TEMPO.CO, Jakarta - Upaya untuk menunda dan membatalkan eksekusi mati terus dilakukan terpidana mati kasus narkotik asal Brasil, Rodrigo Gularte. Berbekal hasil rekam medis dokter di Cilacap yang menyebutkan Gularte terbukti menderita skizofrenia, kuasa hukumnya mengajukan peninjauan kembali ke Pengadilan Negeri Tangerang, Senin, 27 April 2015.
"Pengajuan PK ini kami layangkan terkait kondisi kejiwaan Rodrigo," ujar Alex Argo Hermowo, kuasa hukum Gularte, di Pengadilan Negeri Tangerang siang ini.
Alex mengatakan hasil rekam medis yang membuktikan bahwa kliennya menderita skizofrenia akan menjadi bahan pertimbangan Kejaksaan Agung dalam PK yang mereka ajukan. "Kami berharap eksekusi mati Rodrigo ditunda," katanya.
Kejaksaan Agung sudah menetapkan Gularte termasuk yang akan dieksekusi mati pada Selasa, 28 April 2015. Gularte akan berhadapan dengan regu tembak bersama delapan terpidana mati kasus narkoba lainnya. Rodrigo divonis mati pada 7 Februari 2005 atas kepemilikan 19 kilogram heroin yang ia sembunyikan di dalam papan selancar. Ia menyelundupkan paket heroin itu melalui Bandara Soekarno-Hatta pada 31 Juli 2004.
Menurut Alex, pelaksanaan eksekusi mati Rodrigo bisa bertentangan dengan Pasal 44 KUHP. "Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa orang yang menderita gangguan jiwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana."
Dalam pengajuan PK ini, Rodrigo menyerahkan sejumlah novum atau bukti baru ke Pengadilan Negeri Tangerang sebagai bahan pertimbangan pembatalan maupun penundaan eksekusi mati dirinya. Alex mengatakan ada 22 bukti baru yang diserahkan meliputi bukti rekam medis Rodrigo sejak 1982. "Tim medis di Brasil pun sudah menyatakan Rodrigo mengalami gangguan jiwa," ucap Alex.
Alex membantah gangguan kejiwaan yang dialami Rodrigo bukan akibat mengkonsumsi narkoba. Dia memastikan gangguan jiwa pada Rodrigo adalah unsur genetik. "Karena dari hasil rekam medis, ternyata keluarganya pun mengidap skizofrenia."
Menanggapi PK yang diajukan dalam waktu yang mepet, Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Tangerang Andri Wiranofa mengatakan hal tersebut tidak bisa menghalangi proses eksekusi. "Hak hukum terpidana sudah diberikan. PK pertama susah ditolak, grasi pun ditolak," tutur Andri.
JONIANSYAH