Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Surat dari Redaksi
Laporan Utama

Habis Jokowi Terbitlah Dedi Mulyadi

Kemunculan Dedi Mulyadi mengingatkan kita pada Jokowi. Kebijakan publiknya tak menyentuh akar masalah.

18 Mei 2025 | 08.30 WIB

Sampul Tempo Habis Mulyono Terbitlah Mulyadi
Perbesar
Sampul Tempo Habis Mulyono Terbitlah Mulyadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Ringkasan Berita

  • Popularitas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengingatkan kita pada fabrikasi kemunculan Jokowi.

  • Ia punya tim yang memproduksi dan memviralkan konten di media sosial.

  • Kebijakan-kebijakan publiknya sekadar bertujuan meraih simpati, hanya muncul di permukaan, dan tak menyelesaikan akar masalah.

DEDI Mulyadi menumbuhkan harapan masih ada pejabat publik yang mau bekerja untuk kepentingan orang banyak. Tapi cara Gubernur Jawa Barat ini menunjukkannya langsung membunuh harapan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Di zaman ketika politik dan kekuasaan menjauh dari nilai-nilai, politikus yang sat-set menyelesaikan masalah membuat publik mendapat harapan ada pemimpin yang benar-benar bekerja tanpa memikirkan kepentingan elektoral. Tapi cara Dedi Mulyadi ini membangkitkan trauma yang mengendap dalam ingatan publik sepuluh tahun terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Popularitas Dedi Mulyadi yang melejit di media sosial mengingatkan kita pada kemunculan Joko Widodo di pentas politik nasional. Sejak menjabat Wali Kota Solo, Jawa Tengah, Jokowi ditopang tim digital yang menamakan diri Jokowi-Ahok Social Media Volunteer (Jasmev) ketika ia hendak merebut kursi Gubernur Jakarta pada 2011.

Namanya menjadi top of mind karena muncul dalam 200 berita sehari. Tim media sosialnya menggaungkan tanda pagar “Jokowi for President”, padahal ia hendak ikut pemilihan Gubernur Jakarta. Timnya beralasan, jika Jokowi diterima sebagai calon presiden, apalagi menjadi gubernur. Pemilih pun terbius dan Jokowi menjadi Gubernur Jakarta lalu presiden selama dua periode sejak 2014. Hasilnya kerusakan politik dan ekonomi Indonesia yang tak mudah dipulihkan.

Trauma itu membuat publik waspada terhadap kemunculan Dedi Mulyadi yang masif di media sosial. Warganet terbelah antara mereka yang mendukung dan menentangnya. Para fannya memuji Dedi sebagai pejabat teladan. Para penentangnya cemas kebijakan yang dibuatnya sekadar gimik karena tak menyelesaikan akar masalah.

Setiap kali Dedi bepergian, timnya menguntit ke mana pun ia pergi. Mereka mengunggah tiga konten video per hari ke banyak platform: YouTube, TikTok, Instagram. Ia sendiri yang membuat narasi untuk disebarkan timnya di pelbagai kanal media sosial itu. Dedi paham publik kini mengakses informasi melalui ruang digital dan sisi emosional mereka mudah terombang-ambingkan.

Survei Populix pada 2022 menyebutkan 94 persen orang Indonesia mencari informasi di YouTube. Karena itu, Dedi tak memakai media konvensional untuk beriklan dan berkampanye. Ia mengklaim bisa mereduksi biaya promosi kinerja Gubernur Jawa Barat dari Rp 50 miliar menjadi Rp 3 miliar. Penghasilan iklan dari tayangan konten dia bagi-bagikan kepada masyarakat yang ia temui selama kunjungan kerja. 

Rancangan sampul “Habis Mulyono Terbitlah Mulyadi”.

Konten-konten yang viral itu merupakan promosi kebijakan-kebijakan Dedi sebagai gubernur. Ketika mendapat aduan kriminalitas remaja dari para ibu, Dedi mengirimkan “anak nakal” ke barak militer untuk mendapatkan pendidikan disiplin. Ketika bertemu dengan seorang laki-laki miskin dengan anak banyak, ia menerapkan vasektomi sebagai syarat penerimaan bantuan sosial.

Kebijakan-kebijakan itu mencemaskan karena merusak prosedur. Dedi memang mendapat dukungan dan simpati publik. Namun, tanpa kajian mendalam, kebijakan itu hanya menyelesaikan masalah di permukaan. Dedi tak menimbang dampak psikologis anak-anak yang dididik di barak militer. Ia tak paham penukaran vasektomi dengan bantuan sosial sebagai tindakan diskriminatif.

Belakangan, Dedi merevisi niatnya menjadikan vasektomi syarat penerimaan bantuan sosial. Tapi kita jadi mafhum bagaimana cara ia memperlakukan kebijakan publik: instan dan dengan logika yang simplistis. Bagi Dedi, kebijakan tak perlu teknokratik karena yang ia kejar hanya simpati, like, dan komentar berisi pujian di media sosial. Ia tak memikirkan keberlanjutan.

Dalam banyak hal Dedi Mulyadi mirip dengan Jokowi, yang lahir dengan nama Mulyono. Selain gimik-gimiknya, ia ingin serba cepat mewujudkan pembangunan seraya mengabaikan fondasi sosial. Untuk meningkatkan kesejahteraan, ia punya ide membagikan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah tanpa berpikir panjang soal dampak ekonomi bahkan penyelewengan karena melanggar hukum. Kritik ia lihat sebagai ekspresi perbedaan politik. 

Sebagai pemimpin di daerah dengan jumlah orang miskin terbanyak kedua di Indonesia, Dedi Mulyadi merasa cukup membuat kebijakan publik memakai intuisi. Ia tampak memperlakukan jabatan publik sebagai hiburan, seperti pepatah Sunda yang mengatakan bahwa “hirup mah ngan ukur heuheuy jeung deudeuh”, hidup itu perjalanan antara suka dan duka, tawa dan air mata belaka. 

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Jakarta Jurnalis Award dan Mochtar Lubis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita. Sejak 2023 menjabat wakil pemimpin redaksi

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus