Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tangerang, abad ke-16. Seorang Portugis, Tome Pires, menjejakkan kaki di pelabuhan di utara Pulau Jawa itu. Ia ternganga melihat koloni etnis Tionghoa yang subur dan hidup likat dengan pribumi. Makin ke pedalaman, ia kian tercengang mendapati kedua etnis itu susah dibedakan—kecuali pada mata sipit si Tionghoa yang tak bisa disembunyikan.
Etnis Tionghoa memang lebih dulu tiba di Banten sebelum bangsa Eropa. Gelombang pertama terjadi pada masa Dinasti Tang (618-907) menggelar ekspedisi militer ke Asia Tenggara. Tetapi saat pemerintahan Dinasti Sung-lah (907-1127) mereka sampai ke Banten dan Tangerang. Di sana mereka berbaur dengan penduduk lokal dan beranak-pinak.
”Lalu ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, Banten dan Tangerang menjadi pelabuhan paling sibuk.” Pires mencatatnya ketika berkunjung ke sana pada 1512-1515.
Pada 1619, Belanda menguasai Sunda Kelapa dan mengubahnya menjadi Batavia setelah menumpas pasukan Pangeran Jayakarta. Belanda juga mendesak Kesultanan Banten agar tunduk. Tapi Banten menolak. Dalam suasana konflik itu, Tangerang yang berada di antara dua wilayah itu menjadi basis pertahanan sekaligus rebutan. Kedua pihak sama-sama mendirikan benteng di bibir Sungai Cisadane, salah satunya Benteng Makassar. Karena itulah kawasan ini dikenal dengan sebutan ”benteng”.
Menurut Eddy Prabowo Witanto, sinolog dari Universitas Indonesia, itulah awal mula terbentuknya sebutan Cina Benteng bagi etnis Cina di area itu. Mereka terkonsentrasi di sebelah utara, yakni di daerah Sewan dan Kampung Melayu—cikal bakal kota Tangerang. Lantaran warga keturunan di sekitar benteng berkulit gelap dan bermata sipit, maka, ”Cina Benteng identik dengan stereotip itu,” kata Eddy.
Bersama perjalanan waktu, masyarakat Cina Benteng aktif melemparkan diri ke dalam budaya lokal. Dalam percakapan sehari-hari mereka tak lagi berbahasa Cina. Kesenian gambang kromong, yang merupakan paduan musik Cina dan Betawi, biasa dimainkan dalam acara perkawinan warga Cina Benteng.
Tangerang kian maju saat pemberontakan Cina di Batavia (1740) berkobar. Kala itu, Gubernur Jenderal Belanda Adriaan Valkenier membatasi jumlah imigran Cina di Batavia dengan mengirim mereka ke Sri Lanka untuk dijadikan budak. Mereka melawan dan ribuan jiwa melayang. Yang selamat kabur ke pinggiran Tangerang, seperti di Mauk, Cisoka, bahkan sampai ke Parung, Bogor.
Saat Kesultanan Banten jatuh pada 1809, Tangerang berubah menjadi kawasan partikelir Belanda. Sepetak demi sepetak tanah di Tangerang dikuasai pedagang kaya Belanda atau Cina dari Batavia. ”Selain menguasai tanah, mereka juga menguasai penduduk yang bermukim di Tangerang,” kata Eddy. Inilah yang membuat kehidupan kaum Cina Benteng kian melarat.
Dan sejarah getir itu belum juga berakhir. Komunitas Cina Benteng masih tak beruntung secara ekonomi. Tidak jarang mereka harus melepaskan anak gadisnya menawar nasib ke Taiwan.
Cahyo Junaedy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo