Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggarap serius keinginannya mengamandemen UUD 1945. Bahkan rencana yang direspons negatif sejumlah pengamat ini sekarang menjadi salah satu rekomendasi Kongres V PDIP di Bali beberapa hari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam rekomendasi butir ketujuh, PDIP menyatakan alasan perlunya amandemen terbatas UUD 1945. Ini demi menjamin kesinambungan pembangunan nasional dengan menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan diperlukan demi menjamin kesinambungan pembangunan nasional," kata Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto saat membacakan hasil rekomendasi di kongres di Bali, Sabtu, 10 Agustus 2019.
Kengototan PDIP mengamandemen UUD 1945 juga terlihat dari jurus PDIP dalam urusan perebutan kursi pimpinan MPR. Politikus PDIP Ahmad Basarah mengatakan partainya hanya akan bekerjasama dengan partai yang menyepakati amandemen terbatas UUD 1945 ketika mengajukan paket MPR periode 2019-2024.
"Kami akan menyepakati komposisi pimpinan MPR dari koalisi pengusung Jokowi atau bersama-sama dengan partai nonkoalisi yang sepakat amandemen terbatas UUD 1945," ujar Basarah di Bali pada Ahad, 11 Agustus 2019.
Mengenai siapa ketua atau wakil, kata Basarah, nanti akan disepakati bersama oleh ketua umum Partai koalisi dan dengan persetujuan Presiden Terpilih Joko Widodo atau Jokowi. Syaratnya, calon yang disepakati maju harus mendukung agenda amandemen UUD 1945.
PDIP juga merangkul Partai Gerindra untuk mendukung amandemen yang menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut pengurus partai dari PDIP dan Gerindra, soal GBHN itu juga dibicarakan dalam pertemuan antara Megawati dan Prabowo Subianto di Teuku Umar pada 24 Juli lalu.
Dalam pertemuan itu, terjadi diskusi tentang perlunya amendemen konstitusi. Terutama untuk mencegah membesarnya gerakan Islam kanan dan radikalisme yang bertujuan mengubah dasar negara.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang hadir dalam pertemuan di Teuku Umar itu mengaku belum mengetahui ihwal adanya pembahasan tersebut. "Aku belum tanyakan ke ibu kalau itu. Kan ada pertemuan empat mata. Aku juga belum sempat nanya karena persiapan kongres kan," ujar Hasto saat dikonfirmasi Tempo, Sabtu, 10 Agustus 2019.
Agun Gunanjar Sudarsa. Tempo/Tony Hartawan
Meski begitu, keinginan PDIP mengamandemen UUD 1945 bakal menempuh jalan panjang. Sebab, meski sejumlah partai menyatakan mendukung, namun materi amandemen belum menemukan kata sepakat.
Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Agun Gunandjar, menyebut MPR belum satu suara mengenai amandemen tersebut. Menurut Agun, masih banyak sudut pandang yang berbeda dimana tiap fraksi di MPR memiliki visi masing-masing terkait amandemen UUD.
“Masih ada kelompok yang menghendaki kembali ke yang asli, minta ada penguatan DPD, minta terbatas. Ini mana yang mau diputuskan, ini kan musti clear dulu,” ujar Agun saat ditemui di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu, 7 Agustus 2019.
Hal ini terlihat dari sikap Partai Persatuan Pembangunan. Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani menyatakan partainya terbuka terhadap rencana amandemen UUD 1945 dan haluan negara. Namun, keinginan PPP juga melebar soal posisi Mahkamah Konstitusi. "Soal MK juga harus kita tata ulang. Menurut saya kalaupun putusan MK tetap final dan mengikat, nanti harus dikasih pagar. Jadi tafsir konstitusionalitasnya itu tidak seperti kita memberikan cek kosong kepada MK," kata Arsul.
Lain lagi dengan Gerindra yang, meski mendukung amandemen, tapi menginginkan ada pengembalian UUD 1945 ke versi asli. "Kalau menurut saya amandemen itu mestinya bisa kita kembalikan dulu pada UUD 1945 yang asli, kemudian rekonstruksi. Kalau kita berani melakukan itu sebagai sebuah overhaul (pemeriksaan seksama) ya," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 8 Agustus 2019.
Selain harus berjuang menyamakan persepsi soal pasal yang akan diamandemen diantara sesama partai, keinginan PDIP sejauh ini mendapat tanggapan negatif publik.
Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai wacana PDIP itu sebagai langkah mundur. "Saya kira kajian PDIP kurang mendalam, tidak melihat sejarah, tidak melihat perbandingan dengan negara lain, dan bagaimana sistem presidensil yang efektif," kata Bivitri kepada Tempo, Ahad, 11 Agustus 2019.
Dengan konstruksi saat ini, Bivitri mengatakan tidak adanya lembaga tertinggi membuat proses check and balance lebih baik. Sebab, dalam sistem presidensil, semua lembaga berada dalam tingkat yang setara. Terkait haluan negara, menurut Bivitri, tak masuk akal jika GBHN didengungkan kembali dengan alasan Indonesia tak memiliki arah. Pasalnya, sudah ada Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang berisi visi 20 tahun. Undang-undang tersebut, kata Bivitri, serupa bahkan lebih baik dari GBHN.
Dari segi isi, SPPN memiliki indikator keberhasilan dan jelas targetnya, karena berisi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (20 tahun), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (5 tahun), Rencana Kerja Pemerintah (1 tahun). "Anak muda kalau baca GBHN itu terlihat bahwa GBHN ngawang-ngawang banget, berbunga-bunga, enggak ada maknanya," kata dia.
Sementara itu, pengamat politik asal Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai keinginan PDIP soal GBHN hanya karena romantisme era Soekarno.
Menurut Adi, sebagai partai yang berideologikan Soekarnois, wajar PDIP banyak menduplikasi apa yang dilakukan Soekarno. Termasuk membuat program kerja pemerintah berbasis ideologi negara yang terangkum dalam GBHN.
“Ini semacam romantisme masa lalu dimana Soekarno sangat ideologis dalam membuat kebijakan politiknya,” kata Adi saat dihubungi Senin 12 Agustus 2019.
DEWI NURITA | BUDIARTI UTAMI PUTRI | FIKRI ARIGI | FRISKI RIANA