Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Musi, Penyabangan, sebuah desa di kawasan Buleleng di pantai utara Bali, seorang bocah menghabiskan sebagian masa kanak-kanaknya di seputar lemari buku ayahnya. Dari lemari tua tersebut, yang sarat oleh kitab-kitab berbahasa Indonesia, Inggris, Belanda, dan Jepang, I Made Mangku Pastika—nama bocah itu—berkenalan dengan Mahabarata dan Ramayana. Dia membaca swadesi. Dia menyerap ahimsa, satu gerakan antikekerasan yang diajarkan tokoh India, Mahatha Gandhi. Sampai Pastika akhirnya meyakini ini: "Kekerasan tak pernah menyelesaikan masalah. Kekerasan sering kali harus ditutupi dengan kebohongan. Dan kebohongan harus ditutupi dengan kekerasan atau kebohongan yang lebih besar lagi."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo