Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

HUT Jakarta: Ria Irawan Cerita Kerennya Pertunjukan Era 1980-an

Mengenang konser kecil Indra Lesmana di bar dan pertunjukan lawak di panggung. HUT Jakarta sekarang beda dengan dulu.

30 Juni 2018 | 07.00 WIB

Pertunjukan sandiwara oleh Grup Srimulat berjudul "Mertua Piaraan" di Taman Ria Remaja, Senayan, Jakarta, 1982. Dok.TEMPO/Syarif Hidayat
Perbesar
Pertunjukan sandiwara oleh Grup Srimulat berjudul "Mertua Piaraan" di Taman Ria Remaja, Senayan, Jakarta, 1982. Dok.TEMPO/Syarif Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Bertepatan dengan HUT Jakarta ke-491 tahun ini aktris Ria Irawan menceritakan geliat kesenian di Ibu Kota pada era 1980-an. Tentu ada perbedaannya. Apa itu?

Menurut Ria, pada saat ini terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap seni seiring dengan kemajuan teknologi. Berbeda dengan kala itu ketika pegiat seni harus “kucing-kucingan” dengan peraturan sebab pemerintah banyak ikut campur soal kesenian, terutama substansi dam peredaran film mulai dari praproduksi sampai pasca produksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

BacaHUT Jakarta, Melawai Lokasi Romantis Sandiaga Uno Era '80-an 

Sebelum televisi menjadi sarana hiburan yang ada hampir di setiap rumah di Indonesia, dia melanjutkan, banyak panggung seni yang menyajikan program regular show. Seni kontemporer dan tradisional menjadi sajian banyak panggung di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ria Irawan saat menghadiri konferensi pers pembuatan film Gila dan Jiwa di Hard Rock Cafe Jakarta, Senin (10/2). TEMPO/Nurdiansah

Ria Irawan mencontohkan, musikus jazz Indra Lesmana yang sedang naik daun kala itu sering menggelar konser kecil di bar, misalnya Batik Bar. Ada pula grup lawak ternama Srimulat sebagai representatif seni tradisi yang masih banyak ditonton warga Jakarta. Juga pertunjukan wayang orang mahabharata punya panggung sendiri.

"Keren banget, kan?” ucap putri aktris Ade Irawan tersebut.

Meski begitu pada era 1980-an gerak seniman lebih terbatas karena terbentur oleh peraturan. Izin pertunjukan pada saat itu sangat sulit didapatkan dan tak sedikit artis yang dicekal atau dilarang tampil. “Pajak distribusi, apalagi izin pertunjukan itu lagi kampret-kampretnya tahun segitu, apa-apa dicekal.”

Lihat jugaTongkrongan 1980 - an Sandiaga Uno, dari Basket Sampai Diskotek

Wanita kelahiran 1969 itu pun mengungkap peran sentral Departemen Penerangan (kini Kementerian Informasi dan Telekomunikasi) dalam pembatasan ruang gerak seniman. Departemen ini melakukan pembatasan lewat banyak sekali peraturan.

Ria Irawan mencontohkan, judul film harus ditentukan oleh pemerintah. Soal materi film, dilarang ada bagian yang menunjukkan kondisi rakyat Indonesia yang marjinal, seperti pengemis atau tukang becak.

“Nggak boleh, tuh cerita pengemis dan tukang becak di Jakarta makan pake tangan. Nggak boleh (film) memperlihatkan kemiskinan, ajaib, lah,” katanya.

Kini, teknologi hadir membuat waktu terasa lebih sempit dan mengubah pola masyarakat dalam menikmati kesenian. Meski bisa dibilang tak ada aturan yang mengekang para seniman, justru petunjukan seni pertunjukan di panggung semakin tidak relevan bagi masyarakat Jakarta.

“Teknologi dan efisiensi waktu, udah nggak  bisa lo dateng ke gedung pertunjukan," ucap Ria Irawan, pemenang Best Supporting Actress FFI 1988.

FIKRI ARIGI

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus