TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta kalangan perbankan segera menghentikan perang suku bunga atau hasil imbal yang tinggi dalam menghimbun dana pihak ketiga (DPK) di tengah masih terkendalinya likuiditas perbankan saat ini. "Jangan sampai ada persepsi perbankan kita kesulitan likuiditas. Itu enggak ada," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon di kantornya, Selasa, 30 September 2014.
Menurut Nelson, perang suku bunga antar-bank ini dipicu oleh meningkatnya persaingan untuk meraup perolehan DPK sebanyak-banyaknya. "Makanya walaupun enggak kesulitan likuiditas, bank ingin tetap mempertahankan nasabahnya agar tak pindah ke bank lain," ujarnya. (Baca:OJK Tetapkan Batas Atas Suku Bunga Perbankan)
Kondisi itu, kata Nelson, berdampak pada tingginya biaya perbankan, perlambatan ekspansi kredit, peningkatan risiko kredit, penurunan aktivitas perekonomian, hingga terhambatnya pertumbuhan ekonomi. "Ini ada campur tangan juga dari pemilik dana yang cenderung memberikan tekanan," kata dia.
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) mencatat tren suku bunga DPK perbankan hingga Juli 2014 berada di angka 8,67 persen atau di atas suku bunga acuan BI sebesar 7,50 persen. Sedangkan suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) maksimal sebesar 7,75 persen. (Baca:Juli 2014, BI Rate Kembali Bertahan 7,5 Persen )
Angka ini menempatkan suku bunga deposito Indonesia jauh mengungguli suku bunga Malaysia, Singapura, dan Thailand yang berada pada kisaran 2-4 persen dengan suku bunga kredit 3-7 persen. Di Indonesia, suku bunga kredit berada di kisaran 11,25-13,30 persen untuk korporasi dan 16-23 persen untuk mikro. "Jelas kita tertinggi," kata Nelson.
JAYADI SUPRIADIN
Berita Terpopuler:
Koalisi Prabowo Usulkan Pilpres oleh MPR Lagi
Penjual Kue Putu di Malang Tantang Amien Rais
Koalisi Merah Putih Targetkan Revisi UU KPK
Kejutan, Maria Londa Rebut Emas Asian Games