulai sangat berat, mengawal sebuah kasus dari penuntutan sampai eksekusi.
Ia mencontohkan, tunjangan untuk seorang panitera di Pengadilan Kelas 1A sebesar Rp 11.690.000 per bulan. Sedangkan Kepala Kejaksaan Negeri Kelas 1 gajinya hanya Rp 5 juta-7 juta. “Ketimpangan ini bisa berbahaya,” kata mantan Kepala Kejaksaan Negeri Cilegon ini.
Emerson Yuntho, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW, menjelaskan bahaya ketimpangan pendapatan itu. Menurut Emerson, tunjangan jaksa yang rendah dapat memicu terjadinya praktek korupsi dan pemerasan oleh jaksa terhadap pihak yang beperkara. “Ketika nanti kesejahteraan jaksa lebih baik, tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk melakukan korupsi dan semacamnya,” kata Emerson dalam kesempatan yang sama.
Menurut Emerson, salah satu parameter standar tunjangan jaksa ini dapat meniru tunjangan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi. “Minimal setara dengan tunjangan jaksa di KPK yang mencapai Rp 20 juta-22 juta per bulan. Itu bersih, tidak dikurangi biaya transportasi dan lainnya,” katanya. Menurut Emerson, selama ini ada perlakuan berbeda oleh pemerintah antara jaksa KPK dan non-KPK.
Reda melanjutkan, menurut undang-undang seorang jaksa juga tidak diperbolehkan untuk memiliki usaha sampingan di luar profesinya. “Dana operasional perkara yang didapatkan seorang jaksa sebagai tambahan tunjangan pun digunakan untuk biaya transportasi, fotokopi, makan, pengawalan tahanan,” katanya.
Eriyanto, 35 tahun, seorang jaksa golongan IIIC, menuturkan gaji dan tunjangan yang totalnya Rp 6 juta per bulan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. “Saya membuka warung kelontongan di rumah. Sebenarnya tidak diperbolehkan, tapi itu demi memenuhi kebutuhan keluarga, dan saya siap menerima konsekuensinya,” kata Eriyanto.
Menurut Eri, meski jaksa KPK menangani kasus penting, tetapi jaksa-jaksa di kejaksaan negeri dan kejaksaan agung menangani beban perkara yang tidak ringan. “Banyak ancaman nyawa kami sering alami,” ujarnya.
Sebab itu, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun pemerintah Joko Widodo kelak diminta memperhatikan kesejahteraan jaksa. Sebelumnya, ketika meresmikan Rumah Sakit Umum Adhyaksa pada Jumat, 12 September 2014, SBY berjanji mengeluarkan instrumen untuk memperbaiki nasib jaksa sebelum lengser pada 20 Oktober 2014 mendatang. “Semoga beliau menepati janjinya,” kata Eriyanto.
RIDHO JUN PRASETYO
Baca juga:
7 Serangan Ahok yang Bikin Lulung Geram
Alvin Lie: PAN Didirikan untuk Kedaulatan Rakyat
Densus 88 Tangkap Empat Warga Asing di Poso
KH Maimun Minta PPP Tetap di Koalisi Prabowo
Selain 4 Warga Turki, Densus 88 Tangkap 3 WNI