Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Waisak, Teosofi, dan Bhante Ashin Jinarakkhita  

Almarhum Bhante Ashin Jinarakkhita dikenal mempelopori upacara Waisak nasional pertama di Borobudur pada zaman setelah kemerdekaan yang diikuti ribuan penganut. Sebelumnya, di masa Belanda, Waisak diperingati secara kecil-kecilan oleh anggota perkumpulan Teosofi.

 

21 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peringatan Waisak pertama kali digelar di Candi Borobudur pada sekitar 1932.

  • Bhante Ashin Jinarakkhita mempelopori upacara Waisak pertama di Borobudur.

  • Di masa kolonial Belanda, upacara Waisak diperingati oleh perkumpulan anggota Teosofi.

PADA 20 Mei 1932, sekelompok kecil anggota komunitas Teosofi berkumpul di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, guna memperingati Waisak. Borobudur saat itu masih belum sepenuhnya terestorasi. Setelah pada 1911 (dari April 1907) Theodore van Erp selesai memimpin tim Belanda menanggulangi sebagian kerusakan Borobudur, masih banyak korosi, perembesan air, dan pelapukan batu-batu terjadi di Borobudur. Tahun 1932 adalah tahun menjelang krisis ekonomi global dan meletusnya Perang Dunia II. Pada masa itu perbaikan-perbaikan di Borobudur berhenti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Betapapun demikian, para aktivis kebatinan, seperti E.E. Power dan Ir. Mengelaar Meerteens, yang anggota Teosofi; serta Pandita Josias Van Deist, pendiri asosiasi Buddhis Java, memilih Borobudur sebagai tempat merefleksikan Waisak. Teosofi sendiri adalah gerakan kebatinan internasional yang mulanya didirikan oleh seorang tokoh spiritual asal Ukraina, Helena Petrovna Blavatsky, di New York, Amerika Serikat, pada 1875 dan kepemimpinannya kemudian dilanjutkan oleh Annie Besant di Adyar, Chennai, India, pada 1882. Teosofi memiliki cabang di mana-mana. Bahkan loji pertama Teosofi di Indonesia berdiri di Pekalongan pada 1883—setahun sesudah loji pusat berdiri di India. Di Indonesia menyusul Pekalongan kemudian berdiri loji-loji Teosofi di Semarang, Jakarta; Bandung; Klaten, Jawa Tengah; Medan; dan Malang, Jawa Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Borobudur bukanlah situs yang asing bagi warga Teosofi. Beberapa pemimpin utama Teosofi pernah mengunjungi Borobodur. Pendiri Teosofi, Madame Blavatsky, disebutkan tiga kali pernah berkunjung ke Jawa—bahkan sebelum pembentukan organisasi Teosofi di New York, yaitu sekitar 1853, 1858, dan 1883 (tentang hal ini, ada yang menyebut kunjungan terakhir Blavatsky pada 1862). Borobudur, candi penuh stupa itu, terkuak keberadaannya ke dunia setelah Thomas Stamford Raffles memerintahkan menyingkap hutan dan pepohonan yang menimbunnya pada 1814. Boleh jadi hal inilah yang menarik Blavatsky datang ke Jawa. Ia dikabarkan mengunjungi Candi Borobudur dan Candi Mendut serta bermalam di Pesanggrahan Limpung tak jauh dari Pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Tokoh kakap Teosofi lain yang pernah mengunjungi Borobudur adalah C.W. Leadbeater.

C.W. Leadbeater adalah seorang clairvoyance yang bersama Annie Besant menemukan sosok spiritualis besar Khrisnamurti. Ia awalnya menempa spiritual Khrisnamurti di masa kecil karena percaya Khrisnamurti bakal menjadi juru selamat meski kemudian setelah dewasa Khrisnamurti menolaknya. Setelah menengok Candi Mendut dan Borobudur, C.W. Leadbeater menulis risalah The Occult History in Java (Sejarah Gaib Pulau Jawa). Dalam penerawangannya ia menulis mungkin ada sebuah terowongan panjang dari Mendut ke Borobudur. Peter Levenda dalam bukunya, Tantric Temples Eros and Magic in Java, menyebutkan boleh jadi kepergian C.W. Leadbeater ke Jawa, Borobudur, dan Mendut untuk mencari pengganti Khrisnamurti yang tak mau lagi diarahkan sebagai mesias.

Bisa disebut pada 1932, meski terbatas, pertama kali Borobudur dijadikan lokasi peringatan Waisak. Tahun 1938, para anggota Teosofi masih tercatat merayakan Waisak di Borobudur. Selama pendudukan Jepang, perayaan Waisak di Borobudur berhenti. Sesudah Indonesia merdeka pun bahkan lama tidak ada perayaan Waisak di Borobudur. Baru pada 22 Mei 1953 seorang anggota Teosofi bernama Tee Boan An berusaha menghidupkan kembali seremoni Waisak di Borobudur dengan skala besar. Acara ini dihadiri oleh ribuan warga. Tee Boan An, lelaki kelahiran Bogor, Jawa Barat, pada 1923, baru pulang dari Belanda. Di Belanda ia kuliah di Jurusan Kimia Departemen Matematika dan Ilmu Alam Universitas Groningen, tapi tidak ditamatkan karena ia aktif melakukan aktivitas kerohanian Teosofi dari Belanda sampai Prancis. Di Belanda, seperti pernah ditulis John MacDougall, ia pernah menghadiri ceramah Khrisnamurti. Sepulang ke Indonesia ia menjadi Wakil Ketua Pengurus Pemuda Teosofi. Ia juga tertarik mendalami agama Buddha dan menjadi ketua organisasi Sam Kauw Hwee Indonesia (organisasi Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme).

Bhikkhu melakukan sembahyang pada Perayaan Waisak 2566 BE/2022 di Candi Sewu, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, Senin (16/5/2022).

Kelak Tee Boan An menjadi bhante karismatik Ashin Jinarakkhita. Boleh disebut masa muda Ashin Jinarakkhita sebagai anggota Teosofi yang berinisiatif menggelar upacara Waisak di Borobudur itu adalah cikal bakal bagi seremoni Waisak di Borobudur seperti sekarang ini. Buku Jack Meng-Tat Cha, pengamat Buddhis dari Singapura terbitan 2021, Monks in Motion Buddhism and Modernity in The South China Sea, yang membahas biografi Biku Ashin Jinarakkhita, bersama dua biksu pelopor lain, Biksu Chuk Mor di Malaysia dan Biksu Yen Pei, mengatakan Tee Boan An selama 1950-an empat kali menyelenggarakan upacara Waisak besar di Borobudur.

Dalam buku yang pada April lalu baru saja diterjemahkan penerbit Karaniya itu, Jack Meng mengatakan Tee Boan An pada 1953 memindahkan perayaan Waisak yang tahun-tahun sebelumnya diselenggarakan perhimpunan persaudaraan Teosofi dengan skala kecil di Pura Agung Bali. Misi Tee Boan An adalah mengembalikan Borobudur sebagai situs candi yang aktif. Ia melakukan promosi besar sampai mengundang delegasi kedutaan besar Burma, Sri Lanka, India, Singapura, dan Thailand. Bisa disebut pada 1953 itulah untuk pertama kali Waisak dirayakan sejak era Majapahit.

Di Wihara Vaipulya Sasana, Jakarta, pada Juli 1953—setelah acara Waisak itu, Tee Boan An selanjutnya ditahbiskan menjadi samanera dalam tradisi Mahayana Tiongkok. Pada Desember 1953, Tee Boan An kemudian belajar meditasi Theravada di Burma di bawah ahli meditasi terkenal Mahesi Sayadaw. Ia ditahbiskan oleh Mahesi Sayadaw dan diberi nama Ashin Jinarakkhita. Begitu pulang dari Burma, 6 Mei 1955, Bhante Ashin kembali menginisiasi perayaan Waisak di Borobudur. Ia mengundang umat Buddha Jawa, Bali, dan Makassar. Dia meminta Radio Republik Indonesia menyiarkan upacara Waisak tersebut.

Menurut Jack Meng, di Borobudur pada 1955 Bhante Ashin memimpin umat mendaras syair tentang kemenangan (Jayamangala-gatha) dan penyalaan lilin. Di puncak Borobudur, tempat stupa-stupa, ia mendaras lima sila Buddhis. Tahun berikutnya, 24 Mei 1956, kembali Ashin Jinarakkhita memimpin perayaan Waisak d Borobudur. Bisa disebut, pada 1956, perayaan Waisak mendapat momentum besar karena bertepatan dengan 2.500 tahun agama Buddha atau Buddhajayanti.

Pukul 6 sore saat itu, ribuan penganut Buddha berkumpul di Candi Mendut. Ashin Jinarakkhita kemudian memimpin prosesi jalan kaki menuju Candi Borobudur. Mereka sampai ke Borobudur malam hari. Dan kemudian di Borobudur Bhante Ashin memimpin meditasi sepanjang malam sampai detik-detik Waisak. Dalam penelitian Jack Meng, jumlah penganut Buddha yang mengikuti Waisak di Borobudur pada 1956 lebih dua kali lipat dibanding pada 1953. Pada 1953 hanya sekitar 3.000 warga, kemudian pada 1956 menjadi sekitar 7.000 penganut Buddhis.

Setelah 1956, sejarah mencatat, pada 1959 perayaan Waisak di Borobudur juga cukup besar. Pada tahun itu Waisak didahului pentahbisan pertama kalinya para biku dan samanera Indonesia. Acara yang pertama kali dilakukan itu diselenggarakan di Jakarta dan Semarang. Bhante Ashin mengundang 14 biku ternama dari Sri Langka, Kamboja, Thailand, Burma, dan Jepang, termasuk Mahasi Sayadaw dari Burma dan Narada Mahathera dari Sri Lanka, untuk ikut menahbiskan mereka. Bhante Ashin kemudian mengajak 14 biku agung Asia itu mengikuti Waisak di Borobudur. Upacara diawali sembahyang di Candi Mendut, kemudian dilanjutkan berjalan kaki dari Mendut ke Borobudur sembari mereka membawa bunga, lilin, dan dupa. Setelah sampai Borobudur, para bhante melakukan pradaksina mengelilingi Borobudur tiga kali searah jarum jam.

Sampai kini upacara Waisak yang dilakukan di Borobudur juga diawali dengan persembahyangan di Candi Mendut, lalu dilanjutkan prosesi jalan kaki dari Mendut ke Borobudur lalu diakhiri dengan pradaksina di Borobudur. Termasuk Waisak yang diselenggarakan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabhudi) pada tahun ini. Biksu Ashin Jinarakkhita sendiri, setelah kepulangannya dari belajar di Burma, mendirikan gerakan Buddhayana. Buddhayana menjembatani antara Theravada dan Mahayana dan tidak ingin bersifat sektarian. Buddhayana, menurut Bhante Ashin, adalah agama Buddha Indonesia. Bhante Ashin berkeyakinan Buddha memiliki akar-akar sangat dalam di tanah Jawa.

Umat Buddhayana sendiri, meski didirikan seorang bhante yang mempelopori perayaan Waisak di Borobudur, mereka tidak terlihat hadir di upacara Waisak di Borobudur yang diselenggarakan Walubi dan Permabhudi pada 14-16 Mei lalu. Mereka tidak menjadi anggota Walubi. Sebagaimana umat Buddha lain yang tidak berada di bawah naungan Walubi, merayakan Waisak di tempat lain, para biku Buddhayana dan umatnya memperingati Waisak di Candi Sewu. Mereka mengadakan prosesi jalan kaki dari Candi Lumbung ke Candi Sewu yang berada dalam satu kompleks luas.

Dalam iring-iringan itu tidak ada pawai kendaraan, sambutan wakil menteri agama, drama musikal Waisak, dan pelepasan lampion massal sebagaimana Waisak di Borobudur. Upacara terlihat sederhana tapi khusyuk. Pada akhir upacara para biku menciprati air berkah kepada penganut yang hadir. Selain diambil dari Umbul Jumprit Temanggung, air itu diambil dari mata air Umbul Senjoyo, Salatiga, Jawa Tengah; dan Sendang Pitutur, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus