Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Juru potret yang menyusun legenda

Pengungsi armenia di kanada yang kemudian dikenal sebagai seorang jurupotret terbaik di dunia. hampir semua tokoh dunia abad xx pernah diabadikan. (sel)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA satu orang yang pernah berani mencabut cerutu dari mulut Sir Winston Churchill, perdana menteri paling masyhur dalam sejarah Inggris itu. Dan dialah Yousuf Karsh, pengungsi Armenia di Kanada yang kemudian dikenal sebagai salah seorang juru potret terbaik dunia. Kini, surat-surat untuk Karsh cukup dialamatkan "Kepada Karsh, Ottawa, Kanada." Pasti sampai. Hampir semua orang besar dari paruh kedua Abad XX pernah duduk di depan kamera Karsh, menunggu dengan sabar untuk diabadikan. Hanya Mao Zedong yang luput dari bidikan mat kodak itu. Almarhum Presiden Sukarno, konon, pada masa jayanya pernah mengundang juru potret itu ke Jakarta. Tetapi Karsh rupanya kurang berselera, entah kenapa. Karsh merancang setiap fotonya dengan teliti. Perhatiannya terbagi sama rata antara tokoh yang dipotret, pengaturan cahaya, dan latar belakang. Tetapi wajah manusialah yang terutama menjadi titik api keterampilannya. Para sejarawan di masa depan akan mewarisi suatu periode, antara Perang Dunia II dan Sputnik II, dengan potret-potret Karsh yang perseptif dan mencerminkan watak tokoh-tokohnya. Tak terbilang jumlah negarawan, ilmuwan, dan seniman, yang menjadi semacam monumen melalui tangan dan keahlian seniman ini. Cahaya dalam foto-fotonya tampak alamiah, meski Karsh menggunakan juga sumber cahaya buatan yang diperhitungkan dengan teliti. Setiap bidang dalam karyanya menggabungkan secara serasi baik bentuk dan ruang maupun bagian yang gelap dan yang disiram cahaya. la tidak menyukai dekorasi. Mengandalkan diri semata-mata pada permainan cahaya, Karsh senantiasa teliti memperhatikan warna pakaian yang dikenakan modelnya. Dalam foto Nehru, Jan Sibelius, dan Marian Anderson, Karsh membiarkan subyeknya menonjolkan diri dengan pembagian cahaya yang keras di sekitar kepala, di tengah latar belakang dan warna pakaian yang gelap. Dalam foto Bernard Shaw dan Churchill, ia membangun ruang dan kedalaman dengan bayangan pada posisi kepala, tangan, dan asesori seperti dasi dan selampai. Keunggulan Karsh terletak pada kemampuannya menggali watak tokoh-tokohnya melalui kamera. "Semua orang besar mengenakan topeng tertentu menghadapi dunia," katanya. "Tugas saya adalah menyingkapkan topeng itu." Karsh bekerja tak tanggung-tanggung. Untuk memotret komponis Jan Sibelius, misalnya, ia berangkat ke Finlandia membawa kamera 8 x 10 inci plus puluhan kilo peralatan. Sampai di sana ia terbentur pada konsumsi listrik yang terbatas. Seraya menunggu tambahan listrik, Karsh membiarkan Sibelius bercerita. Dan di tengah saat yang asyik itu, tiba-tiba, seniman ini mendapat ilham. Ia menekan shutter. Lahirlah foto Sibelius yang sangat dikenal dunia, dengan wajah abadi dan mata setengah tertutup, takzim, bagai digayuti sejuta impian. Pada 23 Desember nanti Yousuf Karsh genap 75 tahun. Namun hingga kini ia masih bekerja dengan semangat dan selera yang tidak surut. Ia tetap melakukan perjalanan enam bulan setengah dalam setahun. Awal Juli lalu, Museum Nasional Fotografi yang baru didirikan di Bradford, Inggris, menyelenggarakan pameran foto-fotonya. Pameran ini dibuka langsung oleh Ratu Elizabeth II sendiri. Sekitar 75 karya terbesar Karsh di sini dipertontonkan, mewakili tahun-tahun kariernya yang panjang. Yousuf Karsh dilahirkan pada 1908 di Mardin, kota perdagangan di wilayah Armenia yang dikuasai Turki. Ia putra sulung Amsih Karsh, pedagang impor-ekspor, dan Bahai Nakash Karsh. Ayahnya beragama Katolik, ibunya Protestan, Karsh sendiri ikut agama ayahnya. Keluarga itu masih memiliki seorang anak perempuan dan tiga anak lelaki. Masa mudanya penuh kenangan akan kekerasan orang Turki terhadap penduduk Armenia. "Aku tidak punya masa kanak-kanak," kata Karsh sekali waktu. Dua pamannya tewas dalam penjara Turki. Dan adik perempuannya meninggal oleh penyakit tifus, di tengah kurangnya makanan dan fasilitas pengobatan. Setiap pergi ke sekolah, Karsh mengisi kantungnya dengan batu, siap menghadapi serangan anak-anak Turki. Pada 1922 keluarga Karsh pindah ke Syria. Dan dua tahun kemudian Yousuf dikirim orangtuanya ke Kanada. Ketika tiba di Halifax, Tahun Baru 1924, ia dijemput pamannya, George Nakash. Paman ini tinggal di Sherbrooke, Quebeq, dan memiliki sebuah studio foto. Karsh tadinya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, apa daya, uang tak cukup. Enam bulan setelah bekerja di studio pamannya, Karsh keluar dari sekolah. Pamannya memberi anak itu sebuah kamera murahan. Dan pada waktu senggang mulailah ia memotret. Sebuah hasil jepretannya, tentang pemandangan Sherbrooke, kemudian mendapat hadiah dalam kontes yang diselenggarakan sebuah toko serba ada. Karsh menerima hadiah US$ 50. Sepuluh dollar diberikannya kepada temannya yang mengirimkan foto itu, dan yang empat puluh dikirimkannya kepada orangtuanya yang menghadapi kesulitan ekonomi. Terkesan oleh bakat sang kemanakan, Nakash kemudian mengirimkan Yousuf ke Boston untuk berguru dan magang pada John Garo, pelukis dan pemotret yang juga asal Armenia. "Tugasku tidak hanya mencampur bahan kimia. Tapi juga mencampur minuman untuk Garo," Karsh mengenang. Berkat anjuran sang guru pula ia mengikuti kursus di Sekolah Disain dan Kesenian, Boston. Tetapi pengalaman dengan Garo tampaknya yang lebih banyak mempengaruhi jalan hidupnya. Garo tak pernah memotret dengan cahaya buatan. Pada petang hari, sang pelukis biasa menerima tamu, terutama pengarang dan seniman panggung. Pembicaraan selalu hangat -- "dan itulah sekolahku yang sesungguhnya," kata Karsh kemudian. Pulang ke Kanada, Yousup kembali bekerja di studio pamannya. "Tetapi perhatianku sudah lebih banyak tertumpah kepada obyek perorangan. " Pada 1932 ia meninggalkan Sherbrooke, pindah ke Ottawa. Di bulan-bulan pertama ia bekerja sebagai asisten John Powis. Beberapa tahun kemudian ketika Powis mengundurkan diri, Karsh melanjutkan pengusahaan studio itu. Sebagai pemuja Teater Kecil Ottawa, Karsh sangat terpengaruh oleh penataan cahaya panggung kelompok itu. Penghayatan ini digabungkannya dengan pengaturan cahaya alamiah, yang ditimbanya selama bekerja mendampingi Garo. Sekitar 1935, Karsh mulai bergaul dengan para pejabat tinggi Kanada. Ia memasuki lingkaran itu melalui keterampilanna memotret manusia, yang mulai diakui orang. Desember 1941 Winston Churchill mengunjungi Kanada, dan berbicara di depan parlemen. Oleh sahabat dan 'sponsor'nya, Perdana Menteri (pertama) Kanada, W. L. Mackenzie King, Karsh mendapat kesempatan memotret perdana menteri Inggris itu. Demikianlah pada saat yang dijanjikan, Churchill muncul di depan Karsh dan kameranya, dengan sikap risau dan tidak sabar, dan dengan cerutu di mulutnya. Karsh tidak melihat peranan cerutu itu dalam situasi yang tengah dihadapi Churchill: Perang Dunia II. Ia mendatangi Churchill sambil membawa asbak, tapi sang perdana menteri tak menanggapinya sama sekali. Karsh tidak bisa menunggu lebih lama. Ia mencabut cerutu itu, langsung dari mulut Churchill, kemudian menekan shutter. Maka lahirlah foto yang sangat terkenal itu -- yang memberi semangat kepada perlawanan Inggris terhadap Nazi, yang kemudian menjadi lambang ketabahan Britania Raya. Di situ tampak Churchill yang garang, siaga, setengah tersinggung, dan setengah mengancam, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa gentar. Foto ini termasuk di antara 12 karya Karsh yang menghiasi perangko di 11 negeri. Churchill sendiri mengakui kreativitas seniman itu. "Anda pasti mampu membuat seekor singa yang sedang meraung bergaya di depan kamera Anda," kata sang perdana menteri. Eleanor Roosevelt, ketika mendengar 'insiden' itu, memberi komentar: "Itulah agakny kekalahan besar Churchill yang pertama." Setelah itu nama Karsh segera melejit. Orang-orang besar dunia dari pelbagai profesi seolah-olah antre menunggu giliran berpose di depannya. Di antara mereka terdapat pengarang-pengarang Bernard Shaw dan George Wells, negarawan Nehru, fisikawan Einstein, pelukis Picasso, pengarang Sommerset Maugham, Jenderal Mountbatten, dramawan Noel Coward, negarawan Tito, filantropis Albert Schweitzer, filosof-filosof Bertrand Russel, dan Thomas Mann, penyair Carl Sandburg, tokoh mode Christian Dior, tokoh pendidikan Helen Keller, novelis Ernest Hemingway, bintang film Humphrey Bogart, dan Brigitte Bardot, penyanyi Paul Robeson, filosof Albert Camus, Perdana Menteri Khrushchev, aktor dan aktris Boris Karloff, Sophia Loren, Anna Magnani, dan puluhan lainnya. Dengan tunjangan sebuah majalah Kanada, Saturday Night, pada 1943 Yousuf Karsh melakukan perjalanan ke Inggris untuk pertama kalinya. Dalam dua bulan ia menghasilkan 42 potret -- mulai dari tokoh pemerintahan, keluarga kerajaan, tokoh Gereja Anglikan, sampai para seniman Shaw dan Wells. Tahun berikutnya ia mendapat penugasan dari majalah Life. Karsh berangkat ke Washington, memotret para anggota Kabinet dan Kongres. Hasil pemotretan di Kanada, Inggris, dan Amerika ini kemudian dikumpulkan dalam bukunya yang pertama, Faces of Destiny (Ziff-Davis, 1947). Untuk memperkaya pengalamannya, Karsh lantas melakukan perjalanan hampir ke seluruh pelosok dunia. Ia memotret di desa-desa Zulu, di kuil Zen di Jepang, di Kutub Utara, di Hollywood, di Las Vegas. Banyak tokoh sengaja datang ke studionya untuk dipotret. Sebaliknya Karsh sendiri sering mengunjungi tokoh tertentu. Ia memotret Paus Pius XII di Vatikan, Jan Sibelius di Finlandia, Ratu Elizabeth II, dan Pangeran Philip di Istana Buckingham, dan Pablo Casals di Prades, Prancis Selatan. Dari koleksi internasionalnya, ia kemudian memiliki 96 foto untuk dibukukan di bawah judul Portraits of Greatness. Dicetak di Negeri Belanda langsung di bawah pengawasannya sendiri, buku ini kemudian mencatat sukses luar biasa. Di hari peredarannya saja, November 1959, 14.500 eksemplar edisi pertama terjual habis. Para pengamat memuji buku itu atas virtuositas tekniknya serta keistimewaan hasil reproduksinya. Dalam kata-kata para fotograf, Karsh disebut sebagai "seorang yang telah menyumbangkan sesuatu kepada dunia". Di samping memotret ratusan tolcoh, Karsh juga pernah memasuki karier fotografi industrial. Pernah bekerja untuk Pabrik Baja Atlas di Ontario dan pabrik Ford di Kanada. Ia pernah memotret bunga-bunga liar dalam sebuah ekspedisi di Kutub Utara, dengan film berwarna. "Tetapi teknik warna tidak mengizinkan Anda bermimpi," katanya. Sebagian besar fotonya dibuat dalam hitam-putih. Kini, dalam usia menjelang 75, Yousuf Karsh masih gesit. Masih main tenis, mengumpulkan benda arkeologi, berkebun, dan mendengarkan musik Mozart atau Bach. Ia melatih pemotret-pemotret muda dan menjadi dosen tamu di Ohio dan Boston. Menerima 12 gelar kehormatan, dan sudah menerbitkan selusin buku. Di samping pengalamannya dengan sejumlah negarawan dan politikus, ia juga merekam kenangan dengan para seniman dan aktris Hollywood terkenal. Suatu ketika, misalnya, Karsh diundang ke rumah Anita Ekberg, bom seks Hollywood yang mendapat julukan 'Gunung Es dari Swedia' itu. "Ekberg mengajak kami berenang," tuturnya. "Lalu saya katakan saya tidak membawa celana renang. " Apa kata Anita Ekberg? "Anda pikir celana itu perlu sekali?" Dengan Paul Robeson Karsh juga merekam kenangan bagus. Suatu ketika, penyanyi Negro Amerika itu mengadakan pertunjukan ke Kanada. Nyonya Karsh tak bisa hadir, lantaran sakit. "Tidak apa-apa," kata Robeson. "Nanti saya menelepon istri Anda, dan menyanyikan sebuah aria untuk dia." Bermata cokelat, dengan bibir yang selalu seperti tersenyum, aneh, Karsh bekerja lebih bagus bila merasa terdesak. Dalam saat-saat demikianlah lahir potret-potretnya yang terbaik. Kini ia tinggal di Ottawa, dan memang lebih terkenal sebagai 'Karsh dari Ottawa'. Rumahnya terletak di tepi Sungai Rideau, agak di luar kota. Istrinya pertama, Solange Gauthier, meninggal 1961. Tahun berikutnya juru potret itu menikahi Estrellita Nachbar, seorang penulis masalah-masalah medis asal Chicago. Di dinding rumah itu tidak tergantung sepotong foto pun. Yang ada justru koleksi seni rupa sebagian berasal dari para pelukis yang pernah dipotretnya. Karsh juga tampaknya tidak mempersiapkan seorang pengganti, atau penerus. "Kalaupun pekerjaan saya punya tujuan tertentu," katanya, "tujuan itu ialah merekam yang terbaik dalam diri manusia, dengan tetap jujur pada diri saya sendiri. "Saya kebetulan beruntung bisa berjumpa dengan orang-orang besar dunia. Orang-orang yang bakal meninggalkan bekas mereka pada abad kita ini. Saya telah menggunakan kamera saya untuk memotret mereka, sebagaimana mereka tampil di depan saya, dan sebagaimana mereka meninggalkan kesan kepada generasi mereka masing-masing." Karya Karsh bukan saja memperlihatkan kematangan. Tapi juga gaya yang individual, konsisten, dan tak tertandingi. Selama dua puluh tahun terakhir hanya sedikit sekali perubahan yang tampak pada gaya itu. Dan seperti yang di katakan seorang pengamat, Peter Pollack, "Karsh telah mengubah wajah manusia menjadi legenda".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus