Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Belanja Tidak Terduga dan Kredibilitas Anies Baswedan

Adi Prayitno menilai temuan BPK tentang belanja tidak terduga merupakan ujian bagi kredibilitas kepemimpinan Anies Baswedan.

7 Agustus 2021 | 16.49 WIB

Ilustrasi Anggaran. shutterstock.com
Perbesar
Ilustrasi Anggaran. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

JAKARTA- Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI soal pemborosan anggaran Belanja Tidak Terduga Pemerintah DKI Jakarta yang dipimpin Gubernur Anies Baswedan belakangan menjadi sorotan publik. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo bahkan mendorong BPK untuk meminta penjelasan dari Pemerintah DKI mengenai yang disebut BPK sebagai pemborosan pengadaan alat kesehatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

“Kelebihan anggaran seharusnya dapat disalurkan untuk penanganan Covid-19 yang masih kurang,” kata Bambang Soesatyo, pada Sabtu, 7 Agustus 2021. Politikus Partai Golkar itu juga meminta BPK memberi rekomendasi yang harus dijalankan oleh Pemerintah DKI Jakarta. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggaran dana Belanja Tidak Terduga DKI pada 2020 mencapai Rp 5,52 triliun. Dari jumlah ini, Rp 662,72 miliar diserap untuk penanggulangan pandemi Covid-19. Rinciannya adalah Rp 652,08 miliar untuk bidang kesehatan termasuk rapid test dan Rp 10,63 miliar untuk penyediaan jaring pengaman sosial.

Pemborosan yang dimaksud BPK adalah kelebihan pembayaran pada tahun 2020 untuk alat rapid test sebesar Rp 1,1 miliar dan masker N95 sekitar Rp 5,85 miliar. Temuan itu termaktub dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan yang disampaikan BPK. 

Penghamburan dana pembelian masker itu bermula saat Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjuk PT ALK untuk pengadaan 195 ribu masker N95 Niosh Particulate Respirators merek Makrite 9500-N95 pada November lalu. Dengan dibaderol Rp 90 ribu per lembar, nilai kontraknya Rp 17,55 miliar.

Kedua merk masker N95 ini pemegang sertifikasi dari Food and Drug Administration alias FDA dan National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH). Artinya, masker yang disediakan PT IDS dan PT ALK sama-sama memenuhi syarat sebagai respirator jenis N95.

BPK menilai kedua respirator sama-sama memenuhi kualitas mutu. Namun, pejabat pembuat komitmen tidak melanjutkan kerja sama dengan PT IDS dan justru memesan masker N95 dengan harga lebih mahal kepada PT ALK. 

Angka Rp 5,85 miliar diperoleh dari selisih harga antara pengadaan masker N95 oleh PT ALK dengan total Rp 17,55 miliar (195 ribu lembar x Rp 90 ribu) dikurangi harga yang ditawarkan PT IDS (195 ribu lembar x Rp 60 ribu) yang totalnya Rp 11,7 miliar. Jika memesan kepada PT IDS, Dinas Kesehatan dapat memperoleh masker tambahan sebanyak 97.500 lembar dengan harga satuan Rp 60 ribu. 

Sedangkan untuk rapid test, Dinas Kesehatan DKI membeli rapid test covid IgD/IgM Rapid Test Cassete sebanyak 50 ribu pcs kepada PT NPN. Satu kemasan berisi 25 rapid test cassete merk Clungene. Satu rapid dibanderol Rp 197.500, sehingga total nilai kontrak mencapai Rp 9,87 miliar. Waktu pelaksanaan kontrak dimulai 19 Mei 2020.

Dinas Kesehatan DKI melakukan pengadaan rapid test yang sama, mulai merk hingga kemasan, kepada PT TKM sebanyak 40 ribu lembar. Harga per unit senilai Rp 227.272 dengan total nilai kontrak Rp 9,09 miliar. Waktu pelaksanaan kontrak dimulai 2 Juni 2020.

Dari kerja sama dengan dua perusahaan ini, ada selisih harga Rp 1,19 miliar untuk pengadaan rapid test yang sama. "Berdasarkan uraian di atas bila disandingkan pengadaan kedua penyedia tersebut maka terdapat pemborosan atas keuangan daerah senilai Rp 1,19 miliar," demikian laporan audit BPK DKI 2020.

Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria mengatakan proses lelang pembelian masker N95 dan pengadaan alat tes rapid COVID-19 sudah sesuai ketentuan meski menjadi sorotan BPK. Menurut Riza, sudah tugas BPK memeriksa secara rutin. "Semua proses lelang di DKI Jakarta sudah sesuai ketentuan dan peraturan. Silakan dicek dari awal hingga akhir," kata Riza. 

Riza Patria malah mengatakan bahwa Pemerintah DKI yang telah nendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK sebanyak empat kali berturut-turut. Sebelumnya Pemerintah DKI juga mendapat opini WTP terhadap laporan keuangan pada tahun 2017, 2018, 2019, dan 2020. "Mudah-mudahan kami bisa mendapat yang kelima, keenam, dan seterusnya." 

Kepala Dinas Kesehatan DKI Widyastuti menyebut tak ada kerugian negara dalam pengadaan masker N95 dan rapid test tahun 2020. Menurut Widysatuti, BPK bahkan telah memastikan tak ada kerugian apapun. “Itu hanya masalah administrasi saja,” kata dia di kantor Dinas Kesehatan DKI, Jakarta Pusat, Jumat, 6 Agustus 2021.

Pembelian masker N95, kata Widyastuti, sesuai dengan spesifikasi yang diminta user. Musababnya di awal pandemi Covid-19 tahun lalu banyak jenis masker yang diproduksi. Ia mengatakan spesifikasi masker dari PT ALK dan PT IDS memang sama. Namun, ada keluhan dari user, sehingga dinas harus mengganti perusahaan yang bisa menyediakan kebutuhan dinas. "Tentu spesifikasinya sama tetapi karena ada keluhan tertentu sehingga kami sesuaikan dengan masukan masukan dari user," kata dia.

Anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta, Anggara Wicitra Sastroamidjojo, mengatakan Pemerintah DKI harus bisa mempertanggungjawabkan penggunaan dana belanja tidak terduga. Menurut dia, Pemerintah DKI tidak pernah menyajikan rincian pemanfaatan dana belanja tidak terduga pada 2020.

Melalui mekanisme belanja tak terduga, sumber anggarannya adalah APBD atau uang rakyat. "Sepeser pun harus bisa dipertanggungjawabkan dengan jelas," kata dia saat dihubungi, Kamis malam, 5 Agustus 2021.

Selain belanja masker N95 dan alat rapid tes yang dinilai terlalu mahal itu, BPK juga mencatat adanya kelebihan bayar uang pensiun dan gaji PNS atau pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah DKI. Kelebihan bayar itu Rp 862,7 juta pada 2020. 

Pemerintah DKI telah mengembalikannya sebesar Rp 200 juta. "Tinggal sisa Rp 600 juta sedang proses (pengembalian)," kata Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria 
di Balai Kota Jakarta, Jumat malam, 6 Agustus 2021.

Kelebihan bayar gaji PNS ini, kata Riza, karena pendataan antara pegawai yang pensiun, meninggal, dan yang masih aktif. "Terlalu cepat diinput sehingga ada kelebihan bayar.”

Menurut Riza Patria, kelebihan bayar ini tak masalah. “Semua akan dikembalikan." Ia berjanji bahwa Pemerintah DKI akan menyelesaikan persoalan ini. 

Anggota DPRD DKI Jakarta William Aditya Sarana mengatakan sistem anggaran penanganan Covid-19 untuk beli masker N95 dan rapid test kit Rp 7 miliar harus dievaluasi. William mengatakan bahwa kemahalan anggaran ini bukanlah kali yang pertama. “Menurut saya harus ada evaluasi menyeluruh mengenai sistem penganggaran kita karena ini tidak terjadi sekali ini saja,” kata anggota Fraksi PSI itu saat dihubungi Tempo pada Jumat, 6 Agustus 2021.

Anggota DPRD DKI Fraksi PDI Perjuangan Ima Mahdiah meminta Pemerintah DKI Jakarta menjelaskan temuan BPK mengenai pemborosan anggaran pembelian masker N95 dan rapid test. Temuan BPK itu, kata dia, diduga merupakan kebocoran anggaran penanganan Covid-19.

“Jangan sampai Jakarta nanti dikenal sebagai provinsi kelebihan bayar, karena seringnya kasus kelebihan bayar,” kata anggota DPRD Fraksi PDIP itu saat dihubungi Tempo, Jumat, 6 Agustus 2021.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai temuan BPK itu merupakan ujian bagi kredibilitas kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan. Menurut dia, saat ini yang banyak muncul adalah opini publik mengenai temuan itu, bukan substansinya.

Pemerintah DKI Jakarta dan BPK perlu memberikan klarifikasi yang jelas soal apakah temuan itu menyebabkan kerugian keuangan negara. 
Jika tak ada penjelasan yang kuat dari pemerintah provinsi, kata Adi, Anies yang berada di pucuk kepemimpinan akan menjadi sasaran kritik berbagai pihak, terutama yang beroposisi terhadap dirinya.

“Kalau tidak bisa diklarifikasi dengan baik, ya, Anies bukan saja akan digoreng. Pasti akan menjadi bulan-bulanan,” ujar dia lewat sambungan telepon pada Sabtu, 7 Agustus 2021.
 

Adapun kritik yang disampaikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI dari fraksi PDIP dan PSI terkait temuan itu, kata Adi, sudah biasa. Alasannya, kedua partai itu memang menempatkan diri sebagai oposisi Anies Baswedan.

Adi menilai temuan BPK mengenai belanja tidak terduga adalah murni mengenai audit laporan keuangan dan tidak ada unsur politiknya. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus