Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Kasus BLBI, Penyelamatan Sjamsul Nursalim Dirancang Sejak Lama

KPK menelusuri seluk-beluk penerbitan surat keterangan lunas untuk obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sjamsul Nursalim.

28 April 2017 | 08.12 WIB

Sjamsul Nursalim. Dok.TEMPO
Perbesar
Sjamsul Nursalim. Dok.TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta- Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menelusuri seluk-beluk penerbitan surat keterangan lunas untuk obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Sjamsul Nursalim. Surat itulah yang menyebabkan sisa utang Sjamsul sebesar Rp 3,7 triliun dianggap lunas. “Kami memang mengamati dugaan-dugaan dari alasan dan terpenuhinya syarat penerbitan SKL itu,” kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, Kamis 27 April 2017


Taipan Sjamsul Nursalim menerima surat keterangan lunas (SKL) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada April 2004. Padahal, menurut KPK, pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu masih berutang sekurang-kurangnya Rp 3,7 triliun kepada negara ketika surat lunas itu dikeluarkan. Komisi antirasuah akhirnya menetapkan Kepala BPPN saat itu, Syafruddin Tumenggung, sebagai tersangka dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang dan memperkaya diri sendiri, orang lain, serta korporasi akibat perbuatannya mengeluarkan SKL.


Baca: Penetapan Tersangka BLBI Dinilai Tak Pengaruhi Stabilitas Ekonomi


Seorang sumber Tempo mengungkapkan, pada masa restrukturisasi, muncul perdebatan di Komite Kebijakan Sektor Keuangan tentang sisa utang Sjamsul kepada BPPN. Sebab, sisa utang itu berasal dari dua sumber. Pertama, Sjamsul menunggak pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang pada 1997 diberikan ke bank miliknya, BDNI. Berikutnya, ada sisa utang petani tambak udang Dipasena--juga milik Sjamsul--kepada BDNI.


 Tambak udang Dipasena di Lampung adalah salah satu aset Sjamsul yang diserahkan ke BPPN sebagai bagian dari penyelesaian utang kucuran dana BLBI ke BDNI. “Keputusannya, kewajiban Sjamsul sebagai pemilik BDNI dilepaskan dari kewajibannya sebagai pemegang saham Dipasena,” kata mantan pejabat Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) ini.

Baca: Kasus BLBI Dibuka, Menko Darmin: Harus Ada Proses Tutup Buku


 Setelah pemisahan kewajiban itu, utang BLBI Sjamsul berkurang. BPPN pun memberikan diskon kepada petambak Dipasena—belakangan KPK menyebut sisa utang petani tambak telah ditagihkan senilai Rp 1,1 triliun. “Akhirnya terbit SKL,” kata dia. Pemisahan utang itulah biang masalahnya, karena KPK menganggap seluruh sisa utang Rp 4,8 triliun adalah piutang negara kepada Sjamsul.


 Menurut sumber itu, kebijakan mengalihkan utang Sjamsul ke petani tambak Dipasena diambil KKSK jauh sebelum Syafruddin menjabat. KPK lalu memanggil sejumlah mantan menteri anggota KKSK lama ketika penyelidikan kasus ini dimulai tiga tahun lalu.


Baca: Usut Kasus BLBI, Pukat UGM: KPK Harus Bisa Kombinasi Aturan Hukum


 Mulai pekan depan, komisi antikorupsi kembali memanggil sejumlah mantan menteri, antara lain Rizal Ramli, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Presiden Abdurrahman Wahid; dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Megawati Soekarnoputri. Menteri Koordinator Perekonomian adalah Ketua KKSK yang dibentuk pada era Presiden B.J. Habibie untuk mengawasi kerja BPPN dalam penyelesaian utang BLBI.


 Rizal Ramli menolak permintaan wawancara Tempo perihal ini. Adapun Maqdir Ismail, pengacara Sjamsul, menegaskan penerbitan SKL untuk kliennya sesuai dengan ketentuan BPPN. “Klien saya telah membayar dan menerima surat bukti pelunasan dari pemerintah,” katanya.


 INDRI MAULIDAR | FRANCISCO ROSARIAN


 


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus