TEMPO.CO, Yogyakarta - Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenal Arifin Mochtar menilai dana Rp 1 triliun terlalu berlebihan untuk diberikan ke satu partai politik. Apalagi rencana itu tanpa penjelasan pembedaan besaran pemberian dana bagi partai dengan organisasi besar dan yang gurem. "Dana Rp 1 triliun itu gila," kata Zaenal di kampus UGM, Selasa, 10 Maret 2015.
Menurut Zaenal, peraturan mengenai sumber pendapatan partai selama ini memang terlalu mengekang sehingga memicu korupsi politik. Sumber pendapatan partai hanya berasal dari sumbangan luar dengan nilai terbatas, iuran anggota, dan kucuran anggaran negara sesuai perolehan suara. Akan tetapi, menurut Zaenal, menjawab masalah itu dengan memberi dana Rp 1 triliun secara sembarangan merupakan langkah gegabah.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mewacanakan dana penyelenggaraan partai politik sebesar Rp 1 triliun yang diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Bekas Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu memperkirakan lewat subsidi Rp 1 triliun pemerintah dapat meminimalkan potensi korupsi lewat kader partai.
Zaenal mengatakan semestinya sebelum ada pengucuran anggaran dalam jumlah besar, sistem transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban keuangan partai harus terbangun kuat terlebih dulu. Partai wajib membuka pintu bagi audit keuangan oleh lembaga negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan. "Bodoh kalau negara kasih dana besar tanpa memberi tanggung jawab yang juga besar," kata Zaenal.
Pemberian dana jumbo dari negara juga perlu diimbangi dengan keterbukaan partai terhadap pengawasan dari publik. Bentuknya bisa berupa penerbitan laporan keuangan partai secara terbuka untuk umum. Dia khawatir pengurus partai bersikap pragmatis. Mereka mau menerima anggaran besar dari negara, tapi enggan menerapkan transparansi dan akuntabilitas standar tinggi. Alih-laih memperbaiki sistem kepartaian, kucuran dana itu malah memicu menjamurnya partai baru.
Pengucuran anggaran negara dalam jumlah besar juga bukan satu-satunya solusi mencegah korupsi politik lewat pembesaran sumber pendapatan bagi partai. Zaenal mencontohkan sejumlah negara memperbolehkan partai politik mencari pendapatan dengan berbisnis. "Batasannya, bisnis itu tidak boleh berkaitan dengan keuangan negara," kata dia.
Zaenal mengingatkan rencana mengucurkan dana besar tanpa membangun sistem pendukung akuntabilitas dan transparansi terlebih dahulu bisa berakibat fatal. "Pilih cara kreatif, jangan ujug-ujug kasih Rp 1 triliun. Itu namanya reaktif," ujar Zaenal. Cara ini, dia mengilustrasikan, sama dengan memberi kesempatan partai mendapat sumber halal, tapi di saat bersamaan membuka pintu mendulang pendapatan dari uang haram.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM