Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Janji Baru Pemilik <font color=#FF9900>Lapindo</font>

Grup Bakrie bersedia menyelesaikan sisa pembayaran ganti rugi 80 persen kepada warga korban semburan lumpur Lapindo yang lama terkatung-katung. Tapi ini bukan berarti masalah pembayaran ganti rugi tuntas. Ribuan warga Sidoarjo masih menolak skema itu.

8 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMA takbir dan selawat menyambut sembilan orang perwakilan warga korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Tim 16 saat keluar dari kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu petang pekan lalu. Ketua tim itu, Kus Sulasono, dan delapan rekannya memeluk puluhan warga korban lumpur lain yang sudah menunggu di depan Istana Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

Perwakilan 4.000 kepala keluarga Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perumtas) I, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, ini baru saja bernegosiasi dengan Nirwan Dermawan Bakrie (penanggung jawab kelompok usaha Bakrie sekaligus Pemimpin Eksekutif PT Lapindo Brantas Inc.), Komisaris Minarak Lapindo Jaya Gesang Budiarso (afiliasi Lapindo Brantas), dan General Manager Lapindo Brantas Imam Agustino mengenai sisa pembayaran ganti rugi 80 persen.

Negosiasi yang dimulai pukul 14.00 berjalan alot. Tawar-menawar Tim 16 dengan Nirwan pun tak terhindarkan. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi serta Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Soenarso, yang ikut mendampingi, sesekali memberikan pandangan.

Tim 16 meminta Minarak membayar penuh sisa ganti rugi secara tunai. Nirwan berkeberatan dengan alasan usaha Grup Bakrie terimbas krisis finansial global. Minarak bersedia mencicil Rp 30 juta per bulan tanpa pembayaran uang kontrak. Ini berbeda dari tawaran Rp 20 juta per bulan plus pembayaran uang kontrak Rp 5 juta yang diajukan Minarak pada pertemuan sehari sebelumnya di kantor Departemen Pekerjaan Umum.

Para warga menurunkan tawarannya: pembayaran tunai Rp 75 juta, sisanya dicicil setiap bulan. Nirwan tetap tak sanggup. Terpaksa penawaran diturunkan menjadi Rp 50 juta, bahkan Rp 40 juta. Nirwan kukuh pada angka Rp 30 juta. Tim pun menurunkannya menjadi Rp 30 juta, dengan pembayaran uang kontrak rumah Rp 5 juta. Nirwan hanya sanggup mencicil Rp 30 juta per bulan plus pembayaran uang kontrak Rp 1 juta. Tim 16 meminta Nirwan menaikkan uang kontrak menjadi Rp 2,5 juta. Nirwan akhirnya setuju.

Deal. Para warga akan menerima pembayaran awal Rp 32,5 juta dan selanjutnya Rp 30 juta per bulan sesuai jatuh tempo masing-masing. Pembayaran ganti rugi, kata Kus, memang tidak optimal. Tapi mereka mau menerima tawaran karena memahami kesulitan Grup Bakrie. ”Yang terpenting kami sudah bertemu dengan Presiden dan mendapat jaminan pemerintah,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Negosiasi berakhir menjelang magrib.

lll

Senin, 29 Mei 2006, lumpur menyembur dari ladang gas Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas. Luberannya menenggelamkan area permukiman, pertanian, industri, fasilitas pendidikan, dan sarana publik lainnya seluas 470 hektare. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kerugian langsung mencapai Rp 7,3 triliun dan potensi kerugian mencapai Rp 16,4 triliun. Jika tak ada penanganan sampai 2015, kata Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dampak luberan lumpur akan mencapai 580 kilometer persegi atau 80 persen luas Kabupaten Sidoarjo.

Semburan lumpur menjadi mimpi buruk warga di kawasan Porong, Sidoarjo. Yuini, 52 tahun, warga Desa Renokenongo, harus kehilangan dua petak sawahnya. Dari sawah ini, dia dan suaminya, Rabit, 54 tahun, menghidupi 13 anggota keluarganya. Kini sawahnya telah tenggelam oleh lumpur. Ia hanya mendapatkan ganti rugi Rp 1,25 juta dari Minarak. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sesekali Yuini mengemis di sepanjang Jalan Raya Porong. ”Mau gimana lagi, Mbak? Daripada cucu-cucu saya ndak makan, lebih baik saya yang minta-minta.”

Amin Shahuri, warga Perumtas, mengisahkan selama dua tahun terakhir kehidupan warga korban lumpur morat-marit. Tak sedikit yang kehilangan pekerjaan. Kini mereka harus mengurusi keluarga yang menjadi korban lumpur, termasuk menunggu kepastian pembayaran sisa ganti rugi. ”Banyak juga yang sakit jiwa karena enggak kuat menanggung beban,” ujarnya. Yuini, Rabit, dan Amin tak sendirian. Masih ada 13 ribu keluarga di sembilan desa yang kehilangan tempat tinggal. Harapan satu-satunya adalah ganti rugi memadai dan cepat dari Lapindo.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007, Lapindo harus bertanggung jawab menutup semburan lumpur. Lapindo juga wajib membayar ganti rugi tanah dan bangunan milik warga di tujuh desa (”peta terdampak”), yakni Jatirejo, Siring, Kedungbendo, Renokenongo, Gempolsari, Ketapang, dan Kalitengah. Pembayaran dilakukan dua tahap: uang muka 20 persen dan sisanya, 80 persen, dibayar paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah habis selama dua tahun.

Sejak payung hukum penanganan lumpur Lapindo diteken pada 8 April 2007, Grup Bakrie memang mulai membayar ganti rugi. Tapi tak sepenuhnya lancar: pembayaran uang muka 20 persen terlambat. Lapindo gagal memenuhi tenggat untuk uang muka yang ditetapkan Presiden, yakni 14 September 2007.

Menurut Vice President Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla, keterlambatan terjadi karena para korban lumpur, terutama di Pasar Porong, selalu mengubah sistem yang telah disepakati bersama korban lumpur lain. ”Sampai batas akhir, mereka tidak mau. Beberapa bulan kemudian, mereka baru mau,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Pembayaran sisa ganti rugi 80 persen sejak awal Mei 2008 tersendat-sendat. Kendati, ada upaya Lapindo mempercepatnya bagi warga yang memilih dibayar dengan rumah di Kahuripan Nirwana Village.

Menurut ekonom Hendri Saparini, terkatung-katungnya pembayaran sisa ganti rugi terjadi karena pemerintah tak mampu menekan Grup Bakrie. ”Mestinya pemerintah bertindak tegas kalau memang berpihak kepada rakyat,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Seharusnya, kata ekonom dari Econit Advisory Group ini, pemerintah sejak dulu menyita aset Grup Bakrie sesuai jumlah yang harus dibayarkan kepada korban lumpur. ”Itu bisa menjadi jaminan penyelesaian.”

Dari sisi kemampuan ekonomi, Grup Bakrie memang memiliki banyak perusahaan bagus. Konglomerat ini juga masih bisa membereskan pembayaran ganti rugi yang ditaksir hanya Rp 3,5-4 triliun. Itu tak seberapa dibanding kekayaan keluarga Bakrie versi majalah Forbes Asia pada 2007 sebesar US$ 5,4 miliar atau sekitar Rp 54 triliun.

Lalu datang badai finansial. Lapindo pun mengerek bendera putih dan mengaku tidak mampu membayar ganti rugi. Pada 23 Oktober 2008, Direktur Utama Minarak Lapindo Jaya Bambang Mahargyanto mengirim surat kepada Badan Penanggulangan Lumpur, yang intinya meminta Badan sementara waktu menangani lumpur Lapindo.

Minarak beralasan, krisis global telah berdampak langsung kepada Grup Bakrie sebagai induk perusahaan. Minarak kesulitan likuiditas untuk membayar ganti rugi. Tapi, 3 November lalu, Minarak mencabut surat terdahulu. Dan menyatakan berkomitmen membayar ganti rugi kepada korban lumpur.

Faktanya, pembayaran masih terkatung-katung. Tak aneh, banyak korban Lapindo kehilangan kesabaran. Unjuk rasa menjadi pilihan. Berkali-kali warga korban lumpur berunjuk rasa ke kantor Bupati Sidoarjo, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, dan Gubernur Jawa Timur. Juga, ke Jakarta.

Dua puluhan lelaki dan wanita lanjut usia korban lumpur, pada 16 November lalu, mencoba sowan ke rumah Aburizal Bakrie di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta Pusat. Para warga dari Kedungbendo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, ini membawa kelapa, pisang, kangkung, singkong, dan hasil bumi lainnya untuk oleh-oleh bagi keluarga Bakrie. Tapi bukan Aburizal atau Nirwan Bakrie yang dicari. ”Kami hanya ingin bertemu ibunya. Kami ingin ngobrol panjang-lebar tentang kelakuan anaknya,” ujar seorang di antaranya bernama Marwan kepada Ferry Firmansyah dari Tempo. Tapi upaya ini juga gagal.

Berlarut-larutnya pembayaran ganti rugi dan maraknya gelombang unjuk rasa korban lumpur sampai juga ke telinga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 29 November lalu, Presiden memanggil Nirwan ke Istana. ”Arahan Presiden begini, ’Ya sudah, panggil Nirwan. Paksa harus bisa (bayar) ini’,” kata Djoko Kirmanto kepada wartawan di Jakarta dua pekan lalu.

Alih-alih surut, unjuk rasa korban lumpur Lapindo terjadi lagi. Puncaknya, 1.034 korban lumpur dari Tim 16 dan seratusan korban lumpur Lapindo dari Gerakan Pencinta Keputusan Presiden (Geppres) ngeluruk ke Jakarta. Tim 16 menginap di Masjid Istiqlal. Masjid terbesar di Asia Tenggara ini tak ubahnya sebuah penginapan.

Seribuan korban lumpur selonjoran dan tidur-tiduran beralaskan koran di dalam dan selasar masjid. ”Kami datang ke sini karena ingin meminta sisa pembayaran ganti rugi,” kata Ninuk Harmiyati, 45 tahun, warga Perumtas I Blok E3, yang sudah ”almarhum” ditelan lumpur. Adapun Gerakan Pencinta Keputusan Presiden menginap di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jalan Borobudur 14, Jakarta Pusat.

Sejak Ahad hingga Rabu pekan lalu, Tim 16 dan Geppres berdemo meminta pemerintah membantu penyelesaian ganti rugi. Mereka berunjuk rasa di Departemen Pekerjaan Umum, Kedutaan Belanda, hingga di depan Istana Presiden. Selama dua hari, Djoko juga menemani Minarak bernegosiasi dengan warga korban lumpur. Ketika itu, Minarak menawarkan pembayaran cicilan Rp 20 juta plus pembayaran kontrak rumah Rp 5 juta. Tapi para korban emoh.

Tak ada hasil positif, Presiden kembali memanggil Nirwan ke Istana, Rabu siang pekan lalu. Presiden membuka pertemuan dengan ucapan terima kasih kepada Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Soenarso karena sudah berusaha keras menyelesaikan persoalan di Jawa Timur itu. Nada suara Presiden mendadak meninggi saat menyinggung ganti rugi kepada korban lumpur. ”Saya sudah merasa tidak nyaman dengan suasana ini,” kata Yudhoyono sambil menepukkan tangan kanannya ke dada kiri. ”Saya kecewa, (masalah) Aceh saja bisa diselesaikan, kenapa ini tidak?”

Nirwan, yang menjadi sasaran tembak, terdiam. Duduk di antara Bachtiar Chamsyah dan Soenarso, dia menundukkan kepala. Djoko, yang duduk paling dekat dengan Presiden, hanya memandang lurus ke depan. Hatta Rajasa, Purnomo Yusgiantoro, Sudi Silalahi, dan Kepala Kepolisian Indonesia Jenderal Bambang Hendarso Danuri juga mematung dan membisu.

Yudhoyono memerintahkan Nirwan dan Badan Penanggulangan Lumpur menyelesaikan masalah ganti rugi saat itu juga. ”Murka” sang Presiden cukup ampuh. Nirwan langsung bernegosiasi dengan Tim 16. Hasilnya, Minarak Lapindo berjanji membayar sisa ganti rugi 80 persen dengan cara mencicil Rp 30 juta per bulan.

lll

Kesepakatan antara Nirwan dan Tim 16 tak lantas membuat masalah selesai. Gerakan Pencinta Keputusan Presiden menolak pembayaran secara angsuran Rp 30 juta per bulan. Mereka menuntut Lapindo membayar tunai. ”Pembayaran dengan mencicil tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14,” ujar juru bicara Geppres, Sumitro, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Penolakan juga terjadi di Sidoarjo. Sekitar 850 korban semburan lumpur dari tujuh desa, yakni Jatirejo, Siring, Kedungbendo, Renokenongo, Gempolsari, Ketapang, dan Kaliwungu, memblokade Jalan Raya Porong. Mereka tetap menuntut sisa pembayaran ganti rugi secara tunai. ”Kami tidak puas dengan kesepakatan angsuran Rp 30 juta,” kata koordinator unjuk rasa, Hari Suwandi.

Penolakan itu tak aneh. Sebab, sejak awal, para korban lumpur Lapindo memang tak kompak, bahkan terbelah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama pendukung pembayaran tunai 20 persen uang muka dan sisanya 80 persen. Kelompok Kedua pendukung cash and resettlement, yakni pemberian uang muka 20 persen, dan sisanya, 80 persen, dalam bentuk lahan seluas tanah warga yang terkena lumpur. Kelompok ketiga adalah warga pendukung pola pembayaran relokasi plus, yakni mendapatkan 20 persen uang tunai, sementara 80 persen sisanya berupa lahan plus rumah yang dipilih dan dibangun Lapindo.

Menurut Ketua Tim Ad Hoc Pelanggaran Hak Asasi Manusia Lumpur Lapindo Syafrudin Ngulma Simeulue, pemerintah seharusnya menjalankan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Ketentuan ini tidak mengatur cicilan, tapi pembayaran 20 persen dan 80 persen. Pemerintah, kata dia, tidak boleh diatur oleh Lapindo. ”Korporasi yang harus diatur oleh pemerintah.”

Tapi, di mata pemerintah, kesepakatan baru antara Nirwan dan korban lumpur yang diwakili Tim 16 di Sekretariat Negara, Rabu pekan lalu, sudah maksimal dan final. Kesepakatan itu berlaku untuk semua korban. ”Tidak akan ada lagi negosiasi antara masyarakat dan Lapindo,” katanya. Dia menambahkan, Grup Bakrie tidak boleh ingkar janji. ”Ada sanksi hukumnya.”

Nirwan mengatakan akan berusaha mendekati warga Porong yang belum bersedia menerima pembayaran secara cicilan Rp 30 juta per bulan. ”Kami akan terus berbicara dengan mereka, tapi tentu saja dalam batas sesuai dengan kemampuan,” ujarnya kepada Wahyu Muryadi dari Tempo pekan lalu.

Sampai 3 Desember 2008, Lapindo sudah membayar uang muka 20 persen sebanyak 12.865 berkas sertifikat senilai Rp 718 miliar. Adapun pembayaran sisa ganti rugi 80 persen secara tunai sebanyak 1.768 berkas senilai Rp 344 miliar, dan 2.938 berkas secara cash and resettlement senilai Rp 1,6 triliun. Kini saatnya menunggu pembuktian janji baru Grup Bakrie sang pemilik Lapindo.

Padjar Iswara, Ismi Wahid, Ninin Damayanti, Gabriel Titiyoga, Agung Sedayu, Dini Mawuningtyas (Sidoarjo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus