Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kereta pendek mencari penumpang

Kereta api jarak pendek yang disebut juga kereta klutuk, tetap dipertahankan. bisa disetop di tiap tempat. (pan)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ingin menjadi raja di atas kereta api, cobalah naik kereta lintas cabang. Tak perlu berdesak-desak dan karena itu bebas dari calo karcis. Lintas cabang diistilahkan PJKA bagi kereta api jarak pendek -- yang masih dipertahankan untuk beberapa daerah. "Kereta bisa berhenti di sembarang tempat, asal ada penumpang yang nyetop," kata Muhidin, seorang guru SD Inpres Klakah, Jawa Timur, yang berlangganan kereta jurusan Klakah-Pasiran. Kereta memang ditarik dengan lok diesel. Tapi untuk jurusan Klakah-Pasiran, yang berjarak 35 km, ditempuh 2 jam dengan melewati 9 stasiun kecil. Karena lambat dan berjalan seperti terantuk-antuk, arek-arek di sana menyebutnya kereta trutuk. Kereta trutuk ini hanya menarik dua gerbong, satu untuk penumpang, lainnya untuk barang. Gerbong yang tubuh aslinya buatan tahun-tahun sebelum kemerdekaan itu, tidak bercat lagi. Justru karena itu terlihat jelas dinding-dindingnya yang terbuat dari kayu jati -- sehingga tampak antik. Ada tiga bangku yang memanjang sepanjang tiap gerbong: dua di pinggir dan satu di tengah. Satu bangku bisa diduduki 20 orang -- kalau banyak penumpang. Tetapi penumpang tak pernah banyak. Sehingga langganan kereta api Klakah- Pasiran ini bisa tidur atau bersila termasuk sang kondektur. Mau buang air kecil? Kakus tersedia. Tapi ampun: kerusakannya hampir sama tua dengan kereta itu sendiri tanpa pernah diperbaiki. Masih untung tak berbau, karena memang tak pernah dipakai orang. Penumpang yang kebelet ingin kencing, tinggal turun di stasiun yang disinggahi. Tak usah keburu. Asal bilang sama kondektur, kereta akan setia menunggu. "Antara kondektur dan penumpang sudah seperti kawan. Tidak usah heran, semuanya bisa diatur," kata Muhidin lagi. Kereta bisa ngadat di jalan, bukan karena lok mogok. Tetapi anak-anak kecil yang bermain-maindi rel dan sengaja menggoda langkah si kereta. Bahkan tak jarang kondektur harus turun karena rel dihalangi becak yang parkir seenaknya. Tahun lalu, kereta jurusan Klakah-Pasiran ini beroperasi 4 kali sehari, pulang pergi. Sekarang dianggap cukup dua kali saja. Karena jumlah penumpang memang menurun terus -- rata-rata tinggal 20 orang sehari. Kebanyakan pedagang kecil dan guru. Tarifnya cukup ringan, hanya Rp 150 -- sementara tarif mobil untuk jurusan yang sama Rp 500. Panen penumpang terjadi pada hari Lebaran. Menurut Rakib, kepala Stasiun Klakah, di hari raya itu bisa menarik karcis 300 lembar. Itu artinya, gerbong barang pun berisi penumpang. Jangan heran kalau kereta yang penuh itu tak perlu berhenti di stasiun yang dilewatinya. Penumpangnya orang-orang yang mencari hiburan setahun sekali. "Mereka naik pulang-pergi tanpa tujuan. Bahkan ada yang berkali-kali," ujar Rakib. Karena berfungsi sebagai kereta rekreasi, menurut Rakib, jalur ini akan tetap dipertahankan. Jadwal keberangkatan kereta lintas cabang selalu sama: terlambat -- satu atau dua jam. Yang berbeda adalah baunya: macam-macam. Apek, anyir bercampur bau kemenyan dari rokok klobot. Belum lagi kalau ada penumpang yang berdiri di pintu: kencing. "Tapi saya senang kok bekerja di sini. Kadang dapat uang tambahan," kata Suratman, 54 tahun, kondektur KA lintas cabang Babat-Tuban (38 km) di Ja-Tim juga. Tak dijelaskan dan mana uang tambahan datang. Mungkin dari penumpang tanpa karcis yang naik di stasiun yang disinggahi. Stasiun? Ya, orang menyebut begitu: sebuah bangunan kecil dari bambu, beratap genteng, di tengah sawah. Kereta jalur pendek seperti itu, tentu saja rugi. "Lho, kenapa bicara untung-rugi? PJKA bukan pedagang eceran, kita ini perusahaan jawatan," kata Sudarman, kepala hubungan masyarakat PJKA Eksploitasi Timur di Surabaya. Pejabat ini lantas bilang, kereta yang berfungsi sosial itu akan tetap dipertahankan. Di Jawa Tengah ada kereta api jalur pendek yang diresmikan 29 April lalu, menghubungkan Semarang-Buyaran, berjarak 24 km. Ide ini datang dari Soepardjo Roestam, ketika masih Gubernur Ja-Teng, untuk mengurangi kepadatan lalu lintas Jalan raya sebelum memasuki Kota Semarang. Maksud baik ini tampaknya tak menjangkau sasaran. Kereta tak menarik perhatian masyarakat, tetap kosong, sementara lalu lintas jalan raya bertambah ramai. Kereta yang menarik dua gerbong ini, sehari paling banyak mendapat 7 penumpang. Tarmidi, 43 tahun, kondekturnya, sepanjang perjalanan berteriakteriak: Semarang .... Semarang .... di tengah suara kernet kolt yang meneriakkan kata-kata yang sama. Jika ada penumpang ikut, Tarmidi meniup peluitnya. Sukirno, masinis, memberhentikan kereta, tak peduli di stasiun atau bukan. "Saya tak malu lagi berteriak memanggil penumpang naik," ujar Tarmidi. Ia berkata begitu karena banyak orang di pinggir rel yang meneriakkan kata-kata ejekan kepadanya. Ongkos perjalanan itu cuma Rp 100. Jika naik di tengah jalan, bisa Rp 50 atau Rp 25, tergantung jaraknya. Semuanya pakai karcis. Jika kendaraan umum, jarak Buyaran-Semarang Rp 200. Walau begitu, Tarmidi mengeluh, "capek teriak-teriak tidak ada yang menumpang." Proyek kereta lintas cabang ini rugi. Namun Kepala PJKA Eksploitasi Tengah, Sumardi, menyebutkan, kerugian itu masih bisa ditutupi oleh lintas utama. Sehingga secara keseluruhan kerugian itu hampir tak berarti. Sumardi menolak menyebutkan angka pasti, kecuali, "anggaran itu berimbang antara pemasukan dan pengeluaran." Lintas jalur pendek seperti Buyaran-Semarang, Purwokerto-Purbalingga (18 km), Kroya-Cilacap, dan di tempat lain di Jawa Tengah akan tetap dipertahankan. Bahkan rel kereta yang tak berfungsi juga masih dipelihara. Salah satu alasan, 12.000 karyawan PJKA di Jawa Tengah tak boleh menganggur. Berbagai eksperimen telah dicoba, misalnya, menghidupkan jalur Semarang-Rembang dengan istilah Kereta Kartini. Macet. Dicoba lagi Kereta Batik, jurusan Pekalongan-Solo. Macet pula. Di Solo pernah dicoba, Kereta Wisata, juga macet. (TEMPO, 31 Juli 1982). Kini ada ide Kereta Borobudur: jurusan Yogya-Magelang. Satu-satunya jalur pendek yang tetap padat penumpang, bahkan melebihi kapasitas angkut adalah jalur Garut-Cibatu di Jawa Barat, berjarak 35 km. Dengan 7 gerbong penumpang dan 3 gerbong barang, kereta ini dijejali penumpang sampai di sela-sela loko. Banyak penumpang yang naik di tengah jalan, tanpa karcis. "Soalnya lari kereta kayak siput," ujar Dedi Afandi, pelajar STM Garut yang pulang pergi dengan kereta itu tanpa pernah membayar. Penumpang lain, umumnya pedagang, menyukai karena karcisnya murah dan dapat mengangkut banyak dagangan tanpa ongkos tambahan. Apalagi menurut beberapa penumpang, kondektur masih bisa diajak "damai". Di Sumatera Barat, ada jalur kereta api yang benar-benar bisa diajak "berdamai". Jurusan Padang-Pariaman-Naras berjarak cukup jauh, sekitar 100 km. Jika kereta api ini datang di Stasiun Sawahan Padang, wajah stasiun berubah menjadi pasar. Lucunya, pedagang berbagai jenis hasil bumi dan ternak itu menggelarkan dagangannya di dalam gerbong. Orang yang berbelanja masuk gerbong, memanfaatkan pintu yang lebar-lebar. Sekitar 2 jam kemudian, kereta berangkat lagi membawa penumpang yang berjualan itu menuju Kayu Taman. Di sini terulang kembali pasar di dalam gerbong. Bedanya, kali ini gerbong kemudian ditinggalkan di Stasiun Kayu Taman. Loko mendapat tugas menarik belasan gerobak batubara dari Sawahlunto ke PT Semen Indarung. Pedagang di atas gerbong yang ditinggal tak usah khawatir, nanti diambil lagi untuk meneruskan perjalanan ke stasiun lain. Begitulah setiap hari.Tak jelas, berapa pedagang membayar untuk menyewa gerbong itu. Kereta jalur pendek tak bisa dihapus begitu saja. "Di samping ada fungsi sosial, jalur itu di masa datang mungkin diperlukan," kata Drs. Hasan Basri, kepala hubungan masyarakat PJKA Pusat. Hasan Basri punya contoh. Rel jalur Bandung-Tanjungsari (jarak 30 km) dan Bandung-Majalaya (35 km) beberapa tahun lalu dibongkar karena rugi. "Sekarang setelah jalan raya padat, dan Majalaya berkembang menjadi kota industri, baru terasa kebutuhan kereta itu," katanya. Karenanya jangan heran, jika melihat pegawai PJKA tetap tekun membersihkan rel di jurusan yang tak pernah dilewati kereta. Bahkan di bagian yang sudah ditutupi aspal jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus