Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Ecology of Papua Editor: Andrew J. Marshall, Bruce M. Beehler Penerbit: Periplus International, 2007 Tebal: 1.476 halaman (2 volume)
Sampai pertengahan abad lalu, para ilmuwan hayati dunia meyakini Papua sebagai satu-satunya terra incognita—dunia tak dikenal—yang terbesar dan masih tersisa. Bahkan, menurut G.S. Hope, peneliti dari Australia, sampai pertengahan 1976, hanya segelintir peneliti yang dengan izin khusus bisa memasuki kawasan ini.
Papua yang dekat, tapi begitu jauh dari jangkauan, merupakan persoalan kontemporer kita. Dan keadaan miris ini berlangsung hingga akhir September lalu—ketika dua volume Ecology of Papua, tebalnya mencapai 1.476 halaman, diterbitkan. Sebuah buku yang mencoba mencatat keadaan geografis serta kekayaan hewani dan nabati subkontinen yang menakjubkan itu. Patut pula dicatat, semua ini jadi lebih terbuka setelah 86 orang pakar hayati dan taksonomi bergerak sepuluh tahun silam, seraya mengumpulkan keanekaragaman hayati tanah Papua.
Ya, Ecology of Papua adalah hasil jerih payah yang panjang yang membuahkan hasil. Lihatlah bagaimana buku ini menggambarkan bahwa sebuah pohon roboh bisa dihuni oleh 173 jenis lumut. Tapi gambaran Papua yang tertangkap dalam buku ini tentu saja lebih dari itu. Ecology of Papua menyampaikan bahwa para pakar itu menjumpai 20-25 ribu spesies tanaman berpembuluh, dan sekitar 60-90 persen merupakan endemik Papua. Ada catatan istimewa tentang paku-pakuan yang meliputi sekitar 2.000 spesies; 30 persen di antaranya berada di atas ketinggian 4.000 meter dari permukaan laut.
Dari dunia nabati, kita juga bisa mendapatkan gambaran kekayaan anggrek Papua—plus Papua Nugini. Mereka menyimpan sekitar 2.800 spesies anggrek atau sekitar 11 persen dari anggrek dunia. Dengan kata lain, merekalah yang terkaya kedua, setelah Pegunungan Andes di Amerika Selatan.
Di luar kekayaan nabati, Papua punya kekayaan lain. Di pulau itu, para pakar menemukan antara lain 37.643 spesies vertebrata atau sekitar 6,5 persen dari binatang bertulang belakang di dunia. Di antaranya terdapat 600 spesies burung, termasuk 25 spesies cenderawasih. Mereka memperkirakan Papua memiliki 300-500 ribu spesies vertebrata. Serangga saja jumlahnya ditaksir 100 ribu spesies dan baru sebagian kecil yang dikatalogkan. Dengan jumlah flora dan fauna yang melimpah itu pun, menurut Direktur Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dedy Darnaedi, ”Mungkin baru sebagian kecil kekayaan hayati Papua yang bisa diungkap.”
Hewan Papua juga merupakan campuran hewan Benua Asia dan Australia. Ada satu hal yang menarik dicatat dari buku ini: temuan mereka tentang kanguru pohon. Dan ini membuktikan bahwa spesies itu belum punah. Sebagaimana diketahui, kanguru pohon yang hanya hidup di Papua itu tidak pernah ditemukan selama 90 tahun terakhir. Dilengkapi ratusan foto, gambar, dan peta, Ecology of Papua tak pelak lagi bisa menjadi rujukan untuk hal-hal yang sangat praktis. Misalnya zonasi dalam pengelolaan sumber alam. Dan kita mungkin masih ingat rencana pembangunan proyek listrik tenaga air Mamberamo dua-tiga tahun lalu—rencana yang terpaksa terhenti lantaran lokasinya masih masuk zona inti yang tidak boleh disentuh oleh pemanfaatan manusia.
Apa pun, yang jelas, terbitnya buku ekologi Papua ini menambah khazanah literatur ekologi Indonesia, yakni melengkapi lima seri ekologi Indonesia yang sudah ada: ekologi Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku, serta satu seri ekologi laut Indonesia.
I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo