TEMPO.CO, Jakarta - Putusan hukuman mati yang dijatuhkan kepada sejumlah terpidana dinilai cacat hukum. Beberapa koalisi masyarakat sipil menemukan pelanggaran yang dilakukan aparat penegak hukum saat menangani kasus para terpidana mati itu.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Febiyonesta mencontohkan pelanggaran yang terjadi terhadap dua terpidana mati, yaitu Mary Jane dan Rodrigo Gularte. "Prosedur atas Mary Jane cacat hukum karena dia tak didampingi kuasa hukum ataupun penerjemah selama penyidikan," kata Febiyonesta saat ditemui di kantor Human Rights Working Group, Minggu, 26 April 2015.
Menurut Febiyonesta, penunjukan kuasa hukum Mary Jane oleh Polda Yogyakarta hanya dilakukan untuk formalitas. Dalam berita acara penyidikan, memang tertulis warga Filipina itu didampingi kuasa hukum. "Faktanya, mereka baru bertemu saat persidangan."
Begitu pula dengan penerjemah. Menurut Febiyonesta, Mary Jane memang diberi penerjemah untuk membantunya memahami dakwaan yang disangkakan kepadanya. Namun penerjemah yang disediakan berbahasa Inggris, padahal bahasa ibu Mary Jane adalah tagalog. Akibatnya, banyak pertanyaan selama proses penyidikan yang tak dipahami secara utuh oleh wanita yang dihukum mati karena kedapatan membawa heroin itu.
Selain Mary Jane, terpidana mati Rodrigo Gularte asal Brasil juga mendapat perlakuan hukum yang tak semestinya. Rodrido diduga mempunyai persoalan kejiwaan, tapi, "Tidak dilakukan pemeriksaan secara layak pada kesehatan jiwa Rodrigo," ujar Febiyonesta.
Memang, kepolisian telah memeriksa kesehatan Rodrigo. Namun pemeriksaan dilakukan oleh tim dokter dari Rumah Sakit Polri Kramat Jati yang disebut Febiyonesta dapat tidak independen.
Ketua Advokasi Ikatan Orang Hilang Indonesia Daud Beureuh juga menemukan kejanggalan dalam prosedur hukum terpidana mati asal Indonesia, Zainal Abidin. Menurut keterangan kuasa hukumnya, kata Daud, kejanggalan itu telah terlihat sejak awal proses administrasi. "Masak, dalam kolom identitas tertulis pekerjaan Zainal adalah penjual ganja," tutur Daud.
Selain itu, Zainal baru didampingi kuasa hukum saat proses persidangan bergulir. Tak hanya kejanggalan dalam administrasi, Zainal juga diminta membuat BAP pada malam hari. Kuasa hukum, kata Daud, telah menyebutkan berbagai kejanggalan penyidikan Zainal kepada hakim tapi tak diindahkan.
Bobroknya tata hukum pidana itu membuat banyak aktivis khawatir ihwal vonis yang diterima terpidana mati. "Tak adil bila eksekusi mati ditetapkan dalam tatanan bobrok ini," kata Direktur Imparsial Al Araf.
Cacat dalam tatanan hukum itu dianggap Al Araf rawan menghasilkan putusan yang keliru. Bila ternyata putusannya keliru, Al Araf menganggap hukuman mati akan menutup kemungkinan para penegak hukum melakukan koreksi.
Sebelumnya, kuasa hukum Raheem Agbaje Salami—terpidana mati asal Nigeria, Utomo Karim, telah memastikan eksekusi mati terpidana mati gelombang kedua bakal dilaksanakan Selasa, 28 April 2015. Menurut dia, para terpidana sudah menerima pemberitahuan pelaksanaan hukuman.
Kejaksaan Agung merencanakan eksekusi mati terhadap sepuluh terpidana pada Februari lalu. Para terpidana itu berasal dari Australia, Prancis, Nigeria, Brasil, Ghana, Filipina, dan Indonesia. Namun rencana itu tertunda lantaran sejumlah terpidana mengajukan upaya hukum berupa peninjauan kembali dan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.
Kamis lalu, Kejaksaan Agung menerbitkan surat perintah persiapan eksekusi untuk sembilan terpidana. Seorang terpidana yang batal menjalani eksekusi adalah Serge Areski Atlaoui asal Prancis. Serge mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara pada saat-saat terakhir persiapan eksekusi.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA