TEMPO.CO, Bandung - Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, mengatakan Partai Demokrat tidak punya legal standing atau hak konstitusional, untuk melayangkan uji materi Undang-Undang Pilkada yang disahkan DPR pada Kamis malam, 25 September 2014.
"Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang itu jika ada hak konstitusionalnya yang dilanggar, Partai Demokrat tidak punya legal standing itu," kata dia saat dihubungi Tempo, Jumat, 26 September 2014.
Alasannya, kata dia, Partai Demokrat menjadi bagian dari penyusun undang-undang itu dan memiliki keterwakilan dalam parlemen yang menyusun undang-undang itu. "Hak konstitusional apa bagi Demokrat ketika kalah berjuang di parlemen, kemudian menggugat di MK. Kurang masuk akal karena dia bagian dari proses itu," kata Asep.
Menurut dia, kepala daerah juga tidak memiliki legal standing dalam gugatan uji materi Undang-Undang Pilkada. Hak konstitusional kepala daerah tidak ada hubungannya dengan pilkada. Ketika dia tidak setuju bukan berarti dia punya legal standing untuk uji materi undang-undang itu. "Tapi, sebagai sebuah dukungan atau aspirasi tidak apa-apa," kata dia. (Baca: Warga Temui Pemodal Desak Batalkan PLTU Batang)
Justru warga negara, tidak perlu memandang jumlahnya bisa mengajukan uji materi itu ke Mahkamah Konstitusi. Istilahnya, ergo omnes, satu orang saja yang melayangkan cukup mewakili semua orang. "Kalau dia merasa dirugikan karena hak pilihnya dicabut, cukup. Satu orang saja cukup, sepanjang saat diperiksa oleh MK terbukti hak konstitusionalnya dilanggar undang-undang ini, yang dimaksud hak memilih kepala daerahnya," kata Asep.
Asep mengatakan persetujuan DPR untuk mengesahkan Undang-Undang Pilkada bukan berarti pemilu tidak langsung dianggap final. Ada forum lagi namanya Mahkamah Konstitusi, tapi yang mengajukanya adalah rakyat yang merasa dirugikan karena hak politiknya dicabut atau diambil.
Uji materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi bisa mencabut pasal itu hingga membatalkannya. Asep mencontohkan saat gugatan agar calon perserorangan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi yang dilayangkan hanya oleh beberapa orang, akhirnya tidak hanya partai politik yang bisa mengusulkan calon kepala daerah, tapi calon independen juga bisa.
Tak hanya cara itu, rezim pemerintahan yang baru, juga lembaga DPR periode yang akan datang bisa mengubah itu. Asep mencontohkan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla misalnya, bisa saja mengirim executive review untuk memeriksa lagi undang-undang itu dan mengajukan revisinya. "Jokowi bisa mengambil inisiatif mengajukan rancangan undang-undang merevisi," kata dia.
Demikian juga DPR periode yang akan datang, bisa juga melakukan legislative review terhadap undang-undang yang sama. Baru lahirlah RUU revisi. Kalau dari pemerintah menjadi rancangan inisiatif pemerintah, kalau dari DPR menjadi inisiatif DPR. "Tinggal yang jadi persoalan apakah DPR nanti setuju dengan usul revisi itu," ucap Asep.
Sebelumnya, Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap keputusan Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pemilihan kepala daerah oleh DPRD. "Ini merupakan tragedi politik," kata Amir melalui pesan pendek, Jumat, 26 September 2014.
Amir mengatakan upaya yang dapat dilakukan untuk menjegal RUU Pilkada tidak langsung adalah melakukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. "Yaitu dengan mengajukan uji materi," kata Amir.
Ketua Umum partai berlambang mirip logo mercy, Susilo Bambang Yudhoyono, juga sudah menginstruksikan Dewan Kehormatan untuk mencari kader yang menjadi dalang walkout Fraksi Demokrat dalam sidang penentuan pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah kemarin, Kamis, 25 September 2014.
AHMAD FIKRI
Terpopuler:
RUU Pilkada, Kubu Jokowi di Ambang Kekalahan
RUU Pilkada, Ahok: Ada Isu Sogokan Rp 150 Juta
Walkout Paripurna RUU Pilkada, Demokrat Pengecut
Era Pilkada Langsung Akhirnya Tamat
KPK Hattrick Tangkapi Gubernur Riau