Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Batu Bara Makin Panas

Bisnis batu bara menjanjikan keuntungan berlimpah. Agar tak ludes dalam 35 tahun, cara Cina layak ditiru.

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN Tikus bisa jadi punya arti khusus buat PT Tambang Batubara Bukit Asam. Tahun baru berdasarkan penanggalan Cina yang diawali pada Februari 2008 ini, konon, dipercaya sebagai tahun yang membawa berkah buat bisnis hasil bumi.

Sederet rencana ekspansi siap digeber perusahaan tambang pelat merah ini. Misalnya, ikhtiar membangun jalur kereta api anyar dan mengembangan jalur kereta yang sudah ada. ”Langkah itu ditempuh untuk menggenjot kapasitas angkut batu bara,” kata Direktur Utama Bukit Asam, Soekrisno, pekan lalu.

Dengan penambahan kapasitas angkut itu, diharapkan jumlah pasokan dan penjualan batu bara terdongkrak. Walhasil, kantong perusahaan pun kian tebal. Apalagi harga batu bara dunia lagi panas-panasnya, sementara produksi batu bara Bukit Asam selama ini masih setengah dari kapasitas terpasang yang 20 juta ton per tahun.

Guna memuluskan rencana itu, Bukit Asam menggandeng PT Kereta Api Indonesia untuk memperbaiki rel kereta api dari Tanjung Enim menuju Dermaga Kertapati di Palembang dan Pelabuhan Tarahan di Lampung.

Kajian PricewaterhouseCoopers atas proyek itu memang baru kelar Januari nanti. Tapi Bukit Asam sudah berancang-ancang menggerojokkan Rp 3,5 triliun untuk memompa kapasitas angkut dari 8,3 juta ton menjadi 15 juta ton per tahun pada 2010. ”Cadangan tertambang kami besar, tapi infrastruktur ke pelabuhan terbatas,” kata Soekrisno.

Tak cuma memperbaiki rel, Bukit Asam juga membangun jalur baru dari Tanjung Enim ke Pelabuhan Baru Tarahan. Proyek yang ditargetkan rampung pada 2011 itu bekerja sama dengan China Railway Engineering Corporation dan PT Transpacific. Nilainya US$ 1,1 miliar (Rp 10 triliun). Tujuh puluh persen dari investasi itu dibiayai lewat utang.

Sederet agenda tadi dipersiapkan seiring dengan melesatnya permintaan batu bara dunia yang tak diimbangi dengan pasokan. Tahun lalu, dari total 5,4 miliar ton produksi dunia, jumlah batu bara termal yang diperdagangkan antarnegara kurang dari 10 persen. Selebihnya digunakan untuk kebutuhan domestik. Itu pun masih kurang.

Tak mengherankan bila beberapa negara penghasil batu bara juga menjadi importir. Cina, dengan produksi 2,4 miliar ton, mengimpor 38 juta ton batu bara tahun lalu. India, dengan produksi 427 juta ton, 10 persennya dipasok negara lain. ”India sulit meningkatkan produksi karena lokasi tambang berada di daerah padat penduduk dan penuh konflik,” kata M. Alfatih, analis BNI Securities.

Jumlah kebutuhan batu bara kedua negara itu diperkirakan masih terus membengkak. Ini karena Cina, yang punya pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dengan kapasitas terpasang 500 ribu megawatt, akan menggandakan kapasitasnya dalam lima tahun ke depan.

India juga tengah menyiapkan pembangkit listrik berkapasitas 50 ribu megawatt. Akibat tambahan kapasitas itu, kata Jeffrey Mulyono, Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), India membutuhkan 175-200 juta ton batu bara per tahun. Indonesia sendiri membutuhkan tambahan pasokan 35-47 juta ton per tahun bila program pembangkit listrik 10 ribu megawatt berjalan tiga tahun mendatang.

Membengkaknya kebutuhan batu bara tak lepas dari harga minyak mentah yang terus melejit ke titik US$ 90 per barel. Itu sebabnya, banyak negara yang rakus energi berlomba-lomba mencari alternatif. Salah satu pilihannya batu bara.

Persoalannya, pasokan batu bara bagi pasar Asia Pasifik pada 2008 bakal berkurang karena perbaikan infrastruktur di Australia belum sepenuhnya kelar. Padahal Negeri Kanguru itu, menurut data World Coal Institute, tahun lalu merupakan eksportir terbesar batu bara, yakni 231 juta ton.

Ketimpangan pasokan dan permintaan ini membuat harga batu bara tetap tinggi. Singgih Widagdo, Direktur Indonesia Coal Society, menaksir harganya tahun depan US$ 75-80 per metrikton. Taksiran Jeffrey bahkan lebih tinggi, US$ 90. Menurut keduanya, bisnis batu bara bakal makin hot.

Situasi itu tentu berkah bagi Indonesia, yang tahun ini menjadi eksportir batu bara termal nomor satu di dunia. Ekspor batu bara Indonesia yang lebih dari 150 juta ton setara dengan 30 persen pangsa pasar. Tahun depan jumlahnya ditaksir meningkat menjadi 218 juta ton.

Meski bisnis ini cerah, Jeffrey mengingatkan pemerintah hendaknya membuat skema yang jelas di bisnis tambang ini. Soalnya, dengan cadangan tertambang 7 miliar ton, pasokan batu bara Indonesia hanya aman hingga 35 tahun.

Indonesia, kata Singgih, selayaknya meniru Cina, yang menjadikan batu bara sebagai salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi. ”Bukan sekadar komoditas yang bisa mendorong penerimaan negara.” Salah satu caranya, pemerintah mengembalikan bentuk pembayaran royalti perusahaan dari tunai ke setoran batu bara (in-kind). Dengan begini, pemerintah pun akan lebih mudah jika sewaktu-waktu membutuhkan pasokan batu bara bagi kepentingan domestik.

Produsen Batu bara Indonesia (juta ton)

20062007*2008*
PT Kaltim Prima Coal35,30138,442,24
PT Adaro Indonesia34,36837,8041,58
PT Kideco Jaya Agung18,92224
PT Arutmin Indonesia16,23417,218,92
PT Berau Coal10,5331213
PT Indocominco Mandiri10,30211,712,87
PT Tambang Batu Bukit Asam9,29210,312
*Prediksi, Sumber: Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus