TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, Fahmy Radhi, menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber utama merajalelanya mafia migas di Tanah Air. "Petral begitu karena memang undang-undangnya sangat liberal," ujarnya dalam diskusi "Menggugat Petral" di Warung Daun, Cikini, Sabtu, 13 Desember 2014.
Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada tersebut mengatakan pengelolaan migas yang diserahkan ke pihak asing bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Aturan tersebut, tutur dia, membuat peran negara semakin kecil, sehingga hegemoni asing dan swasta semakin besar. "Makanya, perlu keberanian pemerintah untuk mengajukan pencabutan undang-undang itu," katanya. (Baca: Sudirman Said: Sektor Energi Sangat Repot)
Fahmy menilai, sejak diberlakukannya aturan itu, pemerintah sebelumnya tidak memiliki keberanian mengajukan revisi bahkan mencabutnya. Walhasil, impor terus naik tapi produksi dalam negeri terus menurun. "Semoga pemerintahan sekarang memiliki keberanian mengajukan revisinya," ujarnya.
Bukan hanya itu, tutur dia, dengan landasan UU Migas, Petral boleh melakukan pembelian tidak langsung ke produsen, tapi melalui broker atau trader yang tersebar di berbagai negara. Meski pembelian dilakukan melalui tender, pemenangnya selalu broker. "Kan, aneh, kenapa sampai jauh ke Italia dan negara lainnya mencari minyak. Memang tidak bisa langsung ke produsen," kata Fahmy. (Baca: Pertamina Pangkas Kewenangan Impor Petral)
Karena itu, dalam rekomendasi yang akan diberikan kepada Presiden, Tim Reformasi berencana memasukkan poin pencabutan UU tersebut. "Harus disiapkan secara komprehensif," tutur Fahmy.
JAYADI SUPRIADIN
Topik terhangat:
Kapal Selam Jerman | Kasus Munir | Rekening Gendut Kepala Daerah | Perpu Pilkada
Berita terpopuler lainnya:
Inikah Transaksi Rekening Gendut Foke?
Beri Jalan ke Jokowi, Sultan Yogya Dipuji Habis
Refly dan Todung Seleksi Hakim MK, Jokowi Diprotes
Cerita Ahok Saat Kaca Spionnya Dicoleng