Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU ingin menjadi raja di atas kereta api, cobalah naik kereta
lintas cabang. Tak perlu berdesak-desak dan karena itu bebas
dari calo karcis. Lintas cabang diistilahkan PJKA bagi kereta
api jarak pendek -- yang masih dipertahankan untuk beberapa
daerah. "Kereta bisa berhenti di sembarang tempat, asal ada
penumpang yang nyetop," kata Muhidin, seorang guru SD Inpres
Klakah, Jawa Timur, yang berlangganan kereta jurusan
Klakah-Pasiran.
Kereta memang ditarik dengan lok diesel. Tapi untuk jurusan
Klakah-Pasiran, yang berjarak 35 km, ditempuh 2 jam dengan
melewati 9 stasiun kecil. Karena lambat dan berjalan seperti
terantuk-antuk, arek-arek di sana menyebutnya kereta trutuk.
Kereta trutuk ini hanya menarik dua gerbong, satu untuk
penumpang, lainnya untuk barang. Gerbong yang tubuh aslinya
buatan tahun-tahun sebelum kemerdekaan itu, tidak bercat lagi.
Justru karena itu terlihat jelas dinding-dindingnya yang terbuat
dari kayu jati -- sehingga tampak antik. Ada tiga bangku yang
memanjang sepanjang tiap gerbong: dua di pinggir dan satu di
tengah. Satu bangku bisa diduduki 20 orang -- kalau banyak
penumpang.
Tetapi penumpang tak pernah banyak. Sehingga langganan kereta
api Klakah- Pasiran ini bisa tidur atau bersila termasuk sang
kondektur. Mau buang air kecil? Kakus tersedia. Tapi ampun:
kerusakannya hampir sama tua dengan kereta itu sendiri tanpa
pernah diperbaiki. Masih untung tak berbau, karena memang tak
pernah dipakai orang. Penumpang yang kebelet ingin kencing,
tinggal turun di stasiun yang disinggahi. Tak usah keburu. Asal
bilang sama kondektur, kereta akan setia menunggu. "Antara
kondektur dan penumpang sudah seperti kawan. Tidak usah heran,
semuanya bisa diatur," kata Muhidin lagi.
Kereta bisa ngadat di jalan, bukan karena lok mogok. Tetapi
anak-anak kecil yang bermain-maindi rel dan sengaja menggoda
langkah si kereta. Bahkan tak jarang kondektur harus turun
karena rel dihalangi becak yang parkir seenaknya.
Tahun lalu, kereta jurusan Klakah-Pasiran ini beroperasi 4 kali
sehari, pulang pergi. Sekarang dianggap cukup dua kali saja.
Karena jumlah penumpang memang menurun terus -- rata-rata
tinggal 20 orang sehari. Kebanyakan pedagang kecil dan guru.
Tarifnya cukup ringan, hanya Rp 150 -- sementara tarif mobil
untuk jurusan yang sama Rp 500.
Panen penumpang terjadi pada hari Lebaran. Menurut Rakib, kepala
Stasiun Klakah, di hari raya itu bisa menarik karcis 300 lembar.
Itu artinya, gerbong barang pun berisi penumpang. Jangan heran
kalau kereta yang penuh itu tak perlu berhenti di stasiun yang
dilewatinya. Penumpangnya orang-orang yang mencari hiburan
setahun sekali. "Mereka naik pulang-pergi tanpa tujuan. Bahkan
ada yang berkali-kali," ujar Rakib. Karena berfungsi sebagai
kereta rekreasi, menurut Rakib, jalur ini akan tetap
dipertahankan.
Jadwal keberangkatan kereta lintas cabang selalu sama: terlambat
-- satu atau dua jam. Yang berbeda adalah baunya: macam-macam.
Apek, anyir bercampur bau kemenyan dari rokok klobot. Belum lagi
kalau ada penumpang yang berdiri di pintu: kencing. "Tapi saya
senang kok bekerja di sini. Kadang dapat uang tambahan," kata
Suratman, 54 tahun, kondektur KA lintas cabang Babat-Tuban (38
km) di Ja-Tim juga. Tak dijelaskan dan mana uang tambahan
datang. Mungkin dari penumpang tanpa karcis yang naik di stasiun
yang disinggahi. Stasiun? Ya, orang menyebut begitu: sebuah
bangunan kecil dari bambu, beratap genteng, di tengah sawah.
Kereta jalur pendek seperti itu, tentu saja rugi. "Lho, kenapa
bicara untung-rugi? PJKA bukan pedagang eceran, kita ini
perusahaan jawatan," kata Sudarman, kepala hubungan masyarakat
PJKA Eksploitasi Timur di Surabaya. Pejabat ini lantas bilang,
kereta yang berfungsi sosial itu akan tetap dipertahankan.
Di Jawa Tengah ada kereta api jalur pendek yang diresmikan 29
April lalu, menghubungkan Semarang-Buyaran, berjarak 24 km. Ide
ini datang dari Soepardjo Roestam, ketika masih Gubernur
Ja-Teng, untuk mengurangi kepadatan lalu lintas Jalan raya
sebelum memasuki Kota Semarang. Maksud baik ini tampaknya tak
menjangkau sasaran. Kereta tak menarik perhatian masyarakat,
tetap kosong, sementara lalu lintas jalan raya bertambah ramai.
Kereta yang menarik dua gerbong ini, sehari paling banyak
mendapat 7 penumpang. Tarmidi, 43 tahun, kondekturnya, sepanjang
perjalanan berteriakteriak: Semarang .... Semarang .... di
tengah suara kernet kolt yang meneriakkan kata-kata yang sama.
Jika ada penumpang ikut, Tarmidi meniup peluitnya. Sukirno,
masinis, memberhentikan kereta, tak peduli di stasiun atau
bukan. "Saya tak malu lagi berteriak memanggil penumpang naik,"
ujar Tarmidi. Ia berkata begitu karena banyak orang di pinggir
rel yang meneriakkan kata-kata ejekan kepadanya.
Ongkos perjalanan itu cuma Rp 100. Jika naik di tengah jalan,
bisa Rp 50 atau Rp 25, tergantung jaraknya. Semuanya pakai
karcis. Jika kendaraan umum, jarak Buyaran-Semarang Rp 200.
Walau begitu, Tarmidi mengeluh, "capek teriak-teriak tidak ada
yang menumpang."
Proyek kereta lintas cabang ini rugi. Namun Kepala PJKA
Eksploitasi Tengah, Sumardi, menyebutkan, kerugian itu masih
bisa ditutupi oleh lintas utama. Sehingga secara keseluruhan
kerugian itu hampir tak berarti. Sumardi menolak menyebutkan
angka pasti, kecuali, "anggaran itu berimbang antara pemasukan
dan pengeluaran."
Lintas jalur pendek seperti Buyaran-Semarang,
Purwokerto-Purbalingga (18 km), Kroya-Cilacap, dan di tempat
lain di Jawa Tengah akan tetap dipertahankan. Bahkan rel kereta
yang tak berfungsi juga masih dipelihara. Salah satu alasan,
12.000 karyawan PJKA di Jawa Tengah tak boleh menganggur.
Berbagai eksperimen telah dicoba, misalnya, menghidupkan jalur
Semarang-Rembang dengan istilah Kereta Kartini. Macet. Dicoba
lagi Kereta Batik, jurusan Pekalongan-Solo. Macet pula. Di Solo
pernah dicoba, Kereta Wisata, juga macet. (TEMPO, 31 Juli 1982).
Kini ada ide Kereta Borobudur: jurusan Yogya-Magelang.
Satu-satunya jalur pendek yang tetap padat penumpang, bahkan
melebihi kapasitas angkut adalah jalur Garut-Cibatu di Jawa
Barat, berjarak 35 km. Dengan 7 gerbong penumpang dan 3 gerbong
barang, kereta ini dijejali penumpang sampai di sela-sela loko.
Banyak penumpang yang naik di tengah jalan, tanpa karcis.
"Soalnya lari kereta kayak siput," ujar Dedi Afandi, pelajar STM
Garut yang pulang pergi dengan kereta itu tanpa pernah membayar.
Penumpang lain, umumnya pedagang, menyukai karena karcisnya
murah dan dapat mengangkut banyak dagangan tanpa ongkos
tambahan. Apalagi menurut beberapa penumpang, kondektur masih
bisa diajak "damai".
Di Sumatera Barat, ada jalur kereta api yang benar-benar bisa
diajak "berdamai". Jurusan Padang-Pariaman-Naras berjarak cukup
jauh, sekitar 100 km. Jika kereta api ini datang di Stasiun
Sawahan Padang, wajah stasiun berubah menjadi pasar. Lucunya,
pedagang berbagai jenis hasil bumi dan ternak itu menggelarkan
dagangannya di dalam gerbong. Orang yang berbelanja masuk
gerbong, memanfaatkan pintu yang lebar-lebar.
Sekitar 2 jam kemudian, kereta berangkat lagi membawa penumpang
yang berjualan itu menuju Kayu Taman. Di sini terulang kembali
pasar di dalam gerbong. Bedanya, kali ini gerbong kemudian
ditinggalkan di Stasiun Kayu Taman. Loko mendapat tugas menarik
belasan gerobak batubara dari Sawahlunto ke PT Semen Indarung.
Pedagang di atas gerbong yang ditinggal tak usah khawatir, nanti
diambil lagi untuk meneruskan perjalanan ke stasiun lain.
Begitulah setiap hari.Tak jelas, berapa pedagang membayar untuk
menyewa gerbong itu.
Kereta jalur pendek tak bisa dihapus begitu saja. "Di samping
ada fungsi sosial, jalur itu di masa datang mungkin diperlukan,"
kata Drs. Hasan Basri, kepala hubungan masyarakat PJKA Pusat.
Hasan Basri punya contoh. Rel jalur Bandung-Tanjungsari (jarak
30 km) dan Bandung-Majalaya (35 km) beberapa tahun lalu
dibongkar karena rugi. "Sekarang setelah jalan raya padat, dan
Majalaya berkembang menjadi kota industri, baru terasa kebutuhan
kereta itu," katanya.
Karenanya jangan heran, jika melihat pegawai PJKA tetap tekun
membersihkan rel di jurusan yang tak pernah dilewati kereta.
Bahkan di bagian yang sudah ditutupi aspal jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo