TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana mengatakan persiapan eksekusi hukuman mati gelombang kedua untuk sepuluh terpidana mati perkara narkotik hampir selesai. Anggaran untuk eksekusi telah dikantongi Kejaksaan. “Dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara sudah siap,” kata Tony di kantornya, kemarin.
Menurut Tony, biaya eksekusi tiap narapidana dianggarkan Rp 200 juta. Lokasi untuk eksekusi pun telah siap. Tony memastikan pelaksanaan hukuman akan dilakukan di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan pengamanannya mudah dan steril.
Anggaran Rp 200 juta itu untuk membiayai seluruh persiapan menjelang eksekusi, saat eksekusi, dan setelah eksekusi. Untuk rapat koordinasi misalnya, Rp 1 juta x 3 rapat = Rp 3 juta. Pengamanan: Rp 1 juta x 30 orang = Rp 30 juta. Biaya konsumsi: Rp 27 ribu x 4 hari x 40 orang x 2 kali makan = Rp 8,64 juta. Biaya transportasi eksekutor: Rp 504.500 x 40 orang x 2 pergi-pulang = Rp 40,36 juta. Dan masih banyak biaya yang lain.
Hanya, biaya regu tembak yang beranggotakan sepuluh orang cuma Rp 10 juta. Artinya satu orang mendapat Rp 1 juta.
Para terpidana yang kini masih mendekam di penjara Bali, Madiun, dan Yogyakarta segera dipindahkan ke Nusakambangan. “Setelah semua terpidana terkumpul, baru ditentukan hari H eksekusi,” kata Tony. Dia mengatakan Kejaksaan telah mengantongi izin Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memindahkan para terpidana mati.
Ada 13 terpidana mati yang grasinya telah ditolak oleh presiden. Sepuluh di antaranya adalah terpidana perkara narkotik—delapan merupakan warga negara asing. Mereka di antaranya Mary Jane Fiesta asal Filipina, Serge Areski Atlaoui (Prancis), Martin Anderson (Ghana), Raheem Agbjae Salami (Nigeria), Rodrigo Gularte (Brasil), serta Myuran Sukumaran dan Andrew Chan asal Australia. Andrew dan Myuran adalah anggota sindikat Bali Nine yang terbukti menyelundupkan heroin 8,2 kilogram pada 2005.
ISTMAN l ROFIQI HASAN