TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar hukum pidana Universitas Andalas, Elwi Danil, mengatakan tak ada upaya hukum yang bisa menunda eksekusi mati Mary Jane Fiesta Veloso. Menurut Elwi, dari perspektif hukum, justru Indonesia bisa dianggap sebagai negara yang tak patuh hukum kalau eksekusi itu ditunda atau dibatalkan.
“Dari perspektif hukum, tak ada persoalan lagi. Penetapan eksekusi bahkan sudah ada. Saya khawatir kredibilitas negara hukum yang dianut Indonesia akan dipertanyakan seumpama eksekusi tersebut tak dilaksanakan,” kata Elwi saat dihubungi Tempo, Selasa, 28 April 2015.
Elwi mengakui pelaksanaan eksekusi hukuman mati tak bakal berlangsung tenang. “Bakal selalu ada pro-kontra,” ujarnya. Elwi juga meminta Presiden Joko Widodo berpikir matang jika mau mengambil alih persoalan Mary Jane. “Sebab, jika Presiden Jokowi turun tangan, masalah ini sudah bukan di ranah hukum lagi.”
Eksekusi hukuman mati terhadap Mary Jane semakin mencuat setelah ada penyerahan diri Maria Kristina Sergio kepada polisi Filipina. Bagi sejumlah aktivis, penyerahan diri Maria itu dianggap sebagai babak baru bagi Mary Jane karena bisa menjadi bahan untuk melepaskan diri dari jeratan hukuman mati.
Mary Jane dinyatakan harus dihukum mati setelah tertangkap membawa 2,6 kilogram heroin di dalam koper saat tiba di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, pada 2010. Menurut kalangan aktivis tersebut, Mary Jane cuma korban sindikat narkoba yang menggunakannya sebagai kurir untuk mengantar barang—yang ternyata narkoba.
Nah, Maria Kristina diduga kuat merupakan orang yang merekrut Mary Jane. Dikabarkan Maria menyerahkan diri karena takut setelah namanya disebut-sebut sebagai orang yang terlibat menyelundupkan Mary Jane ke Indonesia.
MUHAMAD RIZKI