Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta polisi menyebutnya otak pembobolan sejumlah bank. ”Dia memang otaknya,” kata Kepala Satuan Fiskal, Moneter, dan Devisa Kepolisian Daerah Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Arismunandar.
Sang otak, Richard Latief, lama berkiprah di dunia marketing. Ia dikenal piawai mendekati dan merayu pemilik dana jumbo agar menyimpan duit mereka di bank yang ia tunjuk. Setelah berkongkalikong dengan orang dalam bank, ia menggelontorkan dana itu ke perusahaan investasi, yang ujung-ujungnya masuk ke rekeningnya. ”Kalau dia merayu, ibaratnya pohon kelapa pun akan melengkung, tunduk,” ujar seorang kepala cabang sebuah bank swasta terkemuka di kawasan Kelapa Gading, menggambarkan dahsyatnya rayuan Richard.
Pria yang hanya jebolan SMA ini memang banyak mengenal kepala bank, terutama di Jakarta. Sumber Tempo menyebutkan, dengan bekal memiliki ”peta kepala bank” itulah, ia bisa tahu persis mana kepala bank atau orang dalam bank yang bisa ia garap. Salah satu modusnya adalah memasukkan nasabah kakap ke bank itu sehingga kepala bank tersebut dinilai berprestasi. ”Setelah itu, ia mengajak kepala bank tersebut membobol uangnya,” ujar seorang pejabat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Polisi mencatat, selain menjebol duit PT Elnusa dan Pemerintah Kabupaten Batu Bara di Bank Mega Jababeka, Bekasi, Richard serta komplotannya pernah menjebol duit Yayasan Damandiri sebesar Rp 100 miliar di Bank Lippo Cimahi dan Rp 200 miliar di BRI Cabang Senen, Jakarta Pusat. Polisi menetapkan Richard sebagai buron sejak 2006.
Kini kasus Elnusa dan pemerintah daerah Batu Bara membuat pria 55 tahun ini mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Di sana ia tidur di kamar yang diisi sembilan tahanan. Di ruang tahanan itu pula mendekam Kepala Cabang Bank Mega Jababeka Itman Harry Basuki, Direktur Keuangan PT Elnusa Santun Nainggolan, dan Direktur PT Discovery Indonesia Ivan C.H. Litha beserta wakilnya, Andhy Gunawan. Sejak ditahan sekitar sebulan lalu, Richard mengaku sulit tidur. ”Saya baru bisa tidur di atas pukul tiga pagi,” katanya kepada wartawan Tempo, Mustafa Silalahi, pekan lalu.
Ini bukan pertama kali Tempo berjumpa dengan Richard setelah ia ditangkap. Tiga pekan lalu, wartawan Tempo, Sunudyantoro dan Mustafa, juga mewawancarai pria yang mengaku saat remaja pernah menjadi tukang semir sepatu di Tanjung Priok untuk membantu orang tuanya ini. ”Ini pertama kalinya saya ditangkap, dan ditahan,” katanya sembari mengisap rokok kreteknya dalam-dalam.
Polisi menyebut Anda sebagai otak pembobolan uang PT Elnusa. Apa komentar Anda?
Ah, tidak. Orang selalu membesar-besarkan peran saya. Seolah-olah kasus pembobolan itu hasil kreasi saya. Padahal tidak begitu....
Kalau begitu, peran Anda?
Saya ini hanya mediator yang memperkenalkan Itman Harry Basuki kepada Ivan C.H. Litha. Setelah itu, komunikasi kami putus. Jadi, setelah itu, saya tidak tahu-menahu apa yang mereka kerjakan.
Mengapa Anda memperkenalkan mereka?
Begini, saya ini mediator, yang hanya mengharapkan uang komisi. Itman punya A tapi butuh B. Ivan butuh A, punya B. Saya lalu menjodohkan mereka. Setelah itu, apa yang mereka lakukan bukan urusan saya.
Berapa komisi yang Anda dapatkan dari mereka?
Sedikit, tidak banyak seperti yang disebut orang-orang. Hanya Rp 100 juta.
Siapa yang memberi Anda uang komisi itu?
Pokoknya salah satu di antara mereka. Dia menelepon, ”Pak Richard, ada rezeki, nih.” Ya, sudah, saya terima.
Dari mana Anda mengenal Itman dan Ivan?
Saya sejak 2005 menjadi nasabah Bank Mega Jababeka. Dari sana saya kenal Itman. Kalau Ivan, karyawannya di PT Discovery Indonesia yang memperkenalkannya kepada saya.
Lalu kenapa Santun Nainggolan terlibat?
Saya tidak tahu. Saya baru mengenal dia di dalam tahanan.
Anda juga disebut-sebut terlibat dalam kasus pembobolan Kabupaten Batu Bara?
Itu lebih ngawur lagi. Saya tidak pernah kenal dan berhubungan dengan pejabat di Batu Bara. Apalagi pola pembobolannya berbeda.
Berbeda bagaimana?
Banyak media yang menyebutkan modus pembobolan duit deposito keduanya sama. Padahal tidak. Tapi saya tak bisa berkomentar lagi tentang ini.
Anda tahu bagaimana dana PT Elnusa dan Batu Bara dibobol?
Begini ya, sekolah saya ini hanya sampai SMA. Ilmu saya sebenarnya cetek. Jadi saya tidak paham tentang perbankan.
Dalam kasus di Batu Bara, disebut nama Rahman Hakim dan Ilham Martua Harahap, yang menurut kejaksaan ikut terlibat. Anda kenal mereka?
Siapa itu? Saya tidak kenal.
Anda disebut memiliki saham di perusahaan yang dipimpin Rahman.
Ah, tidak ada itu.
Kalau Anda membantah semua keterlibatan ini, mengapa polisi menyebut Anda otak pembobolan?
Terserah saja orang mau bilang apa. Suatu saat akan saya buktikan kalau saya tak bersalah. Saya juga disebut buron. Saya ini orang biasa saja yang tak kebal hukum. Padahal, kalau mau menangkap saya, gampang, karena saya selalu ada di rumah.
Dalam kasus pembobolan dana Kabupaten Aceh Utara di Bank Mandiri, dana Yayasan Damandiri, serta pembobolan di Bank BRI Cabang Senen dan Tanah Abang, Anda juga dinyatakan polisi terlibat.
Sama seperti di Bank Mega, saya hanya mediator di antara pihak yang berkepentingan. Kalau istilah pasarannya, ya, broker, gitu.
Sejak kapan Anda menjadi broker?
Saya tak ingat persisnya, tapi 1990-an. Broker tanah juga saya lakukan untuk mencari nafkah.
Berapa sih honor Anda setiap menjadi broker?
Ada semacam kesepakatan, broker mendapat satu persen. Ada kalanya dua persen dari nilai proyek. Tapi di Indonesia banyak yang ingkar. Mestinya satu persen, eh, ternyata 0,25 persen. Menjadi broker harus siap makan hati. Kalau lagi rezeki, dua pihak ngasih duit komisi. Kalau sial, kita cuma mendapat mimik masam muka mereka. Tak ada angka pasti, apalagi pakai hitam di atas putih.
Proyek besar apa yang pernah Anda tangani sehingga mendapat komisi besar?
Salah satunya pada 1995. Saya mempertemukan pengusaha Arab Saudi dengan pengelola sebuah tambang di Sumatera Selatan. Saya mendapat komisi Rp 2 miliar. Saat itu saya mendadak jadi konglomerat. Ha-ha-ha….
Melihat dari berbagai kasus, nama Anda berarti terkenal di antara broker?
Entah sudah berapa kali orang mencatut nama saya. Pernah ada orang marah-marah di depan saya, mengaku ditipu Richard Latief. Setelah saya mengaku yang dia maksudkan adalah saya, dia kaget dan langsung meminta maaf. Dalam berbagai kesempatan, saya bahkan tidak menggunakan nama asli saya.
Kenapa Anda harus mengganti-ganti nama?
Dunia bisnis, apalagi broker, itu seperti dunia kangouw (cerita dunia persilatan Cina) yang penuh intrik. Jadi biar saya kesannya orang yang di belakang layar saja.
Di mana biasa Anda mempertemukan klien-klien Anda?
Paling-paling di supermarket kecil saja. Saya tidak biasa nongkrong di hotel berbintang atau kafe yang mewah. Rasanya risi. Kalau agak mewah, bertemu di luar negeri.
Mengapa harus bertemu di luar negeri?
Selain kliennya dari luar negeri, bertemu di sana lebih nyaman. Apalagi kalau bertemu dengan pejabat.
Siapa saja pejabat yang Anda kenal?
Tidak usah disebutlah. Saya tidak enak sama mereka nanti.
Mengapa Anda tidak menggunakan pengacara?
Untuk apa? Saya merasa tidak bersalah. Lagi pula honor mereka mahal. Buang-buang duit saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo