Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebilah keris berpamor beras wutah garapan KRT Subandi tersimpan rapi di kediaman Rasjid Arifin, 42 tahun, di Tomang, Jakarta Barat. Inilah tosan aji andalannya. ”Pamor keris ini menggunakan batu meteorit Gibeon. Jadi berbeda nilainya,” katanya.
Pekerja swasta yang mengoleksi keris sejak 2008 itu termasuk kolektor yang mau mencari sendiri batu meteorit bila memesan keris kepada seorang empu. ”Biasanya saya pesan lewat Internet. Ada yang dari Brasil, Argentina,” ujarnya.
Meteorit sudah lama menjadi bahan baku pembuatan keris. Orang Jawa percaya keris yang baik adalah yang terbuat dari perkawinan unsur bebatuan langit dengan bumi (ibu langit, bapa angkasa). Karena itu, ketika pada 1749 sebuah meteorit jatuh di sekitar Candi Prambanan, Yogyakarta, meteorit itu menjadi rebutan antara Kesultanan Solo dan Yogyakarta.
Meteorit yang konon sebesar pelukan orang dewasa itu akhirnya diboyong ke Keraton Surakarta pada 1797 dan dijadikan bahan pembuatan keris-keris pusaka Mataram. Kini sisa batu meteorit itu tersimpan di Keraton Surakarta dan sebagian di Keraton Yogyakarta. Hingga saat ini keraton masih menggunakan batu meteorit untuk membuat pamor keris sang raja.
”Ada seribu lebih pamor keris Raja Keraton Yogyakarta yang dibuat dengan bahan batu meteorit,” kata adik tiri Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Pangeran Bendoro Haryo Prabukusumo.
Menurut Prabu, sisa meteorit disimpan di suatu tempat di dalam keraton yang lokasinya dirahasiakan. ”Hanya Ngarso Dalem (Sultan) yang boleh tahu di mana dan berapa banyak sisa meteorit. Saya sendiri tidak tahu. Yang jelas, itu ada,” kata Prabu. ”Kalau Sultan pingin, ya buat,” dia menambahkan. Dulu penggarapannya dipasrahkan kepada Ki Empu Djeno Harum Brojo. Setelah Ki Djeno wafat pada 2006, pembuatan keris diturunkan kepada Empu Sungkowo, putranya, yang berlokasi di Desa Sumberagung, Moyudan, Sleman, Yogyakarta. Di lingkungan istana, pembuatan keris menggunakan bahan meteorit hanya diperkenankan bagi raja alias sultan.
Namun kini tidak perlu menjadi raja terlebih dulu bila kolektor ingin membuat keris berbahan baku meteorit, karena batu langit itu bisa dipesan lewat Internet. ”Untuk batu meteorit ukuran kecil, paling tidak Rp 1 juta harus dikeluarkan,” kata Rasjid. Keris dengan pamor batu meteorit diakuinya memiliki keistimewaan tersendiri. Keris itu akan mempunyai warna heterogen, yang menciptakan garis-garis dengan nuansa warna, mulai putih, mengkilat, kelabu, hingga kelabu tua. Komposisi warna inilah yang memunculkan kesan indah, wibawa, dan keramat pada keris dibanding yang berpamor nikel. Keris berpamor nikel hanya terlihat mengkilat.
Pedagang yang juga kolektor keris Hengki Joyopurnomo mengakui adanya perburuan meteorit di kalangan kolektor. ”Keris dengan pamor meteorit bisa lebih mahal. Gradasi warnanya bagus. Berbeda dengan pamor nikel, yang hanya terlihat mengkilat,” katanya.
Orang awam, Hengki melanjutkan, memang agak kesulitan membedakan antara keris berpamor meteorit asli dan palsu. Terlebih dengan banyaknya penjualan batu meteorit palsu di pasar saat ini akibat meningkatnya permintaan pasar akan batu meteorit, yang semakin sulit ditemukan di Tanah Air. ”Batu meteorit harus diimpor dari luar. Sulit membeli di dalam negeri,” ujarnya.
Senada dengan Hengki, menurut Rasjid, di pasar saat ini beredar batu besi yang mirip batu meteorit. Batu besi ini sangat murah. Merogoh kocek Rp 5.000 saja sudah bisa mendapatkan satu butir. ”Bahkan di Rawabening ada yang bilang batu meteorit warna hitam, padahal itu batu tektit, bukan meteorit,” ujarnya.
Suryani Ika Sari, Pribadi Wicaksono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo