Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Aktivis keberagaman dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) Yogyakarta khawatir dampak dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
MUI menetapkan Gafatar sebagai kelompok atau aliran sesat pada Rabu, 3 Februari 2016. Penetapan itu diklaim setelah dilakukan pembahasan panjang selama dua pekan terakhir. “Pelabelan sesat itu justru bisa terbawa melekat pada bekas anggotanya yang sewaktu-waktu berpotensi memicu tindakan intoleran terhadap mereka,” ujar koordinator ANBTI, Agnes Dwi Rusjiati, Kamis, 4 Februari 2016.
Agnes mengatakan keluarnya cap sesat atau bukan sesat dan terlarang atau tak terlarang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah selaku penyelenggara negara berdasarkan konstitusi. “Jika Gafatar sesat, silakan pemerintah adili pemimpinnya dengan UU yang berlaku, sehingga ada tolok ukur hukum yang jelas dan tak memicu keresahan di masyarakat,” ucapnya.
Menurut Agnes, pelabelan sesat jangan sampai memicu kekerasan terhadap anggotanya, seperti yang pernah terjadi pada gerakan Ahmadiyah. “Apalagi saat ini mantan anggota Gafatar yang sudah terusir itu sebagian masih belum diterima masyarakat di kampung asalnya karena dianggap menyimpang ajaran agama dan alasan lain,” tuturnya. Dia berharap cap sesat terhadap Gafatar dikaji ulang agar tak menimbulkan persoalan baru bagi bekas anggotanya.
Menurut Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta M. Jazir, mantan anggota Gafatar wajib dilindungi dari tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. “Yang diantisipasi, jangan sampai pemerintah kecolongan lagi dengan munculnya gerakan seperti ini yang menjadi keresahan baru di masyarakat,” kata Jazir.
PRIBADI WICAKSONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini