Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus pemaksaan penggunaan jilbab bagi siswi non muslim di SMKN 2 Padang, membuka fakta masih adanya praktek intoleransi di tingkat sekolah di Indonesia. Mendapat banyak kecaman terkait kasus ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan langsung merespons dengan memberi penegasan terkait larangan pembatasan kebebasan beragama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, mengatakan ia telah meminta kepada Pemda setempat, sesuai dengan mekanisme yang berlaku, segera memberi sanksi yang tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat. Bahkan Nadiem memberi ancaman pembebasan jabatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mengantisipasi kejadian serupa terulang, Nadiem pun berjanji akan segera mengambil tindakan pencegahan. Salah satunya, dengan membuka hotline untuk melaporkan tindakan intoleransi di sekolah.
"Sebagai tindakan konstruktif adanya kejadian ini, dalam waktu dekat kami akan mengeluarkan surat edaran dan membuka hotline khusus pengaduan, juga untuk menghindari terulangnya pelanggaran serupa," kata Nadiem dalam keterangannya, Ahad, 24 Januari 2021.
Kasus ini bermula dari video di media sosial yang memperlihatkan percakapan Elianu Hia, orang tua salah satu siswi non muslim, dengan pihak SMK Negeri 2 Padang. Menurut pengakuan Elianu, dirinya dipanggil pihak sekolah karena anaknya, JCH, tidak mengenakan jilbab atau kerudung saat bersekolah.
JCH yang tercatat sebagai siswi Jurusan Otomatisasi dan Tata Kelola Perkantoran (OTKP), keberatan mengenakan jilbab karena bukan muslim. Dalam video tersebut, Elianu berusaha menjelaskan anaknya adalah non muslim, sehingga cukup terganggu dengan keharusan mengenakan jilbab.
Namun pihak sekolah menyebut penggunaan jilbab merupakan aturan. Sehingga menjadi janggal bagi guru dan pihak sekolah kalau ada anak yang tidak mematuhinya. Sebab, di awal masuk sekolah, saat diterima sekolah tersebut, orang tua dan anak sepakat mematuhi peraturan.
Dari informasi yang dihimpun, keluarga JCH pun akhirnya melaporkan ini ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga Komnas HAM. KPAI, menyebut bahwa ini merupakan bentuk intoleransi dan kecenderungan tidak menghargai keberagaman. Jika dibiarkan terus, kejadian ini dapat berpotensi kuat melanggar hak-hak anak.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan hal ini bukan tindakan intoleran yang pertama terjadi di lingkungan sekolah. "Kasus beberapa waktu lalu di mana ada pendidik di SMAN di Depok dan DKI Jakarta yang menyerukan untuk memilih Ketua OSIS yang beragama Islam," kata Retno.
Ia mengingatkan sekolah negeri adalah sekolah pemerintah yang siswanya beragam atau majemuk. Oleh karena itu, sekolah negeri harusnya menyemai keberagaman, menerima perbedaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga ikut merespons kejadian ini. Meski mengapresiasi langkah cepat Nadiem Makarim dalam merespon kasus ini, mereka menilai tanggapan Nadiem belum menyentuh akar permasalahan, yakni masih banyaknya fenomena intoleransi tersebut di tingkat sekolah.
Kabid Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, mengatakan persoalan intoleransi di sekolah (di daerah umumnya) mengandung problematika dari aspek regulasi struktural, sistematik, dan birokratis.
"Kasus intoleransi di sekolah yang dilakukan secara terstruktur bukanlah kasus baru. Dalam catatan kami misal, pernah ada kasus seperti pelarangan jilbab di SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari tahun 2019. Jauh sebelumnya 2014 sempat terjadi pada sekolah-sekolah di Bali. Sedangkan kasus pemaksaan jilbab kami menduga lebih banyak lagi terjadi di berbagai daerah di Indonesia,” ujar Iman.
P2G pun menduga hal ini tak terlepas dari Peraturan Daerah (Perda) setempat yang masih bermuatan intoleran. Dalam kasus SMKN 2 Padang ini, merujuk pada keterangan mantan Walikota Padang Fauzi Bahar, aturan kewajiban menggunakan jilbab sudah berjalan selama 15 tahun. Aturan ini tertuang dalam Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005.
"Artinya ada peran pemerintah pusat, seperti Kemendagri dan Kemendikbud yang mendiamkan dan melakukan pembiaran terhadap adanya regulasi daerah bermuatan intoleransi di sekolah selama ini," kata Iman.
Karena itu, Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G, mendorong Kemendagri untuk memeriksa semua Perda-perda yang potensi intoleran, yang bertentangan dengan Konstitusi dan nilai-nilai Pancasila. Khususnya lagi adalah Perda intoleran yang diimplementasikan terhadap lingkungan sekolah.
"Kemendagri bersama Kemdikbud segera berkoordinasi, lebih proaktif memeriksa aturan daerah dan sekolah yang berpotensi intoleran, tidak hanya dari aspek agama, tetapi juga kepercayaan, suku, budaya, ras, dan kelas sosial ekonomi siswa," ujar eks Wasekjen FSGI tersebut.
Sedangkan bagi KPAI, salah satu langkah konkrit yang bisa dilakukan pemerintah adalah mensosialisasikan Permendikbud nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Di Satuan Pendidikan. Aturan ini dimaksudkan untuk menciptakan kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan, serta menghindarkan semua warga sekolah dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan. Retno mengatakan aturan ini seharusnya digunakan sebagai acuan atau panduan dalam menangani kasus yang terjadi di SMKN 2 Kota Padang.
Dalam pasal 6 huruf (i) aturan tersebut, mengkategorikan tindakan kekerasan termasuk di antaranya adalah "tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan/atau antar golongan (SARA) merupakan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasar kan pada SARA yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan, pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan."
"KPAI mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI untuk meningkatkan sosialisasi Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Di Satuan Pendidikan, secara massif kepada Dinas-Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia," kata Retno.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mengapresiasi langkah awal Nadiem yang langsung merespons kasus intoleran ini. Ia mengatakan pemerintah harus memberikan penekanan bahwa praktik seperti itu tidak dibenarkan kepada seluruh satuan pendidikan.
Kebebasan untuk mempraktikkan ajaran agama sesuai kepercayaan masing-masing, kata Hetifah, adalah hak yang terjamin dalam konstitusi. Politikus Partai Golkar itu pun mengatakan penghormatan terhadap hak ini harus dimulai dari instansi pendidikan negeri.
"Semoga preseden di SMKN 2 Padang menjadi pembelajaran agar hal-hal serupa tidak terjadi lagi," kata Hetifah ketika dihubungi, Ahad malam, 24 Januari 2021.
ANDITA RAHMA | BUDIARTI UTAMI PUTRI | FRISKI RIANA