TEMPO.CO, Jakarta -Fungsi rumah di Jalan Sidoluhur, Laweyan, Solo, itu tak berubah banyak sejak empat dekade lalu. Kalaupun berbeda, rumah itu kini lebih terbuka, dan lebih nyaman untuk dikunjungi. Di dalamnya terdapat baju-baju batik lawas berwarna teduh dipajang di ruang tamu. Setiap pengunjung yang bertandang ke rumah itu akan disapa ramah oleh pramuniaga yang selalu tersenyum. (Baca: Pengusaha Solo: Batik Jokowi di APEC Gaya Yogya)
Rumah ini bukan rumah biasa. Ini adalah salah satu gerai batik di daerah Laweyan. Sekitar empat dekade lalu, kesan ramah dan terbuka itu mungkin sangat sulit dijumpai.
Dulu, tamu yang datang akan berhadapan dengan pintu gerbang tinggi dan kokoh serupa benteng. Sang pemilik rumah akan mengintip lewat lubang kecil untuk melihat siapa yang datang. (Baca: Di Forum APEC, Jokowi Pakai Batik Gaya Yogya)
Jika yang datang tamu terhormat, mereka akan membuka pintu gerbang tersebut lebar-lebar. Tapi, bila yang mengetuk pintu adalah pekerja batik, hanya sebuah pintu kecil di bagian bawah yang dibuka.
“Biasanya, mereka harus melewati pintu dengan cara jalan merunduk,” kata salah satu pengusaha batik, Gunawan Muhammad Nizar, ketika ditemui di Laweyan pada Sabtu pekan lalu.
Laweyan dikenal sebagai kampungnya para pengusaha batik. Zaman keemasan batik terjadi pada era 1930-an. Warga di daerah itu pun hidup mewah. Mereka membangun rumah semolek mungkin untuk menunjukkan kelas sosialnya.(Baca:Berjubel, Warga Surakarta Sumbang Jokowi)
Kebanyakan bangunan di sana bergaya art deco pengaruh kolonial. "Bahkan saat itu ada pedagang yang mendatangkan material bangunan dari Italia khusus untuk mencukupi kebutuhan warga Laweyan," kata koordinator pengembangan Kampung Batik Laweyan, Alpha Fabela Priyatmono.
Uniknya, meski bergaya Eropa, pemanfaatan ruang masih menganut konsep Jawa. Ruang dalam rumah saudagar batik Laweyan terdiri atas pendopo, ndalem, senthong, gandok kiwo, dan gandok tengen. Ada juga bangunan tambahan untuk memproduksi batik di bagian samping dan belakang rumah utama. Konon, para pekerja hanya diperbolehkan mengakses bangunan pabrik itu. (Baca: Pegawai Kota Solo Wajib Pakai Seragam Batik Printing)
Tidak lupa, mereka membangun pagar tinggi di sekeliling rumah menyerupai benteng. Semacam sekat dengan dunia luar. Selain alasan keamanan, benteng itu berguna untuk menyaingi bangunan istana Keraton Solo. Ya, menurut sejarahnya, pada masa lalu, para pengusaha batik itu memiliki hubungan kurang harmonis dengan para bangsawan Solo. Mereka selalu saling bersaing dalam segala hal.
Sayang, pada era 1970-an, bisnis batik, mundur drastis. Banyak pabrik yang tutup akibat bangkrut. Sebagian warga terpaksa banting setir mencoba peruntungan di bisnis lain. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Mereka yang tidak kuat menanggung beban perawatan rumah mewah tersebut memilih menjualnya dan pindah ke tempat lain, keluar dari Laweyan. (Baca: Pengusaha Batik Mengeluh Kesulitan Ekspor)
AHMAD RAFIQ | ISMA SAVITRI | HP
Terpopuler
Membersihkan Hidung Mampet
Waspada Hidung Tersumbat
Kenali 3 Cara Pakai Obat Dekongestan
Hari Disabilitas, 130 Tunanetra Ajak Jalan Sehat
Hari Disabilitas, 130 Tunanetra Ajak Jalan Sehat
Utak-atik Merakit Miniatur Militer