Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah hampir dua jam belasan polisi itu berkumpul di depan toilet seberang halte bus Transjakarta Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu pekan lalu. Erna Boru Naban, yang berjualan kopi instan sekitar 20 meter dari kerumunan polisi, sempat waswas. Tak biasanya ada polisi sebanyak itu. "Ada yang mengira mereka akan merazia," kata Erna saat menuturkan kejadian itu, Kamis pekan lalu.
Malam itu, Erna berkeringat lebih banyak dari biasanya. Cucu perempuannya yang berumur sembilan bulan tertidur gelisah di sampingnya. "Udara terasa panas," ujar Erna, 53 tahun. Jarum jam menunjukkan pukul 21.00 ketika Erna mengambil sebungkus kopi instan yang dipesan sopir angkutan. Tibatiba, Erna mendengar ledakan keras. Bungkusan kopi di tangannya terlepas. Asap putih membubung dari arah tempat kumpul polisi. Spontan, Erna merengkuh tubuh cucunya.
Sambil menggendong sang cucu, Erna melihat pengguna bus Transjakarta yang sebelumnya memadati halte berlompatan ke luar ke sisi yang jauh dari sumber ledakan. Halte saat itu memang sedang penuhpenuhnya karena bus dari Kampung Rambutan terlambat datang. Menurut Maruli, suami Erna, yang ikut berjualan, kirakira ada 200 orang di dalam halte.
Di sisi utara halte, seorang sopir Kopaja 502 bernama Parlindungan sedang memperbaiki mesin bus yang ngadat ketika ledakan pertama terdengar. Setengah berlari, dia mendekati pintu masuk di sisi selatan halte Transjakarta. Di sana, dia melihat beberapa orang tergeletak. Ada juga potonganpotongan organ manusia. Parlindungan lantas masuk ke halte. Di sana, dia melihat sepotong kepala yang terpisah dari tubuhnya. Menggunakan telepon selulernya, Parlindungan sempat mengambil gambar potongan tubuh itu.
Saksi lain, Tasdik, malam itu dalam perjalanan pulang dari kantornya di perumahan Green Ville, Tanjung Duren, Jakarta Barat. Dia melintasi Kampung Melayu ketika menuju rumahnya di Depok, Jawa Barat. Pria yang bekerja sebagai petugas keamanan Bank Mandiri ini berhenti begitu mendengar bunyi ledakan. Ia memarkir sepeda motornya di sisi timur halte Transjakarta, di seberang kantor terminal. "Ayo, ayo! Jangan lihat saja! Bantu kami!" tutur Tasdik menirukan teriakan polisi.
Ayah dua anak itu melihat seorang polisi tergeletak di depan halte. Wajahnya penuh darah. Bersama dua polisi lain, Tasdik bermaksud mengangkat tubuh itu. Tapi... bum! Ledakan kedua terjadi berselang sekitar lima menit dari yang pertama.
Tasdik jatuh terempas. "Saya merasakan semburan angin kencang dari belakang," kata Tasdik ketika menceritakan kejadian itu di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih, Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur. Menurut Trini, istrinya, Tasdik mendapat 14 jahitan di punggung. Otot tendon di lengan kanannya terputus sehingga harus dioperasi. Seperti halnya Tasdik, dua polisi yang hendak menolong rekannya menjadi korban ledakan kedua.
Sesaat setelah kedua ledakan itu, warga di sekitar Kampung Melayu segera berdatangan. Mereka berkerumun di sekitar lokasi ledakan. Tempo tiba di lokasi sekitar setengah jam kejadian. Saat itu, lalu lintas di Jalan Jatinegara Timur mulai tersendat. Jembatan layang yang tepat berada di atas halte bus Transjakarta Kampung Melayu mulai dipadati orang. Pejalan kaki yang kebetulan melintas berhenti melihat kerumunan yang terus membesar.
Orangorang yang berada di bawah flyover berteriakteriak mengingatkan kerumunan di atas jembatan. "Jalan, jalan. Itu berbahaya," begitu teriakan warga di bawah jembatan. Tapi itu tak mempan. Polisi yang datang sekitar 30 menit setelah kejadian berusaha mengarahkan warga agar menjauh dengan pengeras suara. Polisi juga meminta pengguna flyover melanjutkan perjalanan.
Tim Pusat Laboratorium Forensik Kepolisian Republik Indonesia datang sekitar satu jam setelah kejadian. Mereka langsung melakukan olah tempat kejadian perkara. Tim Laboratorium Forensik menyisir setiap jengkal tempat yang dilingkari garis polisi hingga pukul setengah dua pagi.
Berdasarkan keterangan resmi polisi, total ada 16 orang yang menjadi korban bom Kampung Melayu. Lima di antaranya tewas. Mereka adalah dua terduga pelaku dan tiga anggota Samapta Bhayangkara Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Ketiga polisi yang tewas ketika bertugas adalah Brigadir Dua Imam Gilang Adinata, Brigadir Dua Ridho Setiawan, dan Brigadir Dua Taufan Tsunami.
Menurut Kepala Kepolisian Resor Jakarta Timur Komisaris Besar Andry Wibowo, malam itu 17 polisi menyebar di sekitar Terminal Kampung Melayu sebelum terjadi ledakan. Mereka berasal dari satuan Samapta Bhayangkara Polda Metro Jaya. "Mereka membantu kami mengamankan pawai obor menjelang Ramadan," ujar Andry.
Di media sosial, malam itu, berita tentang bom di Kampung Melayu terus berseliweran. Foto potongan tubuh manusia pun beredar di grupgrup percakapan. Di antaranya foto kepala yang belakangan diidentifikasi polisi sebagai kepala orang bernama Ahmad Sukri. Ia diduga salah satu dari dua pelaku peledakan bom bunuh diri. Polisi juga mengidentifikasi satu pelaku lagi, yaitu Ichwan Nur Salam.
Seorang pedagang yang biasa mangkal di Terminal Kampung Melayu mengenali foto wajah yang tersebar di media sosial itu. "Sudah dua hari saya melihat dia dudukduduk di dalam halte," kata ibu yang ingin namanya tidak ditulis itu. Dia tidak mau dijadikan saksi oleh polisi.
Pedagang ini hafal wajah orang mirip Sukri itu karena jarang ada orang yang berperilaku seperti dia. Lelaki asing itu dudukduduk di tempat yang sama selama dua hari berturutturut. Setiap kali ditawari agar membeli air minum dari luar halte, pria itu selalu membuang muka.
Lalu, pada pagi di hari peledakan bom, ada lagi satu pria yang mondarmandir di depan lapak dagangan ibu itu. "Saya sampai bilang, ‘Bapak jangan bolakbalik saja. Beli ini dagangan saya’," tuturnya. Namun pria asing itu pun hanya melengos. Menurut si pedagang, lelaki yang bolakbalik itu bukan orang yang dudukduduk di dalam halte. Pria terakhir membawa ransel dan menggunakan topi berwarna gelap.
Sehari setelah bom laknat itu, Erna dan Maruli sudah kembali berjualan. Mereka kebanjiran pesanan kopi dan minuman lain. Sebab, banyak warga yang menonton olah tempat kejadian perkara lanjutan siang itu. Erna bersyukur hal buruk tak menimpa keluarganya. Namun dia tetap ketarketir. "Anak perempuan saya setiap hari naik Transjakarta untuk bekerja. Saya jadi khawatir," ujarnya.
Gadi Makitan, Suseno, Devy Ernis, Arkhelaus Wisnu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo