TEMPO.CO, Jakarta - Sepekan setelah dilantik menjadi presiden, Joko Widodo diminta segera membenahi sistem dan pengelolaan anggaran negara. “Presiden Jokowi memiliki selusin PR (pekerjaan rumah) yang perlu diimplementasikan untuk perbaikan tata kelola anggaran dan pencegahan mafia anggaran di Indonesia,” ujar Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Maulana, melalui siaran pers, Senin, 27 Oktober 2014. (Baca juga: Cara Presiden Jokowi Memilih Menteri)
Menurut Maulana, pembenahan tata kelola anggaran harus menjadi prioritas Jokowi. Apalagi, selama sepuluh tahun terakhir ini, Fitra menilai ada banyak kekurangan dalam pengelolaan keuangan negara. (Baca: Daftar Lengkap Menteri Kabinet Kerja Jokowi) Berikut ini 12 PR menurut Fitra yang harus dikerjakan pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla:
1.Mempublikasikan rencana kerja anggaran (RKA) dan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) kementerian/lembaga. Selama ini, praktek keterbukaan informasi anggaran masih sangat umum. Kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah seharusnya mempublikasikan RKA dan DIPA secara utuh dengan memuat informasi unit pengeluaran berdasarkan tujuan penggunaan anggaran. Fitra meminta Jokowi menerapkan praktek keterbukaan informasi anggaran yang dilakukan ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta.
2. Wahana partisipasi publik pada pembahasan dan pelaksanaan anggaran. Keterlibatan publik dalam proses perencanaan anggaran selama ini terbatas pada forum musrenbang. Publik belum terlibat dalam pembahasan anggaran. Karena itu, kementerian/lembaga perlu melaksanakan konsultasi publik selama proses penyusunan RKA.
3. Llima persen APBN untuk anggaran kesehatan. Selama satu dekade terakhir, rata-rata anggaran kesehatan hanya dialokasikan 2,5 persen dari belanja APBN. Seharusnya, anggaran kesehatan dialokasikan 5 persen dari belanja APBN, sebagaimana dimandatkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
4.Kementerian dan lembaga harus menindaklanjuti hasil audit BPK. Selama ini terdapat kecenderungan kementerian dan lembaga malas menindaklanjuti rekomendasi temuan BPK. Akibatnya, penggunaan anggaran negara berpotensi tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan dapat berakibat kerugian negara.
5. Belanja pegawai dalam APBD tak boleh lebih dari 60 persen. Dalam catatan Seknas Fitra, selama kurun 2008-2014, lebih dari 200 daerah mengalokasikan belanja pegawai lebih dari 50 persen belanja APBD. Bahkan, terdapat 11 daerah pada 2011 dan 2012 yang mengalokasikan anggaran belanja pegawai hingga 70 persen. Bila hal ini terus terjadi, tidak akan ada pembangunan di daerah, dan besar kemungkinan daerah tersebut akan bangkrut.
6. Optimalisasi penyerapan anggaran pada semester pertama. Penyerapan anggaran menjelang akhir tahun anggaran telah menjadi masalah klasik. Padahal, praktek ini berpotensi membuat penggunaan anggaran tak efektif dan membuka praktek korupsi. Kinerja penyerapan anggaran seharusnya diperbaiki dengan target realisasi mendekati 50 persen pada semester pertama.
7. Memasukkan rasio Gini dalam indikator makro APBN.
8. Salah satu penyebab pembangunan tidak berjalan optimal adalah sistem perencanaan dan penganggaran tidak terintegrasi. Keduanya dipisahkan oleh dua undang-undang yang berbeda, yaitu UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Akibatnya, program kegiatan berulang-ulang dilakukan tanpa perubahan signifikan, bahkan menjadi bancakan.
9. Menghapus DPID dan DPIPD. Mekanisme pemberian dana percepatan infrastruktur daerah dan dana penguatan infrastruktur dan prasarana daerah melanggar undang-undang karena tidak dikenal dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan Negara Nomor 33 tahun 2004. Pelaksanaannya pun hanya berdasarkan PMK. Fitra menduga dana DPID dan DPIPD justru menjadi dana optimalisasi terselubung anggota DPR. Transfer dana ini membuka potensi korupsi anggaran negara.
10. Moratorium remunerasi. Remunerasi terbukti tidak efektif meminimalkan praktek korupsi di kalangan pemerintah. Anggaran remunerasi yang diberlakukan sejak 2008 dengan rata-rata kenaikan hingga 15 persen per tahun sebaiknya direalokasi untuk pembangunan gedung sekolah dan fasilitas kesehatan yang jauh lebih bermanfaat bagi publik.
11.Menghapus tambahan program baru dalam APBN-P. Penambahan program dalam APBN Perubahan, menyebabkan kinerja penyerapan anggaran APBN tidak maksimal. Bahkan, terbukti, penambahan program baru pada APBN Perubahan berpotensi membuka peluang korupsi.
12. Menghapus penyanderaan kontrak sektor migas. Selama ini sejumlah kontraktor kontrak kerja sama sektor migas tidak mematuhi ketentuan cost recovery dan perpajakan. Berdasarkan hasil audit BPK semester II 2013, hal ini mengakibatkan kerugian negara karena hilangnya potensi penerimaan sebesar Rp 995 miliar. Untuk itu, pemerintah Jokowi harus lebih tegas dalam mengawasi sektor migas.
IRA GUSLINA SUFA
Topik terhangat:
Pelantikan Jokowi | Koalisi Jokowi-JK | Kabinet Jokowi | Pilkada oleh DPRD
Berita terpopuler lainnya:
Jokowi Ubah Nomenklatur Kementerian, Ical: Dari Mana Duitnya?
Jupe Luncurkan Buku My Uncut Story
6 Gaya Hidup Sehat