Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMENTARA para turis mengunyah hidangan dari di restoran
hotel-hotel kelas satu, kelaparan sedang menyerang beberapa
kawasan Pulau Bali. Beritanya hampir tak terdengar. Hampir
selalu luput dari perhatian karena terdesak kampanya
pariwisata. Namun ketika Radio Australia menyiarkan
kejadian ini pertengahan bulan lalu, yang terperanjat agaknya
justru pejabat-pejabat setempat. Barangkali hanya I Wayan
staat Darmanaba, Bupati Tabanan yang merasa agak lega dengan
tersebarnya berita tadi. Lebih-lebih setelah usahanya untuk
mengusulkan agar kelaparan yang menyerang Tabanan, kabupaten
yang terparah dinyatakan sebagai bencana alam nasional, tak
disetujui pejabat Propinsi Bali. Dengan alasan: akan kurang
baik akibatnya bagi penyelenggaraan KTT Asean yang tak lama lagi
akan berlangsung di pulau itu. Putu Setia dari TEMPO, setelah 3
hari menjelajahi Kabupaten Tabanan, menurunkan laporannya
berikut ini:
Kabupaten Tabanan sering disebut sebagai gudang beras untuk
propinsi ini. Angka-angka membenarkannya, ketika tahun 1974
Bali mencatat kelebihan produksi beras sebanyak 60.000 ton.
Tapi sepanjang tahun berikutnya wereng mulai menghama di
pematang-pematang sawah para petani. Oktober 1975, Badan
Pelaksana Bima Propinsi Bali masih memperkirakan dari kebutuhan
beras sebanyak 321.570 ton tahun itu, paling-paling hanya mampu
dihasilkan 319.600 ton saja. Dan benar juga. Pada musim tanam di
ujung tahun itu juga, dua kali panen gagal total. Tak sebulir
padi pun sempat terpetik terutama di kawasan desa pinggiran
pantai. Di Kecamatan Slemadeg, petani yang gagal ini masih
ertolong oleh kebun kelapa. Begitu pula hasil kopi dan sayur
mayur masih memadatkan isi perut petani di Kecamatan Pupuan dan
Penebel. Tapi di Kecamatan Kerambitan, Kecamatan Tabanan dan
Kecamatan Kediri yang petaninya tak hanya kerja sambilan --
tentu benar-benar mulai prihatin. Apalagi karena sisa padi di
lumbung dan panen tahun I974 hanya sedikit lagi sebagian besar
sudah dijual memenuhi anjuran pemerintah.
Semua keprihatinan ini pada mulanya masih mereka tutup-tutupi,
agar tak tercium ke luar, karena malu sebagai daerah bekas
gudang beras. Tapi meledak juga. Pertama kali Desa Kelating,
desa pinggiran pantai, 35 km dari Denpasar. Kepala Desa dan
Lembaga Sosial Desa (LSI)) Kelating tanggal 30 Desember tahun
lalu melaporkan bahaya kelaparan itu. Dalam laporan ini
dicantumkan, dari 415 KK warga desa sebanyak 14 KK dengan
perincian 354 dewasa dan 385 anak-anak -- menderita kekurangan
makanan. Laporan ini segera ditanggapi Pemda Tahanan, dan
langsung Kepala Desa Kelating Ketut Wirya, (37 tahun) dipanggil
Bupati. Kesempatan ini dipakai oleh Kepala Desa memberi
perincian lebih jelas secara lisan. Bupati Tabanan besoknya
mengirim beras sebanyak 200 kg ke Desa Kelating. Menurut
penuturan Ketut Wirya kepada TEMPO minggu lalu, bantuan
pertama itu menjadi rebutan. Angka 148 KK dalam laporan LSD
sesungguhnya diartikan yang "terpayah" sedang yang mengharap
bantuan hampir semua KK yang 415 itu. Dan bantuan pun datang
dari sebanyak 150 kg dan 250 kg dari Kabupaten. Bantuan
propinsi tiba 1.825 kg beras. Dari BKIA dan Puskesmas Kerambitan
masing-masing 18 kg dan 6 kg susu saridele. Semua itu tertanggal
10 Januari.
Berita bantuan itu menjalar. Laporan dari desa sekitarnya
menyusul. Desa Penarukan, tetangga Desa Kelating cepat pula
melaporkan 5 KK Desanya yang parah. Bantuan dari Kabupaten
Tabanan datang 600 kg. Menyusul lagi Desa Tista sebanyak 59 KK
(241 jiwa), Desa Timpag, Desa Kerambitan sendiri yang jumlahnya
masih daIam proses. Kemudian Kepala Desa Penarukan Nyoman Corda
menyusulkan lagi laporan dengan menambah 60 KK. Laporan yang
saling susul-menyusul ini berakhir pada suatu angka yang
mengagetkan Bupati Staat Darmanaba. Lima belas Desa di Kecamatan
Kerambitan dengan 5.909 KK atau 35.263 jiwa terancam bahaya
kelaparan.
Bukan Beras
Bupati Staat Darmanaba tambah pusing lagi. Persediaan uang untuk
beIi beras terbatas, bantuan kalangan swasta misalnya belum
tampak, sementara laporan kekurangan makanan mengalir terus, 16
Januari, LSD Buwit Kecamatan Kediri mengirimkan "tanda bahaya".
Surat laporan ditanda-tangani pengurus lengkap LSD plus Kepala
Desa Nyoman Suweg. Seluruh penduduk Desa Buwi yang berjumlah
144 KK -- terdiri 336 dewasa dan 368 anak-anak -- dimasukkan
dalam "terancam bahaya kelaparan". Sebuah team dari Kabupaten
Tabanan yang di dalamnya ada unsur Jawatan Sosial, PMI, Dokabu
dan lainnya mengadakan pemeriksaan, 21 Januari. "Ternyata
semuanya terancam bencana kekurangan makan bahkan ada 9 orang
lagi yang belum termasuk catatan Kepala Desanya", kata Wakil
Camat Kediri, Nyoman Sedana BA, pada TEMPO. Bantuan terbatas
diberikan 23 Januari sebanyak 200 kg. Besoknya menyusul lagi 250
kg. "Mungkin menyusul lagi kalau ada persediaan beras. karena
Team beranggapan Desa Buwi trmasuk parah", tambah Nyoman Sedana
BA. Kata parah memang telah disepakati untuk dipergunakan oleh
pejabat-pejabat di Kabupaten Tabanan untuk menggantikan kata
kelaparan.
Tetangga Desa Buwit yaitu Desa Ccpaka oleh Team dinilai cukup
parah juga. Kedua Desa ini berbatasan dengan Desa Munggu
(Kabupaten Badung) yang paling dulu berteriak lapar. Bahkan
petugas pertanian Kecamatan Kediri agak ragu-ragu tentang
berhasilnya panen bulan Maret mendatang di kedua desa itu.
Tanaman padinya kini terbakar pula oleh wereng. Yang heran, kata
Nyoman BA, LSD Cepaka belum melaporkan situasi desanya. Di
Kecamatan Tabanan meletus juga adanya bencana parah. Di Br. Yeh
Gangga Desa Sudimara dilaporkan persediaan makanan sudah habis.
Di sini yang dimaksud "persediaan makanan" bukan lagi beras tapi
bulung (rumput laut), ketela, bungkil pohon pisang, inti pohon
pepaya dan sayur-sayuran.
Meletusnya laporan berbagai desa di tiga kecamatan, yaitu
Kerambitan, Kediri dan Tabanan sudah pasti merupakan beban yang
terlalu berat untuk diatasi oleh Kabupaten Tabanan sendiri.
Sekwilda Tahanan Ida Bgs. Mastra yang dihubungi TEMPO Senin lalu
tidak mau bicara mengenai kasus bencana kurang makanan ini. "Ada
konsensus di pihak kami, hanya Bupati yang berhak memberi
keterangan pers mengenai kasus bencana ini", katanya. Namun
Sekwilda mengakui daerahnya memang parah dan perlu ada
pertolongan berbagai pihak. Bupati Staat Darmanaba belakangan
ini lebih sering terjun ke desa-desa hingga agak sulit ditangkap
wartawan. Sedang aparat bawahannya cukup berhati-hati bicara
setelah Radio Australia menyiarkan berita itu.
Menunggu Maret
Padi di Kecamatan Kerambitan saat ini sedang menguning. Maret
depan kalau dikehendaki oleh Hyang Widhi begitu ucapan petani
Desa Penarukan -- padi itu siap dipanen. Artinya mulai bulan itu
bencana praktis akan berakhir. lnipun kalau gempuran wereng
berhenti sampai di sini. Sebelum Maret? Inilah soal pelik yang
dihadapi. Petani yang sudah biasa makan ketela, persediaannya
telah habis. Mengalihkan pada kehidupan lain, turun ke laut
misalnya, tak ada keahlian mereka. Membuat garam untuk desa
pinggiran pantai terbentur pada peralatan dan keadaan pantai itu
sendiri. Dalam keadaan seperti ini orang dewasa sudah rutin
makan sayur saja, atau 2 hari tak ketemu nasi. Ini terjadi
hampir di sebagian Kecamatan Kerambitan. Walaupun makanan petani
sudah jauh dari keadaan normal, dokter Puskesmas Kerambitan dr.
Johannes D. belum pernah menerima pasien yang H.O. "Dalam arti
saya sendiri belum ceking ke desa-desa, maklum masyarakat belum
banyak tahu fungsi Puskesmas" kata dokter asal Surabaya itu.
Di Br. Yeh Gangga Kec. Tabanan, persediaan makanan habis. Laut
terus pasang dan angin kencang. Lengkaplah sudah gejala-gejala
nasib sial. Buat bertahan, warga petani memanfaatkan sayur mayur
dengan sedikit dicampur beras. Seorang petugas kesehatan yang
pernah meninjau desa itu mengatakan kekuatirannya. Dedaunan yang
dimakan itu konon mengandung cellulose yang mengakibatkan
kontraksi usus dan dapat menyebabkan mencret. Dan ini sudah
dialami mereka. "Kalau makan dedaunan itu menyebabkan mencret,
apa harus makan tanah?" kata seorang petani di pinggir pantai
Yeh Gangga.
Di Kecamatan Kediri, Petani yang prihatin ini banyak yang pergi
memburuh ke Denpasar pada pemborong bangunan. Tetapi yang
tersedot, kebanyakan wanita karena mereka dibayar lebih murah.
Sedang di obyek pariwisata Tanah Lot, anak-anak lelaki yang
gesit menjual barang kerajinan tanah liat dari Desa Pejatan. Dan
selama musim hujan ini beberapa saja orang tua tersedot dengan
pekerjaan baru mendorong mobil dari tempat parkir yang licin
itu. Dari semua ini dengan mudah pertanyaan ini akan terjawab:
bagaimana kalau panen bulan Maret nanti gagal?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo