TEMPO.CO, Jakarta - Januari 2040. Emi Pudjastuti, 55 tahun, berjemur sambil tidur beralaskan pasir putih di Pantai Moli’i Sahatu, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Sementara itu, sang suami yang berada di sampingnya sedang membaca berita terkini melalui telepon seluler pintar. (Baca: Kementerian Keuangan Masih Kaji Sistem Dana Pensiun)
Emi sedang berbulan madu yang kesekian kalinya untuk merayakan awal masa pensiunnya sebagai sekretaris sebuah perusahaan properti. “Mulai saat itu, tidak ada hari kami tidak tersenyum,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Baca Juga:
Bulan madu itu adalah fantasi Emi ketika memasuki masa pensiun pada 25 tahun mendatang. Kini, ia berusia 30 tahun dan masih bertubuh sehat. Sejak usia 24 tahun, ia merencanakan masa pensiunnya ketika mendapat pekerjaan pertama. Emi bertekad bebas dari gangguan finansial pada masa tua nanti. “Saya tidak mau bekerja ketika sudah tua dan ingin mandiri,” ujarnya. (Baca: Kabar Gembira, Tunjangan Beras Pensiun Naik)
Emi memberi gambaran mengenai penghitungan alokasi dananya. Dengan gaji Rp 5 juta per bulan saat ini, ia menyisihkan Rp 1,3 juta per bulan dan diinvestasikan pada instrumen yang bisa menghasilkan return (keuntungan) sekitar 25 persen per tahun.
Uang sebesar Rp 5 juta saat ini, tutur Emi, dengan tingkat inflasi rata-rata 12 persen per tahun saja bakal setara dengan Rp 119,42 juta pada 25 tahun mendatang. Emi menyiapkan masa pensiunnya dengan mengambil jenis dana pensiun berupa reksadana saham untuk investasi. (Baca: Penyusunan Iuran Pensiun BPJS Butuh Kehati-hatian)
Sebenarnya ada banyak instrumen investasi yang bisa digunakan untuk menyiapkan dana pensiun, selain reksadana. Hal itu dimulai dari investasi emas (perhiasaan ataupun emas batangan), reksadana pasar uang, reksadana campuran, ataupun reksadana properti.
“Tidak cukup dengan hanya menabung konvensional, tapi Anda harus menetapkan tujuan pensiun yang spesifik dan realistis,” kata perencana keuangan Safir Senduk di Jakarta pada pekan lalu. (Baca: Konsep Kaya Menurut Safir Senduk)
Menabung dengan cara konvensional tentu akan sulit untuk mencapai jumlah dana yang dibutuhkan pada masa depan. Mengapa demikian? Menurut Safir, kenaikan harga barang dan jasa sering kali melebihi inflasi setiap tahunnya. Misalnya, biaya pendidikan yang rata-rata naik sebesar 10–20 persen setiap tahun. Adapun hasil bunga menabung di bank tetap di bawah 10 persen.
Sering kali orang takut berinvestasi lantaran adanya risiko. Sebab, semakin tinggi hasilnya, semakin besar risikonya. Karena itu, menjadi penting memahami profil risiko yang dimiliki sebelum mengambil investasi. (Baca: Jamsostek: Pensiun Sebaiknya di atas 55 Tahun)
Ia menyarankan memilih investasi dengan risiko rendah dan berjangka waktu panjang karena lebih aman. Asuransi adalah pilihan bagus.
“Investasi di sektor properti, emas, ataupun reksadana juga bisa menjadi pilihan berikutnya,” katanya. Investasi properti sangat dianjurkan, mengingat nilainya yang cenderung terus naik. (Baca: Hasil Investasi Reksa Dana Lainnya)
HERU TRIYONO | HP
Terpopuler
Prevalensi Gizi Buruk Balita Meningkat di 2014
Instagram Ani Yudhoyono Tembus Sejuta Follower
Edukasi Media Dibutuhkan, Arahkan Tayangan Teve
Pengguna Pil KB Terancam Terkena Kanker Otak
Jangan Panik Menghadapi Epilepsi