Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kutukan Partai Sempalan

Konflik internal Partai Bintang Reformasi tak berujung. Kelahirannya pun diawali pertikaian.

6 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USAHA itu kini sia-sia. Dua tahun lalu, selama berbulan-bulan, Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud berusaha mendamaikan kedua kubu dalam Partai Bintang Reformasi (PBR) yang sedang bertikai. Saat itu kubu Ketua Umum Zainuddin M.Z. bentrok dengan barisan Zaenal Ma’arif pada hari terakhir muktamar pertama PBR di Hotel Sahid, Jakarta, April 2005.

Pertemuan demi pertemuan islah digelar, sampai berujung pada muktamar rekonsiliasi di Denpasar, Bali, April tahun lalu. Aksa datang sendiri ke Bali saat itu dan ikut repot mencari jalan keluar ketika sidang deadlock. Dia lega sekali ketika muktamar berakhir damai.

Sekarang, setelah partai alit itu pecah lagi, Aksa angkat tangan. ”Tidak perlu difasilitasi lagi, toh sudah ada peraturan internal,” kata ipar Wakil Presiden Jusuf Kalla ini, Januari lalu.

Aksa hanya salah satu orang yang pesimistis terhadap PBR ketika perseteruan di partai itu kembali membara pada awal tahun ini. Sementara dua tahun lalu yang bertengkar adalah Zainuddin versus Zaenal, kini Zaenal punya seteru baru: Bursah Zarnubi, Ketua Umum PBR yang terpilih dalam muktamar kedua di Bali. ”Kalau konflik yang sekarang sepertinya sulit islah,” kata Bursah kepada Tempo pekan lalu. Ia menahan emosi. ”Kami sudah banyak memberikan kesempatan,” katanya.

Sejarah perseteruan di PBR berawal dari kelahiran partai ini. Lima tahun lalu, sejumlah aktivis Partai Persatuan Pembangunan (PPP)—antara lain Zainuddin M.Z. dan Zaenal Ma’arif—sepakat meninggalkan partai yang membesarkan mereka dan mendirikan PPP Reformasi. ”Waktu itu kami kecewa karena jadwal muktamar PPP diundur terus,” kata Zaenal pekan lalu. Zaenal sendiri termasuk tokoh PPP di Solo, Jawa Tengah. Dalam Pemilu 1997, bersama Mudrick Sangidoe, dia mengusung kampanye ”Mega-Bintang” yang sukses mendongkrak suara partai Islam itu.

Belum genap setahun PPP Reformasi berdiri, api konflik sudah meletik. Kubu Zainuddin dan Sekretaris Jenderal Djafar Badjeber berseteru dengan kubu Saleh Chalid. Tak bisa berislah, mereka berpisah. Pada April 2003, Zainuddin mendirikan Partai Bintang Reformasi, sementara lawannya mendeklarasikan Partai Penyelamat Perjuangan Reformasi.

Keputusan itu menyelamatkan biduk politik Zainuddin dan kelompoknya. Dalam Pemilu 2004, PBR berhasil meraup 14 kursi dan melenggang ke Senayan. Zaenal termasuk yang beruntung. Dia mendapat kursi anggota parlemen karena maju dari daerah pemilihan Sumatera Utara. Di Solo, kota kelahiran Zaenal, PBR tidak mendapat kursi satu pun. ”Saya tidak pernah bermimpi jadi anggota DPR,” katanya tersenyum.

Peruntungan Zaenal tak berhenti di sana. Dalam perebutan kursi pimpinan wakil rakyat, PBR memilih bergabung dengan Golkar, PDI Perjuangan, dan PKB di Koalisi Kebangsaan. Keputusan mereka tepat: koalisi itu menang tipis dalam pemungutan suara. PBR pun mendapat jatah satu kursi Wakil Ketua DPR. Zaenal yang didaulat mengambil kehormatan itu. ”Semua ini saya anggap takdir,” kata dosen hukum tata negara di Universitas Muhammadiyah Surakarta ini.

Setahun berbulan madu, suhu politik partai itu memanas lagi pada akhir muktamar pertama di Hotel Sahid, Jakarta, akhir April 2005. PBR lagi-lagi pecah dua: Zaenal Ma’arif sukses menggalang dukungan sejumlah pengurus daerah untuk menolak keputusan muktamar yang secara aklamasi mendukung Zainuddin.

Tak hanya menolak dai sejuta umat itu, Zaenal melangkah lebih jauh: dia mendirikan PBR tandingan. Ketika itu, dia masih didukung sejumlah tokoh PBR yang tersisih dari bursa ketua umum—di antaranya Djafar Badjeber dan Ade Daud Nasution. Sejak itulah, di kalangan politikus, dikenal istilah PBR Tebet (markas kubu Zaenal) dan PBR Pakubuwono (sekretariat barisan Zainuddin).

Pada titik inilah Jusuf Kalla melangkah masuk. Dia mengutus adik iparnya, Aksa Mahmud, menjadi juru damai. Upaya mereka sempat berbuah manis: pada Desember 2005, Zaenal, Zainuddin, dan Aksa menandatangani kesepakatan damai. Jadwal muktamar pun ditetapkan pada awal tahun berikutnya. ”Saat itu Pak Zainuddin banyak mengalah terhadap tuntutan Zaenal,” cerita Bursah.

Namun, bagai dikutuk untuk terus berkelahi, ketenangan di PBR tak berusia panjang. Enam bulan setelah muktamar Bali, perseteruan justru makin runcing. Zaenal yang dulu menggoyang Zainuddin beralih jadi sasaran tembak. Dia dituduh menggelapkan miliaran rupiah dana sumbangan untuk partai, juga dituding tak becus mengelola daerah pemilihannya di Sumatera Utara.

”Aspirasi kami di daerah tak pernah disalurkan dan dicari jalan keluarnya di Jakarta,” kata Ketua PBR Sumatera Utara, Raden Syafei, pekan lalu. Setiap kali berkunjung ke Medan, kata Syafei, Zaenal jarang bertemu langsung dengan warga yang dulu memilihnya. ”Dia malah lebih sering ketemu gubernur,” ujarnya. Pada awal 2006, Musyawarah Wilayah PBR Sumatera Utara menuntut pengurus pusat mengganti Zaenal. ”Permintaan itu resmi dari bawah,” kata Syafei.

Zaenal tentu tak terima dengan tuduhan itu. ”Kalau benar saya korupsi, ayo buktikan di pengadilan,” katanya sengit. Soal tudingan bahwa dia tak mampu mengelola daerah pemilihannya, bantahan Zaenal tak kalah gesit. ”Tanya saja pengurus daerah di sana, apa benar begitu,” katanya.

Bursah Zarnubi mengaku tak pernah berniat menyingkirkan Zaenal dari partai yang dia dirikan sendiri. ”Awalnya, kami hanya minta dia meninggalkan kursi Wakil Ketua DPR,” katanya. Permintaan itu dilayangkan pada pertengahan tahun lalu. Zaenal rencananya diberi pos baru di Komisi Anggaran. Sebelumnya, Zaenal sendiri yang menawarkan diri untuk mundur dari kursi Wakil Ketua DPR, setelah kekalahannya dalam muktamar. Tapi dia menarik kembali pengunduran dirinya dengan alasan, ”Banyak orang yang minta saya tetap di sana.”

Tak hanya menolak dipindahkan ke komisi, pada Desember 2006 Zaenal juga menyatakan tak mengakui lagi kepemimpinan Bursah sebagai Ketua Umum PBR. Untuk kedua kalinya, dia mendirikan PBR tandingan. ”Jadi, kalau ada tokoh yang jago mendirikan partai tandingan, ya Zaenal orangnya,” kata Ade Daud Nasution, Ketua PBR, sambil tertawa. Vonis Pengurus Pusat PBR pun dijatuhkan: Zaenal dipecat.

Sejak itulah, satu demi satu, kawan seperjuangan Zaenal di parlemen menjauh. Pada Juni lalu, dia sempat mengajak lima anggota fraksinya lompat pagar ke PDI Perjuangan. Namun taktik itu kandas setelah Fraksi Banteng menolak lamarannya. Zaenal makin tak tenang setelah Ketua DPR Agung Laksono meneruskan surat permintaan pergantian dirinya ke Komisi Pemilihan Umum, Juli lalu. Dia cepat-cepat mengirim surat somasi ke Agung, meminta surat itu dibatalkan. Tak ada tanggapan.

Usaha terakhirnya, mengirim surat ke Presiden Yudhoyono, meminta pengesahan pergantian dirinya ditunda sampai perkara sengketa PBR divonis pengadilan. Tapi Presiden tak menggubris. Setelah itulah Zaenal mengambil langkah nekat: mengumbar video soal kehidupan pribadi SBY. ”Ini konspirasi politik,” katanya yakin.

Tamatkah riwayat Zaenal? Belum tentu. Pada November dua tahun lalu, bersama sejumlah eks tokoh PBR, Zaenal sudah menyiapkan partai baru: Perhimpunan Bintang Rakyat—juga disingkat PBR.

Wahyu Dhyatmika, Aqida Swamurti, Imron Rosyid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus