Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Fenomena Deret Tunggu Hukuman Mati, KontraS: Bentuk Kekerasan Psikologis

KontraS menyoroti fenomena deret tunggu hukuman mati yang muncul pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.

10 Oktober 2024 | 21.24 WIB

Koordinator Badan Pekerja KontraS, Dimas Bagus Arya, dalam acara peluncuran laporan KontraS soal situasi hukuman mati di Indonesia yang digelar di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis, 10 Oktober 2024. TEMPO/Ervana.
Perbesar
Koordinator Badan Pekerja KontraS, Dimas Bagus Arya, dalam acara peluncuran laporan KontraS soal situasi hukuman mati di Indonesia yang digelar di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis, 10 Oktober 2024. TEMPO/Ervana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti fenomena deret tunggu hukuman mati yang muncul pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka menilai fenomena deret tunggu itu sebagai bentuk kekerasan psikologis yang dialami oleh para terpidana mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Koordinator Badan Pekerja KontraS, Dimas Bagus Arya, menjelaskan bahwa eksekusi hukuman mati di Indonesia terakhir kali dilaksanakan pada tahun 2016, pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Sementara pada periode kedua, menurut dia, memang tidak ada eksekusi mati. Namun, dia menilai hal ini  justru menimbulkan fenomena baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ada satu fenomena baru namanya fenomena deret tunggu atau fenomena komutasi,” kata Dimas dalam acara peluncuran laporan KontraS soal situasi hukuman mati di Indonesia yang digelar di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 10 Oktober 2024. 

“Dan itu ternyata juga memberikan efek yang cukup menyakitkan pada terpidana mati,” lanjut Dimas.

Menurutnya, terpidana mati yang berada dalam deret tunggu itu mendapatkan kekerasan dalam konteks psikologis. Dimas mengatakan, terpidana mati tak diberikan kepastian soal pelaksanaan eksekusi yang mereka hadapi. “Mereka meletakkan nyawanya untuk menunggu dieksekusi, tapi kemudian belum ada kejelasan proses eksekusinya,” tutur dia. 

Menurut Dimas, pidana mati merupakan salah satu praktik pembunuhan berencana yang dilegalkan oleh negara. Penghormatan hak hidup bagi warga negara sebagai hak yang tidak bisa dikurangi justru tak dijalani.

“Kontradiksinya ada sejumlah kebijakan yang ternyata masih diskriminatif dan pada akhirnya mengurangi hak hidup masyarakat atau warga negara Indonesia,” katanya. 

KontraS mencatat, terdapat setidaknya 32 vonis hukuman mati yang dijatuhkan sepanjang Oktober 2023 hingga September 2024. Sebanyak 20 vonis tersebut berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan 12 lainnya terkait dengan tindak pidana pembunuhan. Lebih lanjut, dalam catatan KontraS, Pengadilan Negeri merupakan lembaga peradilan yang paling banyak menjatuhkan vonis hukuman mati, yakni sebanyak 28 vonis. Sementara Pengadilan Tinggi, menjatuhkan 4 vonis mati. 

KontraS juga mendokumentasikan 35 tuntutan hukuman mati yang diajukan oleh lembaga kejaksaan di Indonesia. Mereka merinci, Kejaksaan Negeri merupakan tingkat kejaksaan yang paling banyak menuntut hukuman mati, yakni sebanyak 32 tuntutan dengan 61 terdakwa. Pada periode itu juga, Kejaksaan Tinggi mengajukan pidana mati sebanyak 3 tuntutan terhadap 8 terdakwa. 

Ervana Trikarinaputri

Lulusan program studi Sastra Inggris Universitas Padjadjaran pada 2022. Bergabung dengan Tempo sejak pertengahan 2024.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus