Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertunjukan politik telah dimulai. Sepanjang tahun kemarin, ratusan orang, yang dikenal maupun tidak, berlomba-lomba mendeklarasikan partai baru. Mereka juga bergerilya di daerah-daerah untuk memperluas jaringan partai dari tingkat nasional hingga kecamatan.
Luar biasa. Hingga akhir Desember lalu, Departemen Kehakiman mendaftar resmi 237 partai politik. Meski tidak semuanya bisa terpasang dalam formulir pencoblosan pemilu depan, jumlah ini jauh lebih besar dari pemilu sebelumnya, yang hanya diikuti 148 partai.
Akhir November lalu parlemen sudah merampungkan perangkat Undang-Undang Partai Politik yang bakal digunakan pada 2004, yang sebagian merupakan alat seleksi. Berbagai jerat telah menghadang partai baru. Salah satu hal terpenting adalah menyangkut keuangan partai. Sumber keuangan partai politik, menurut Pasal 17 undang-undang itu, harus berasal dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan anggaran negara.
Sebelumnya, masalah bantuan pemerintah ini sempat menjadi perdebatan sengit di tingkat panitia khusus yang membahas rancangan undang-undang itu. Masalahnya, dalam draf, pemerintah berniat menghapus bantuan dana buat partai dengan alasan ingin menjadikan partai mandiri. Namun, dalam pembahasan di tingkat panitia kerja dan panitia khusus, fraksi-fraksi DPR masih ngotot ingin mempertahankannya. Kesepakatan pun dicapai: pemerintah masih memberi bantuan kepada partai politik yang nantinya mendapatkan kursi di DPR.
Sumbangan pun dibatasi. Perorangan hanya boleh menyumbang Rp 200 juta setahun. Adapun badan usaha dibatasi maksimal Rp 800 juta setahun. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan yang diatur Undang-Undang Nomor 2/1999, yakni Rp 15 juta untuk perorangan dan Rp 150 juta untuk badan usaha.
Saringan lain adalah persyaratan mendirikan partai. Pasal 2 undang-undang baru itu mensyaratkan partai harus memiliki kepengurusan 50 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten di setiap provinsi, dan 25 persen dari jumlah kecamatan di setiap kabupaten. Artinya, dengan asumsi kini ada 30 provinsi dan 415 kabupaten, partai-partai itu harus memiliki kepengurusan di 15 provinsi dan di 208 kabupaten.
Berat? Sejumlah partai baru mengatakan tidak ada masalah dengan syarat kepengurusan itu. Mereka adalah partai baru seperti PPP Reformasi pimpinan dai sejuta umat Zainuddin M.Z., Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) pimpinan Sjahrir, Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK) pimpinan Eros Djarot, atau Partai Pelopor (PP) pimpinan Rachmawati Soekarnoputri. "Syarat ketersebaran itu tak jadi soal," kata Eros.
Soalnya, bagaimana mereka menghidupi partainya, yang tentu terkait dengan kocek dan pundi-pundi masing-masing. Beberapa partai baru tergolong boros dan jor-joran saat melakukan deklarasi, yang sekaligus merupakan promosi peluncuran partai. Partai Demokrat pimpinan Subur Budhisantoso, misalnya, menghabiskan Rp 2 miliar ketika deklarasi pertengahan Oktober lalu.
Dana sebesar itu, kata Subur, dikumpulkan dari hasil patungan para pengurus. "Terpaksa kami saweran," katanya. Di kalangan kepengurusan sendiri, kata dia, ada sumbangan sukarela bulanan minimal besarnya Rp 500 ribu. Untuk daerah disepakati sumbangan Rp 1.000 hingga Rp 5.000.
Partai Pelopor yang dikomandani Rachmawati, adik Presiden Megawati Soekarnoputri, mengaku menghabiskan dana Rp 100 juta untuk deklarasi. Dana itu hasil sumbangan gotong-royong para pengurusnya. Setelah deklarasi, Rachmawati menetapkan pencarian dana untuk sementara digali dari iuran pengurus pusat, yang rata-rata Rp 1 juta per bulan. Sedangkan untuk pengurus daerah diserahkan pada kemampuan daerah masing-masing.
Sumbangan gotong-royong pengurus itu juga diterapkan partai baru seperti PPP Reformasi. Untuk menyewa markas pusatnya yang luasnya kurang lebih 800 meter persegi, menurut Ketua Zainal Ma'arif, partai ini harus merogoh kocek Rp 125 juta per tahun. Belum lagi untuk kebutuhan operasional bulanan yang mencapai Rp 30 juta. Dana sebesar itu didapat dari hasil gotong-royong para pengurus yang diakuinya banyak yang mampu.
Cara penggalian dana yang agak unik dilakukan oleh PIB milik Sjahrir, bekas aktivis 1966. Dideklarasikan pada September tahun lalu, partai itu menerapkan strategi penjaringan dana terbuka. Begitu didirikan, partai itu langsung memasang iklan besar-besaran "Gerakan Rp 100 ribu" di beberapa media massa. Isinya: mengundang para donatur. Gerakan itu, kata Sjahrir, mendapat sambutan luar biasa. "PIB tidak menggantungkan iuran dari anggota yang Rp 10 ribu per bulan," katanya.
Penggalangan dana terbuka seperti itu, Sjahrir tahu, juga menuntut transparansi pengelolaan dana. Itu sebabnya Sjahrir langsung membuka nomor rekening khusus yang diperuntukkan bagi penyumbang partainya, yang terpisah dari rekening partai.
Asal-usul kucuran dana itu memang masih menimbulkan misteri. Sebab, seberapa pun kayanya seorang kader partai, yang selalu disebut-sebut selalu menyumbang untuk partainya, tentu ada batasnya. Tak mengherankan bila kemudian muncul spekulasi, beberapa partai itu dananya berasal dari Keluarga Cendana alias keluarga mantan presiden Soeharto atau para konglomerat hitam. PPP Reformasi, belum lama ini, mendapat tudingan menerima dana dari Cendana. Namun hal ini dibantah Zainal Ma'arif. "Enggak, enggak ada itu," katanya.
PIB-nya Sjahrir memberikan "kelonggaran" kriteria buat penyumbang dari kalangan konglomerat. "Kalau dia nggak pernah dibawa ke pengadilan, mengapa disebut pengusaha hitam?" ujarnya.
Modus penggalangan dana partai baru itu juga berlaku pada partai yang tergolong lama seperti Golkar, PDI Perjuangan, dan PPP. Tentu, mereka yang sudah berkali-kali ikut pemilu itu memiliki seribu satu akal untuk menggalang dana. Tidak selalu enak didengar. Ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP, Tosari Widjaja, misalnya, pernah disebut-sebut ikut menanamkan saham Partai ke PT Alam Raya yang jeblok. Atau langkah Partai Golkar yang turut mengelabui kucuran dana Bulog.
Selain itu, mereka pula yang paling banyak mendapat bantuan dana dari pemerintah. Partai Golkar, misalnya, yang pada Pemilu 1999 memperoleh suara sekitar 25 juta, mendapat bantuan Rp 2,5 miliar per bulan. Sedangkan PDIP, yang mendapat suara 36 juta, menerima bantuan sekitar Rp 3,6 miliar per bulan. Bantuan pemerintah dihitung per kepala Rp 1.000 per bulan.
Meski begitu, Rully Chaerul Azwar, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar, mengakui kini kondisi keuangan partainya mengalami krisis. "Dalam kondisi partai seperti ini, mana ada pengusaha yang mau dekat pada kami?" ujarnya. Karena itu, Golkar lebih banyak mengandalkan bantuan dana pemerintah berjumlah sekitar Rp 2,5 miliar per bulan itu dan dari urunan anggotanya yang duduk di parlemen maupun kursi pejabat eksekutif. Gaji setiap anggota DPR Golkar, kata Rully, dipotong Rp 1 juta per bulan.
PPP dan PDIP sami mawon. Irmadi Lubis, anggota Badan Pemenangan Pemilu partai itu, mengaku selain mengandalkan bantuan dana dari pemerintah yang besarnya Rp 3,6 miliar, partainya juga banyak mengandalkan iuran gotong-royong para kadernya yang ada di badan eksekutif maupun legislatif. Anggota di badan legislatif pusat, kata Irmadi, gajinya dipotong Rp 2 juta. Dari pengusaha? "Setahu saya yang langsung ke partai tak ada," katanya. "Tapi entah kalau lewat orang per orang."
Undang-Undang Parpol memang membatasi jumlah uang yang boleh disumbangkan ke partai. Dan, sayangnya, undang-undang ini tidak mengatur larangan sumbangan bagi para koruptor, baik di lingkungan pejabat maupun pengusaha.
Fajar W.H., Budi Riza (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo