HANYA satu orang yang pernah berani mencabut cerutu dari mulut
Sir Winston Churchill, perdana menteri paling masyhur dalam
sejarah Inggris itu. Dan dialah Yousuf Karsh, pengungsi Armenia
di Kanada yang kemudian dikenal sebagai salah seorang juru
potret terbaik dunia.
Kini, surat-surat untuk Karsh cukup dialamatkan "Kepada Karsh,
Ottawa, Kanada." Pasti sampai. Hampir semua orang besar dari
paruh kedua Abad XX pernah duduk di depan kamera Karsh, menunggu
dengan sabar untuk diabadikan. Hanya Mao Zedong yang luput dari
bidikan mat kodak itu. Almarhum Presiden Sukarno, konon, pada
masa jayanya pernah mengundang juru potret itu ke Jakarta.
Tetapi Karsh rupanya kurang berselera, entah kenapa.
Karsh merancang setiap fotonya dengan teliti. Perhatiannya
terbagi sama rata antara tokoh yang dipotret, pengaturan cahaya,
dan latar belakang. Tetapi wajah manusialah yang terutama
menjadi titik api keterampilannya.
Para sejarawan di masa depan akan mewarisi suatu periode, antara
Perang Dunia II dan Sputnik II, dengan potret-potret Karsh yang
perseptif dan mencerminkan watak tokoh-tokohnya. Tak terbilang
jumlah negarawan, ilmuwan, dan seniman, yang menjadi semacam
monumen melalui tangan dan keahlian seniman ini.
Cahaya dalam foto-fotonya tampak alamiah, meski Karsh
menggunakan juga sumber cahaya buatan yang diperhitungkan dengan
teliti. Setiap bidang dalam karyanya menggabungkan secara serasi
baik bentuk dan ruang maupun bagian yang gelap dan yang
disiram cahaya. la tidak menyukai dekorasi. Mengandalkan diri
semata-mata pada permainan cahaya, Karsh senantiasa teliti
memperhatikan warna pakaian yang dikenakan modelnya. Dalam foto
Nehru, Jan Sibelius, dan Marian Anderson, Karsh membiarkan
subyeknya menonjolkan diri dengan pembagian cahaya yang keras di
sekitar kepala, di tengah latar belakang dan warna pakaian yang
gelap. Dalam foto Bernard Shaw dan Churchill, ia membangun ruang
dan kedalaman dengan bayangan pada posisi kepala, tangan, dan
asesori seperti dasi dan selampai.
Keunggulan Karsh terletak pada kemampuannya menggali watak
tokoh-tokohnya melalui kamera. "Semua orang besar mengenakan
topeng tertentu menghadapi dunia," katanya. "Tugas saya adalah
menyingkapkan topeng itu."
Karsh bekerja tak tanggung-tanggung. Untuk memotret komponis Jan
Sibelius, misalnya, ia berangkat ke Finlandia membawa kamera 8 x
10 inci plus puluhan kilo peralatan. Sampai di sana ia terbentur
pada konsumsi listrik yang terbatas.
Seraya menunggu tambahan listrik, Karsh membiarkan Sibelius
bercerita. Dan di tengah saat yang asyik itu, tiba-tiba, seniman
ini mendapat ilham. Ia menekan shutter. Lahirlah foto Sibelius
yang sangat dikenal dunia, dengan wajah abadi dan mata setengah
tertutup, takzim, bagai digayuti sejuta impian.
Pada 23 Desember nanti Yousuf Karsh genap 75 tahun. Namun hingga
kini ia masih bekerja dengan semangat dan selera yang tidak
surut. Ia tetap melakukan perjalanan enam bulan setengah dalam
setahun.
Awal Juli lalu, Museum Nasional Fotografi yang baru didirikan di
Bradford, Inggris, menyelenggarakan pameran foto-fotonya.
Pameran ini dibuka langsung oleh Ratu Elizabeth II sendiri.
Sekitar 75 karya terbesar Karsh di sini dipertontonkan, mewakili
tahun-tahun kariernya yang panjang.
Yousuf Karsh dilahirkan pada 1908 di Mardin, kota perdagangan di
wilayah Armenia yang dikuasai Turki. Ia putra sulung Amsih
Karsh, pedagang impor-ekspor, dan Bahai Nakash Karsh. Ayahnya
beragama Katolik, ibunya Protestan, Karsh sendiri ikut agama
ayahnya. Keluarga itu masih memiliki seorang anak perempuan dan
tiga anak lelaki.
Masa mudanya penuh kenangan akan kekerasan orang Turki terhadap
penduduk Armenia. "Aku tidak punya masa kanak-kanak," kata Karsh
sekali waktu. Dua pamannya tewas dalam penjara Turki. Dan adik
perempuannya meninggal oleh penyakit tifus, di tengah kurangnya
makanan dan fasilitas pengobatan. Setiap pergi ke sekolah, Karsh
mengisi kantungnya dengan batu, siap menghadapi serangan
anak-anak Turki.
Pada 1922 keluarga Karsh pindah ke Syria. Dan dua tahun kemudian
Yousuf dikirim orangtuanya ke Kanada. Ketika tiba di Halifax,
Tahun Baru 1924, ia dijemput pamannya, George Nakash. Paman ini
tinggal di Sherbrooke, Quebeq, dan memiliki sebuah studio foto.
Karsh tadinya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, apa daya,
uang tak cukup. Enam bulan setelah bekerja di studio pamannya,
Karsh keluar dari sekolah. Pamannya memberi anak itu sebuah
kamera murahan. Dan pada waktu senggang mulailah ia memotret.
Sebuah hasil jepretannya, tentang pemandangan Sherbrooke,
kemudian mendapat hadiah dalam kontes yang diselenggarakan
sebuah toko serba ada. Karsh menerima hadiah US$ 50. Sepuluh
dollar diberikannya kepada temannya yang mengirimkan foto itu,
dan yang empat puluh dikirimkannya kepada orangtuanya yang
menghadapi kesulitan ekonomi.
Terkesan oleh bakat sang kemanakan, Nakash kemudian mengirimkan
Yousuf ke Boston untuk berguru dan magang pada John Garo,
pelukis dan pemotret yang juga asal Armenia. "Tugasku tidak
hanya mencampur bahan kimia. Tapi juga mencampur minuman untuk
Garo," Karsh mengenang.
Berkat anjuran sang guru pula ia mengikuti kursus di Sekolah
Disain dan Kesenian, Boston. Tetapi pengalaman dengan Garo
tampaknya yang lebih banyak mempengaruhi jalan hidupnya. Garo
tak pernah memotret dengan cahaya buatan. Pada petang hari, sang
pelukis biasa menerima tamu, terutama pengarang dan seniman
panggung. Pembicaraan selalu hangat -- "dan itulah sekolahku
yang sesungguhnya," kata Karsh kemudian.
Pulang ke Kanada, Yousup kembali bekerja di studio pamannya.
"Tetapi perhatianku sudah lebih banyak tertumpah kepada obyek
perorangan. " Pada 1932 ia meninggalkan Sherbrooke, pindah ke
Ottawa. Di bulan-bulan pertama ia bekerja sebagai asisten John
Powis. Beberapa tahun kemudian ketika Powis mengundurkan diri,
Karsh melanjutkan pengusahaan studio itu.
Sebagai pemuja Teater Kecil Ottawa, Karsh sangat terpengaruh
oleh penataan cahaya panggung kelompok itu. Penghayatan ini
digabungkannya dengan pengaturan cahaya alamiah, yang ditimbanya
selama bekerja mendampingi Garo. Sekitar 1935, Karsh mulai
bergaul dengan para pejabat tinggi Kanada. Ia memasuki lingkaran
itu melalui keterampilanna memotret manusia, yang mulai diakui
orang.
Desember 1941 Winston Churchill mengunjungi Kanada, dan
berbicara di depan parlemen. Oleh sahabat dan 'sponsor'nya,
Perdana Menteri (pertama) Kanada, W. L. Mackenzie King, Karsh
mendapat kesempatan memotret perdana menteri Inggris itu.
Demikianlah pada saat yang dijanjikan, Churchill muncul di depan
Karsh dan kameranya, dengan sikap risau dan tidak sabar, dan
dengan cerutu di mulutnya.
Karsh tidak melihat peranan cerutu itu dalam situasi yang tengah
dihadapi Churchill: Perang Dunia II. Ia mendatangi Churchill
sambil membawa asbak, tapi sang perdana menteri tak
menanggapinya sama sekali. Karsh tidak bisa menunggu lebih lama.
Ia mencabut cerutu itu, langsung dari mulut Churchill, kemudian
menekan shutter.
Maka lahirlah foto yang sangat terkenal itu -- yang memberi
semangat kepada perlawanan Inggris terhadap Nazi, yang kemudian
menjadi lambang ketabahan Britania Raya. Di situ tampak
Churchill yang garang, siaga, setengah tersinggung, dan setengah
mengancam, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa gentar. Foto
ini termasuk di antara 12 karya Karsh yang menghiasi perangko di
11 negeri.
Churchill sendiri mengakui kreativitas seniman itu. "Anda pasti
mampu membuat seekor singa yang sedang meraung bergaya di depan
kamera Anda," kata sang perdana menteri. Eleanor Roosevelt,
ketika mendengar 'insiden' itu, memberi komentar: "Itulah
agakny kekalahan besar Churchill yang pertama."
Setelah itu nama Karsh segera melejit. Orang-orang besar dunia
dari pelbagai profesi seolah-olah antre menunggu giliran berpose
di depannya. Di antara mereka terdapat pengarang-pengarang
Bernard Shaw dan George Wells, negarawan Nehru, fisikawan
Einstein, pelukis Picasso, pengarang Sommerset Maugham, Jenderal
Mountbatten, dramawan Noel Coward, negarawan Tito, filantropis
Albert Schweitzer, filosof-filosof Bertrand Russel, dan Thomas
Mann, penyair Carl Sandburg, tokoh mode Christian Dior, tokoh
pendidikan Helen Keller, novelis Ernest Hemingway, bintang film
Humphrey Bogart, dan Brigitte Bardot, penyanyi Paul Robeson,
filosof Albert Camus, Perdana Menteri Khrushchev, aktor dan
aktris Boris Karloff, Sophia Loren, Anna Magnani, dan puluhan
lainnya.
Dengan tunjangan sebuah majalah Kanada, Saturday Night, pada
1943 Yousuf Karsh melakukan perjalanan ke Inggris untuk pertama
kalinya. Dalam dua bulan ia menghasilkan 42 potret -- mulai dari
tokoh pemerintahan, keluarga kerajaan, tokoh Gereja Anglikan,
sampai para seniman Shaw dan Wells.
Tahun berikutnya ia mendapat penugasan dari majalah Life. Karsh
berangkat ke Washington, memotret para anggota Kabinet dan
Kongres. Hasil pemotretan di Kanada, Inggris, dan Amerika ini
kemudian dikumpulkan dalam bukunya yang pertama, Faces of
Destiny (Ziff-Davis, 1947).
Untuk memperkaya pengalamannya, Karsh lantas melakukan
perjalanan hampir ke seluruh pelosok dunia. Ia memotret di
desa-desa Zulu, di kuil Zen di Jepang, di Kutub Utara, di
Hollywood, di Las Vegas.
Banyak tokoh sengaja datang ke studionya untuk dipotret.
Sebaliknya Karsh sendiri sering mengunjungi tokoh tertentu. Ia
memotret Paus Pius XII di Vatikan, Jan Sibelius di Finlandia,
Ratu Elizabeth II, dan Pangeran Philip di Istana Buckingham, dan
Pablo Casals di Prades, Prancis Selatan.
Dari koleksi internasionalnya, ia kemudian memiliki 96 foto
untuk dibukukan di bawah judul Portraits of Greatness. Dicetak
di Negeri Belanda langsung di bawah pengawasannya sendiri, buku
ini kemudian mencatat sukses luar biasa. Di hari peredarannya
saja, November 1959, 14.500 eksemplar edisi pertama terjual
habis.
Para pengamat memuji buku itu atas virtuositas tekniknya serta
keistimewaan hasil reproduksinya. Dalam kata-kata para fotograf,
Karsh disebut sebagai "seorang yang telah menyumbangkan sesuatu
kepada dunia".
Di samping memotret ratusan tolcoh, Karsh juga pernah memasuki
karier fotografi industrial. Pernah bekerja untuk Pabrik Baja
Atlas di Ontario dan pabrik Ford di Kanada. Ia pernah memotret
bunga-bunga liar dalam sebuah ekspedisi di Kutub Utara, dengan
film berwarna. "Tetapi teknik warna tidak mengizinkan Anda
bermimpi," katanya. Sebagian besar fotonya dibuat dalam
hitam-putih.
Kini, dalam usia menjelang 75, Yousuf Karsh masih gesit. Masih
main tenis, mengumpulkan benda arkeologi, berkebun, dan
mendengarkan musik Mozart atau Bach. Ia melatih
pemotret-pemotret muda dan menjadi dosen tamu di Ohio dan
Boston. Menerima 12 gelar kehormatan, dan sudah menerbitkan
selusin buku.
Di samping pengalamannya dengan sejumlah negarawan dan
politikus, ia juga merekam kenangan dengan para seniman dan
aktris Hollywood terkenal. Suatu ketika, misalnya, Karsh
diundang ke rumah Anita Ekberg, bom seks Hollywood yang mendapat
julukan 'Gunung Es dari Swedia' itu. "Ekberg mengajak kami
berenang," tuturnya. "Lalu saya katakan saya tidak membawa
celana renang. " Apa kata Anita Ekberg? "Anda pikir celana itu
perlu sekali?"
Dengan Paul Robeson Karsh juga merekam kenangan bagus. Suatu
ketika, penyanyi Negro Amerika itu mengadakan pertunjukan ke
Kanada. Nyonya Karsh tak bisa hadir, lantaran sakit. "Tidak
apa-apa," kata Robeson. "Nanti saya menelepon istri Anda, dan
menyanyikan sebuah aria untuk dia."
Bermata cokelat, dengan bibir yang selalu seperti tersenyum,
aneh, Karsh bekerja lebih bagus bila merasa terdesak. Dalam
saat-saat demikianlah lahir potret-potretnya yang terbaik.
Kini ia tinggal di Ottawa, dan memang lebih terkenal sebagai
'Karsh dari Ottawa'. Rumahnya terletak di tepi Sungai Rideau,
agak di luar kota. Istrinya pertama, Solange Gauthier, meninggal
1961. Tahun berikutnya juru potret itu menikahi Estrellita
Nachbar, seorang penulis masalah-masalah medis asal Chicago.
Di dinding rumah itu tidak tergantung sepotong foto pun. Yang
ada justru koleksi seni rupa sebagian berasal dari para pelukis
yang pernah dipotretnya.
Karsh juga tampaknya tidak mempersiapkan seorang pengganti, atau
penerus. "Kalaupun pekerjaan saya punya tujuan tertentu,"
katanya, "tujuan itu ialah merekam yang terbaik dalam diri
manusia, dengan tetap jujur pada diri saya sendiri.
"Saya kebetulan beruntung bisa berjumpa dengan orang-orang besar
dunia. Orang-orang yang bakal meninggalkan bekas mereka pada
abad kita ini. Saya telah menggunakan kamera saya untuk memotret
mereka, sebagaimana mereka tampil di depan saya, dan sebagaimana
mereka meninggalkan kesan kepada generasi mereka masing-masing."
Karya Karsh bukan saja memperlihatkan kematangan. Tapi juga gaya
yang individual, konsisten, dan tak tertandingi. Selama dua
puluh tahun terakhir hanya sedikit sekali perubahan yang tampak
pada gaya itu. Dan seperti yang di katakan seorang pengamat,
Peter Pollack, "Karsh telah mengubah wajah manusia menjadi
legenda".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini