Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shanur Miah lahir di Bangladesh, namun tumbuh akil balig di London, Inggris. Pria 28 tahun itu pun sudah menjadi warga negara Inggris dan menjadi guru sekolah menengah di kawasan London Timur. Bagi Shanur sekarang, Inggrislah, bukan Bangladesh, tanah airnya.
Namun, masalah muncul tiga tahun lalu ketika dia berniat menikahi pacarnya. Dia berharap setelah menikah ia bisa memiliki rumah sendiri agar dapat segera pindah dari apartemen sempit milik orang tuanya. Apa daya, isi rekening Shanur tak cukup untuk membiayai niatnya.
Jalannya buntu, karena berutang ke bank pun bukan solusi. Bagi Shanur yang muslim, berutang ke bank konvensional dan membayar bunga tidak cocok dengan keyakinannya. Beruntunglah, HSBC Amanah, unit syariah dari Bank HSBC, menawarkan pinjaman pembelian rumah dengan syarat lebih ringan.
Warga muslim Inggris yang bernasib seperti Shanur tidak sedikit. Jumlah penduduk muslim di sana lumayan besar, 1,8 juta orang (2,8 persen) dan Islam merupakan agama nomor dua terbesar di Inggris. ”Sebelum ini, mayoritas muslim di Inggris tersingkirkan dari pasar properti. Sebagian memilih berutang di bank konvensional, tapi dalam hati merasa bersalah,” kata Iqbal Assaria, anggota Dewan Muslim Inggris.
Perbankan syariah di Inggris memang terhitung masih belia. Bank syariah pertama di Inggris dan juga Eropa Barat, Islamic Bank of Britain, baru beroperasi pada September 2004. Itu pun cabangnya masih sangat terbatas, yakni London, Leicester, Birmingham, dan Manchester.
Kendati masih belia, pertumbuhan perbankan syariah di Inggris terhitung pesat. Hingga pertengahan 2007, jumlah nasabah Islamic Bank tumbuh 28 persen menjadi sekitar 30 ribu nasabah. Dana yang dihimpun juga melesat 32 persen menjadi 80 juta pound sterling (Rp 1,49 triliun). ”Kredit yang kami salurkan meningkat 40 persen menjadi 4,1 juta pound sterling,” kata Mohsen Moustafa, bos Islamic Bank.
Nicholas Stephens, analis lembaga riset Datamonitor, yakin perbankan syariah di Inggris bakal tumbuh pesat. Menurut Nicholas, aset yang dikuasai 5.000 jutawan muslim di negeri Ratu Elizabeth ini saja diperkirakan 3,6 miliar pound sterling (Rp 67 triliun). ”Selama ini mereka tidak terlayani oleh bank-bank di Inggris,” katanya.
Tak mengherankan, kini sejumlah bank besar turut berburu ”kue” syariah yang tak kecil ini. Menurut data Institute of Islamic Banking and Insurance, saat ini paling tidak ada 23 lembaga keuangan syariah di Inggris, di antaranya Lloyds TSB (bank kelima terbesar di Inggris), Barclays Capital, dan Citibank. ”Riset kami menunjukkan tiga perempat muslim di Inggris menginginkan jasa perbankan yang pas dengan keyakinan mereka,” kata Gordon Rankin, bos Lloyds TSB.
Setahun lalu, di muka peserta Konferensi Perdagangan dan Keuangan Islam di London, Menteri Keuangan Inggris Gordon Brown menyatakan keyakinannya bahwa dalam beberapa tahun lagi Inggris bakal menjadi gerbang keuangan Islam di dunia.
Negara yang saat ini layak disebut kiblat perbankan syariah dunia di luar negara-negara Timur Tengah adalah Malaysia. Cikal bakal perbankan syariah di negeri jiran ini bermula dari tabungan haji, Perbadanan Wang Simpanan Bakal-Bakal Haji, pada September 1963. Barulah 20 tahun kemudian bank syariah pertama di Malaysia, Bank Islam Malaysia Berhad, resmi beroperasi. Bank syariah kedua, Bank Muamalat Malaysia Berhad, menyusul pada 1999.
Menurut data Bank Negara Malaysia, sekarang ada 11 bank syariah dan 18 unit bank syariah dengan 1.161 kantor cabang. Hingga akhir 2006, aset yang mereka kelola sebesar 122 miliar ringgit Malaysia (Rp 323 triliun) atau berlipat tujuh kali dibanding aset pada 1997. Namun, aset syariah ini baru 12 persen dari total aset perbankan Malaysia. Dalam Rencana Sektor Keuangan, Bank Negara Malaysia mematok target pada 2010 porsi perbankan syariah sudah 20 persen dari aset perbankan. Ini yang terbesar di Asia.
Salah satu yang menjadi incaran bankir syariah Malaysia adalah limpahan duit minyak, petrodolar, dari Timur Tengah. ”Potensi Malaysia meraup petrodolar sangat besar,” kata Kuldeep Singh, Kepala Treasury Citigroup Malaysia, seperti dikutip Bloomberg. Sekali lagi, tampaknya Indonesia harus belajar dari tetangga kita ini.
Sapto Pradityo (Bank Negara Malaysia, BBC, Guardian, FSA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo