TEMPO.CO, Jakarta - Akhir-akhir ini, masyarakat kembali dikejutkan oleh berbagai macam kekerasan, seperti penganiayaan dan pemerkosaan terhadap anak-anak. Melihat hal ini, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mempertanyakan perlindungan yang seharusnya diberikan oleh negara. "Kalau keluarga, sekolah, masyarakat tak mampu melindungi, lalu di mana negara? Mereka alpa," ujar Arist saat dihubungi Tempo, Selasa, 14 Oktober 2014.
Ia menilai negara kurang memperhatikan kasus kekerasan terhadap anak sebagai kasus yang penting. Selama ini, pemerintah selalu terlambat dalam menerima laporan dan mengatasi permasalahan yang menimpa anak-anak. Selain itu, mereka selalu menyalahkan orang tua, sekolah, dan orang-orang di lingkungan korban.
Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, tahun 2013 terdapat 3.339 kasus pelanggaran hak anak. Sebanyak 16 persen kasus merupakan kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak.
Pada semester awal tahun ini (Januari-Juni), mereka mencatat 1.626 kasus pelecehan anak, dengan 26 persen kasus kekerasan dilakukan anak-anak. Jumlah anak di bawah umur 16 tahun yang melakukan kekerasan meningkat 10 persen dibandingkan tahun lalu. "Ini menakutkan karena mereka sebenarnya korban orang dewasa yang tidak peduli, dan justru menjadi monster yang memakan anak," kata Arist. (Baca: Siswa Tawuran, Butuh Saluran Energi Kepahlawanan)
Bagi Arist, negara seharusnya memegang peranan penting dalam perlindungan anak. "Anak-anak itu generasi bangsa kita. Kalau ini terjadi terus dan meningkat, ini namanya problematika bangsa," katanya. Ia menganggap keluarga dan masyarakat sekitar korban tak lagi mampu untuk berperan sendiri melindungi anak-anak. "Keluarga, sekolah disuruh tanggung jawab, tapi pemerintah tetap alpa," katanya.
Arist mencontohkan kealpaan pemerintah, seperti gagalnya Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak dalam menciptakan suasana sekolah yang ramah bagi anak. Selain itu, Aris menilai kontrol Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Komisioner Penyiaran Indonesia juga lemah.
"Tayangan di televisi yang tidak ada kekerasannya dianggap enggak laku," ujarnya. Begitu pula yang terjadi dengan Kementerian Pendidikan. Kementerian ini dianggap gagal menciptakan para guru yang peduli terhadap anak, serta kurikulum baru yang tidak mampu menciptakan karakter. "Kurikulum baru enggak nyambung. Enggak ada gunanya Muhammad Nuh teriak-teriak sekarang karena kejadiannya makin banyak," ujarnya.
PUTRI ADITYOWATI
Berita Terpopuler
Ahok Gandeng Chandra Hamzah Benahi Kasus Hukum DKI
Produser Metro TV Dikabarkan Hilang
FPI Yakin Tak Bisa Dibubarkan
Pengacara Udar Pristono Minta Jokowi Diperiksa