Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di awal musim semi itu, hujan rintik-rintik di atas Sungai Indus. Di seberang sungai yang lebar ini, orang-orang, rumah-rumah, pohon-pohon terlihat kecil. Indus adalah sungai yang airnya hampir kering setelah tiga bulan musim dingin. Kini kita bisa menyaksikan dasarnya yang berpasir dan tak rata—bagian permukaan yang menonjol dikelilingi bagian yang cekung. Sehingga terbentuklah satu gambaran seperti pulau-pulau kecil di bawah sana.
Keadaannya amat berbeda dengan saat saya mengunjunginya lima tahun silam. Manakala saya melintasi jembatan di atasnya untuk pertama kalinya: saat hujan bulan Oktober lagi gencar-gencarnya mengguyur. Airnya melimpah, menampung hujan dan air dari jauh, dari dataran tinggi Hindu Kush, kiriman Sungai Kabul.
Indus adalah sungai yang memisahkan Provinsi Punjab dan North-West Frontier Province (NWFP). Dan Afganistan, negeri tetangga yang terletak di balik gunung, tidak hanya mengirim air. Saat itu lima juta pengungsi juga membanjiri NWFP. Mereka datang berbondong-bondong setelah bom-bom Amerika memporakporandakan negeri yang saat itu dipimpin Taliban tersebut. Afganistan dipersalahkan telah menyembunyikan gembong teroris Usamah bin Ladin.
NWFP, yang terletak di ujung Pakistan, adalah tempat yang paling mungkin dijangkau para pengungsi Afgan yang kabur dari amuk perang—baik dari selatan maupun timur negerinya. Apalagi mayoritas warga NWFP sama dengan mayoritas penduduk Afganistan selatan dan timur: orang Pashtun. Bahkan jumlah orang suku Pashtun di Pakistan jauh lebih banyak (sekitar 28 juta) dibanding yang masih di Afganistan (13,6 juta).
Sebelum 1893, NWFP bagian dari Afganistan; dan Sungai Indus adalah tapal batas antara Afganistan dan Pakistan (saat itu masih menjadi satu dengan India, di bawah Inggris). Dan Raja Abdur Rahman dari Afgan pada 1893 ”meminjamkan” sebagian tanah Pashtun itu kepada Inggris untuk dikembalikan seratus tahun kemudian. Nah, setiap kali perang berkecamuk, ke sepotong tanah Pashtun yang belum dikembalikan oleh Pakistan itulah orang-orang Pashtun Afganistan bergerak. Dan itu terjadi pada saat invasi Uni Soviet 1979-1989, perang saudara pada pertengahan 1990-an, dan terakhir saat Amerika menyerang negeri Taliban itu setelah serangan 11 September.
Lima tahun lalu, dunia itu terasa pengap, tanpa masa depan. Di sepanjang jalan antara jembatan Sungai Indus dan Peshawar, ibu kota NWFP, pengungsi terserak di pinggir jalan; mendirikan tenda sekenanya dari kain perempuan warna-warni. Di Peshawar, mereka memadati terowongan penyeberangan dan trotoar. Orang tumpah di jalan, seakan tak ada tempat kosong lagi di kolong langit itu. Di selasar masjid, perempuan mereka yang berburka meminta belas kasihan, sambil membawa anak mereka yang kumal. Laki-laki mereka yang bertopi wol, dengan tatapan kosong, berjualan apa saja di emper toko.
Saat itu Kota Peshawar begitu mencekam. Semua orang berbicara tentang perang, keluarga yang hilang, pengeboman, Al-Qaidah, dan pesawat-pesawat Amerika. Ada banyak pos penjagaan berdiri; penjaganya bertanya apa saja untuk memastikan setiap orang punya urusannya sendiri, selain soal perang.
Ketegangan juga merambat di Pearl Continental Hotel. Hampir semua wartawan asing yang ingin menyeberang ke Afganistan menginap di sini. Tempat ini lebih mirip sebuah posko perang daripada hotel bintang lima yang benar-benar mewah. Tak ada yang tersenyum. Ketika mulut terbuka, yang keluar adalah pertanyaan: ada berapa bom yang meledak hari ini? Berapa korbannya? Apakah Usamah sudah menyerah?
Dulu saya datang ke sini bukan untuk menginap. Kami—saya dan sejumlah teman bersuku Pashtun—datang larut malam, menuju atap, menemui seorang pemimpin perang yang sedang diwawancarai televisi Eropa. Ia berjenggot tebal, diwawancarai di bawah tenda putih besar. Tak ada orang di atas atap itu kecuali kru televisi asing, rombongan kami yang terdiri atas tiga orang, dan sang pemimpin perang. Malam itu, kami menemuinya supaya keselamatan kami di Afganistan terjamin.
Tapi izin itu ternyata tak berguna. Taliban menutup rapat perbatasannya. Kami harus mendaki salah satu puncak Hindu Kush untuk sampai di Afganistan, tanpa izin dari siapa pun. Dari puncak terlihat puncak-puncak lain yang berlapis-lapis hingga menutupi cakrawala. Tak aneh mengapa semua penakluk, dari Alexander Agung, Timur Lenkh, hingga Inggris, gagal menaklukkan negeri di balik gunung itu. Benteng alam ini terlalu tangguh.
Sejak awal abad ke-20, Pashtun selalu menjadi pelanduk di antara negara-negara besar yang berperang, yang berebut pengaruh dan kepentingan. Mereka dikenal sebagai bangsa pemberani, tak bisa ditaklukkan para penguasa. Alexander Agung, Timur Lenkh, Aurangzeb, dan sejumlah nama besar lain pernah mampir di tebing-tebing terjal Hindu Kush, tapi tak pernah benar-benar menguasainya. Paling banter, mereka mendirikan benteng-benteng kukuh, berlindung dari serangan suku Pashtun yang bisa datang kapan saja. Hingga kini, kita masih bisa menyaksikan benteng Timur Lenkh di salah satu puncak Hindu Kush, tepat pada gerbang perbatasan Pakistan-Afganistan.
Tapi Hindu Kush adalah gunung batu yang angkuh, bukan seperti Sungai Indus yang terus berubah. Ia telah ditakdirkan menjadi penggoda para penguasa untuk menaklukkannya. Ia akan tetap begitu. Masalah di Afganistan belum tuntas. Masih banyak bara yang belum padam. Perang dan penaklukan akan tetap di sini. Seperti benteng Timur Lenkh yang masih berdiri di salah satu puncak bukitnya.
Lima tahun berlalu, semua sudah berubah, kecuali Sungai Indus. Airnya belum melimpah. Tapi gerimis sudah cukup untuk menyingkirkan debu. Alam terlihat segar dan cantik setelah itu. Dari jembatan di atas Indus, kita bisa melihat Benteng Attock peninggalan Akbar, penguasa Moghul dari India yang gagal menaklukkan Afganistan.
Hari itu, di siang yang gerimis itu, Usamah bin Ladin berulang tahun. Semua tahu, lelaki yang berjenggot itu genap setengah abad. Tapi entah di mana dia sekarang. Lima tahun setelah perang, tak ada yang peduli. Ulang tahunnya hanya menjadi berita kecil di sudut halaman koran lokal.
Orang-orang Pashtun di NWFP yang lima tahun lalu membanggakannya dan berani mati untuknya juga tak lagi berbicara tentang Usamah. ”Orang sekarang lebih tertarik untuk mencari penghasilan yang layak,” kata Firuz, pengungsi Afganistan berusia 19 tahun yang tak ingin lagi kembali ke negerinya. Ia berbicara di bengkel mobilnya di depan kamp pengungsian Katchi Garhi, yang rumah-rumahnya dibuat dari lumpur, 20 kilometer di luar Peshawar. Sebagian besar dari 50 ribu pengungsi di kamp itu berpenghasilan kurang dari US$ 1,5 per hari.
Meski perang sudah berlalu, masih ada sekitar tiga juta pengungsi di provinsi yang berpenduduk 21 juta orang itu. Dan mereka bukan pelintas batas seperti dulu; mereka menetap. Banyak yang sudah beranak-cucu di wilayah itu. Bahkan merekalah yang menggerakkan ekonomi Peshawar. Toko-toko besar dan pusat belanja mereka kuasai. Maklum, mereka memiliki akses untuk mendapatkan barang-barang yang diselundupkan dari Afganistan.
Perang memang sudah selesai, meski untuk sementara waktu. Pengungsi tak lagi menjejali jalanan. Kini kota itu jauh lebih beradab. Tak ada lagi gelandangan, pengungsi, dan pengemis yang berkeliaran. Jalanan juga tak lagi dipenuhi oleh manusia. Mobil bisa berjalan dengan kecepatan normal. Topik pembicaraan yang hangat adalah pertandingan Piala Dunia Kriket di Jamaika. Kriket olahraga paling populer di Pakistan dan Afganistan.
Kini, di Pearl Continental Hotel, yang datang adalah para tamu perlente yang menyewa kamar-kamar mewah. Malam itu, sepasang pengantin turun dari mobil mewah. Yang perempuan cantik dengan pakaian pengantin ala Barat berpundak terbuka. Yang pria gagah, berjas putih, flamboyan. Ada bunga warna jambon di saku depannya. Mereka banyak tersenyum.
Malam itu saya kembali ke atap hotel. Tapi keadaannya sungguh berbeda. Tenda-tenda putih itu tetap terpasang di lantai atap yang terbuka. Tapi di bawahnya penuh meja santap. Di pinggir atap itu sajian prasmanan yang meneteskan air liur sudah tersedia: kambing guling, kebab, berbagai sup, makanan pencuci mulut, dan buah-buahan. Semuanya disajikan seperti hidangan para raja. Juga teh hijau yang panas dan menyegarkan tenggorokan. Pemain sitar dan penabuh gendang memainkan lagu dari film-film India yang rancak. Semua orang tertawa.
Sambil bersantap, kami berbicara di bawah tenda. Masih tentang Afganistan. Tapi kali ini bukan dengan seorang komandan perang berjenggot tebal, melainkan dengan seorang pengungsi Pashtun yang mirip aktor Hollywood Nicholas Cage, bercukur rapi, dan memakai setelan jas. ”Kamu tahu,” katanya sambil mengunyah pencuci mulut yang legit, ”pengungsi yang kini tersisa di NWFP tidak ada yang ingin pulang. Kami tak tahu apa yang akan kami kerjakan di sana. Kami juga tak tahu kapan perang benar-benar berhenti.”
Seperti kisah lima tahun lalu, keesokan harinya kami ke perbatasan Afganistan, meski bukan untuk memasuki negeri itu. Membelah lembah-lembah Hindu Kush, diapit oleh tebing-tebing cadas Khyber Pass yang ganas. Pintu perbatasan tak lagi ditutup. Zaman sudah berubah. Truk-truk berseliweran, perdagangan Afganistan-Pakistan semakin hidup, dan ekonomi mulai menggeliat.
Qaris Tajudin (Peshawar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo