TEMPO.CO , Jakarta - Studi yang dilakukan The Institute for Ecosoc Rights menemukan fakta bahwa ekspansi perkebunan sawit menyebabkan lahan warga tergusur. Menurut Aktivis Institut Ecosoc Sri Palupi hal ini terjadi di Kalimantan Tengah. "Dampaknya adalah hilangnya hutan, tanah adat, rawa, ladang, sawah, dan kebun warga," kata dia, Selasa 27 Januari 2015. (Baca: Riset: Kebun Sawit Gusur 75 Persen Lahan Warga )
Dalam prakteknya, kata Palupi, penguasaan tanah yang dilakukan perusahaan sawit dilakukan dengan berbagai pendekatan. Mulai dengan cara-cara halus seperti bujuk rayu, janji-janji, skema kemitraan atau kebun plasma, hingga cara kekerasan. Cara kekerasan itu contohnya seperti suap, perusakan dan pembakaran lahan, membayar preman, strategi adu domba, dan melarang warga masuk kebun. (Baca: Beli Sawit dari Hutan, Izin Pengusaha Bisa Dicabut)
Menurut Palupi, kehilangan lahan garapan adalah fakta paling umum yang banyak dihadapi warga dan komunitas di sekitar area perkebunan sawit. Apalagi data Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Tengah menyebutkan 57,43 persen warga tidak memiliki sertifikat tanah. Ini membuat posisi mayoritas warga Kalimantan Tengah lemah di hadapan perusahaan sawit. (Baca: Di New York, Pengusaha Sawit Janji Tak Rusak Hutan )
Wanto, 50 tahun, warga Katingan, Kalimantan Tengah, mengatakan persoalan yang terjadi di wilayahnya adalah sengketa lahan. Dia merasa miris dan mengaku sakit hati dengan cara-cara yang dilakukan perusahaan sawit dalam mengambil alih lahan. "Bayangkan, satu hektar lahan dihargai Rp 1,5 juta. Dan itu ditentukan perusahaan, padahal seharusnya harga ditentukan penjual," kata Wanto.
AMIRULLAH
Berita Lain
Kemudi QZ8501 Rusak, Ini Jawaban AirAsia
Terkaya di Dunia, Hartanya Baru Habis 220 Tahun
Lagi, Kecelakaan Fatal di Freeport