Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Parah, Artinya Mereka Kelaparan

Kecamatan kerambitan, kediri dan tabanan di bali dalam keadaan parah, akibat serangan wereng. Semula pejabat propinsi bali menutupi peristiwa ini, tapi jebol juga, kelaparan menyerang.

14 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMENTARA para turis mengunyah hidangan dari di restoran hotel-hotel kelas satu, kelaparan sedang menyerang beberapa kawasan Pulau Bali. Beritanya hampir tak terdengar. Hampir selalu luput dari perhatian karena terdesak kampanya pariwisata. Namun ketika Radio Australia menyiarkan kejadian ini pertengahan bulan lalu, yang terperanjat agaknya justru pejabat-pejabat setempat. Barangkali hanya I Wayan staat Darmanaba, Bupati Tabanan yang merasa agak lega dengan tersebarnya berita tadi. Lebih-lebih setelah usahanya untuk mengusulkan agar kelaparan yang menyerang Tabanan, kabupaten yang terparah dinyatakan sebagai bencana alam nasional, tak disetujui pejabat Propinsi Bali. Dengan alasan: akan kurang baik akibatnya bagi penyelenggaraan KTT Asean yang tak lama lagi akan berlangsung di pulau itu. Putu Setia dari TEMPO, setelah 3 hari menjelajahi Kabupaten Tabanan, menurunkan laporannya berikut ini: Kabupaten Tabanan sering disebut sebagai gudang beras untuk propinsi ini. Angka-angka membenarkannya, ketika tahun 1974 Bali mencatat kelebihan produksi beras sebanyak 60.000 ton. Tapi sepanjang tahun berikutnya wereng mulai menghama di pematang-pematang sawah para petani. Oktober 1975, Badan Pelaksana Bima Propinsi Bali masih memperkirakan dari kebutuhan beras sebanyak 321.570 ton tahun itu, paling-paling hanya mampu dihasilkan 319.600 ton saja. Dan benar juga. Pada musim tanam di ujung tahun itu juga, dua kali panen gagal total. Tak sebulir padi pun sempat terpetik terutama di kawasan desa pinggiran pantai. Di Kecamatan Slemadeg, petani yang gagal ini masih ertolong oleh kebun kelapa. Begitu pula hasil kopi dan sayur mayur masih memadatkan isi perut petani di Kecamatan Pupuan dan Penebel. Tapi di Kecamatan Kerambitan, Kecamatan Tabanan dan Kecamatan Kediri yang petaninya tak hanya kerja sambilan -- tentu benar-benar mulai prihatin. Apalagi karena sisa padi di lumbung dan panen tahun I974 hanya sedikit lagi sebagian besar sudah dijual memenuhi anjuran pemerintah. Semua keprihatinan ini pada mulanya masih mereka tutup-tutupi, agar tak tercium ke luar, karena malu sebagai daerah bekas gudang beras. Tapi meledak juga. Pertama kali Desa Kelating, desa pinggiran pantai, 35 km dari Denpasar. Kepala Desa dan Lembaga Sosial Desa (LSI)) Kelating tanggal 30 Desember tahun lalu melaporkan bahaya kelaparan itu. Dalam laporan ini dicantumkan, dari 415 KK warga desa sebanyak 14 KK dengan perincian 354 dewasa dan 385 anak-anak -- menderita kekurangan makanan. Laporan ini segera ditanggapi Pemda Tahanan, dan langsung Kepala Desa Kelating Ketut Wirya, (37 tahun) dipanggil Bupati. Kesempatan ini dipakai oleh Kepala Desa memberi perincian lebih jelas secara lisan. Bupati Tabanan besoknya mengirim beras sebanyak 200 kg ke Desa Kelating. Menurut penuturan Ketut Wirya kepada TEMPO minggu lalu, bantuan pertama itu menjadi rebutan. Angka 148 KK dalam laporan LSD sesungguhnya diartikan yang "terpayah" sedang yang mengharap bantuan hampir semua KK yang 415 itu. Dan bantuan pun datang dari sebanyak 150 kg dan 250 kg dari Kabupaten. Bantuan propinsi tiba 1.825 kg beras. Dari BKIA dan Puskesmas Kerambitan masing-masing 18 kg dan 6 kg susu saridele. Semua itu tertanggal 10 Januari. Berita bantuan itu menjalar. Laporan dari desa sekitarnya menyusul. Desa Penarukan, tetangga Desa Kelating cepat pula melaporkan 5 KK Desanya yang parah. Bantuan dari Kabupaten Tabanan datang 600 kg. Menyusul lagi Desa Tista sebanyak 59 KK (241 jiwa), Desa Timpag, Desa Kerambitan sendiri yang jumlahnya masih daIam proses. Kemudian Kepala Desa Penarukan Nyoman Corda menyusulkan lagi laporan dengan menambah 60 KK. Laporan yang saling susul-menyusul ini berakhir pada suatu angka yang mengagetkan Bupati Staat Darmanaba. Lima belas Desa di Kecamatan Kerambitan dengan 5.909 KK atau 35.263 jiwa terancam bahaya kelaparan. Bukan Beras Bupati Staat Darmanaba tambah pusing lagi. Persediaan uang untuk beIi beras terbatas, bantuan kalangan swasta misalnya belum tampak, sementara laporan kekurangan makanan mengalir terus, 16 Januari, LSD Buwit Kecamatan Kediri mengirimkan "tanda bahaya". Surat laporan ditanda-tangani pengurus lengkap LSD plus Kepala Desa Nyoman Suweg. Seluruh penduduk Desa Buwi yang berjumlah 144 KK -- terdiri 336 dewasa dan 368 anak-anak -- dimasukkan dalam "terancam bahaya kelaparan". Sebuah team dari Kabupaten Tabanan yang di dalamnya ada unsur Jawatan Sosial, PMI, Dokabu dan lainnya mengadakan pemeriksaan, 21 Januari. "Ternyata semuanya terancam bencana kekurangan makan bahkan ada 9 orang lagi yang belum termasuk catatan Kepala Desanya", kata Wakil Camat Kediri, Nyoman Sedana BA, pada TEMPO. Bantuan terbatas diberikan 23 Januari sebanyak 200 kg. Besoknya menyusul lagi 250 kg. "Mungkin menyusul lagi kalau ada persediaan beras. karena Team beranggapan Desa Buwi trmasuk parah", tambah Nyoman Sedana BA. Kata parah memang telah disepakati untuk dipergunakan oleh pejabat-pejabat di Kabupaten Tabanan untuk menggantikan kata kelaparan. Tetangga Desa Buwit yaitu Desa Ccpaka oleh Team dinilai cukup parah juga. Kedua Desa ini berbatasan dengan Desa Munggu (Kabupaten Badung) yang paling dulu berteriak lapar. Bahkan petugas pertanian Kecamatan Kediri agak ragu-ragu tentang berhasilnya panen bulan Maret mendatang di kedua desa itu. Tanaman padinya kini terbakar pula oleh wereng. Yang heran, kata Nyoman BA, LSD Cepaka belum melaporkan situasi desanya. Di Kecamatan Tabanan meletus juga adanya bencana parah. Di Br. Yeh Gangga Desa Sudimara dilaporkan persediaan makanan sudah habis. Di sini yang dimaksud "persediaan makanan" bukan lagi beras tapi bulung (rumput laut), ketela, bungkil pohon pisang, inti pohon pepaya dan sayur-sayuran. Meletusnya laporan berbagai desa di tiga kecamatan, yaitu Kerambitan, Kediri dan Tabanan sudah pasti merupakan beban yang terlalu berat untuk diatasi oleh Kabupaten Tabanan sendiri. Sekwilda Tahanan Ida Bgs. Mastra yang dihubungi TEMPO Senin lalu tidak mau bicara mengenai kasus bencana kurang makanan ini. "Ada konsensus di pihak kami, hanya Bupati yang berhak memberi keterangan pers mengenai kasus bencana ini", katanya. Namun Sekwilda mengakui daerahnya memang parah dan perlu ada pertolongan berbagai pihak. Bupati Staat Darmanaba belakangan ini lebih sering terjun ke desa-desa hingga agak sulit ditangkap wartawan. Sedang aparat bawahannya cukup berhati-hati bicara setelah Radio Australia menyiarkan berita itu. Menunggu Maret Padi di Kecamatan Kerambitan saat ini sedang menguning. Maret depan kalau dikehendaki oleh Hyang Widhi begitu ucapan petani Desa Penarukan -- padi itu siap dipanen. Artinya mulai bulan itu bencana praktis akan berakhir. lnipun kalau gempuran wereng berhenti sampai di sini. Sebelum Maret? Inilah soal pelik yang dihadapi. Petani yang sudah biasa makan ketela, persediaannya telah habis. Mengalihkan pada kehidupan lain, turun ke laut misalnya, tak ada keahlian mereka. Membuat garam untuk desa pinggiran pantai terbentur pada peralatan dan keadaan pantai itu sendiri. Dalam keadaan seperti ini orang dewasa sudah rutin makan sayur saja, atau 2 hari tak ketemu nasi. Ini terjadi hampir di sebagian Kecamatan Kerambitan. Walaupun makanan petani sudah jauh dari keadaan normal, dokter Puskesmas Kerambitan dr. Johannes D. belum pernah menerima pasien yang H.O. "Dalam arti saya sendiri belum ceking ke desa-desa, maklum masyarakat belum banyak tahu fungsi Puskesmas" kata dokter asal Surabaya itu. Di Br. Yeh Gangga Kec. Tabanan, persediaan makanan habis. Laut terus pasang dan angin kencang. Lengkaplah sudah gejala-gejala nasib sial. Buat bertahan, warga petani memanfaatkan sayur mayur dengan sedikit dicampur beras. Seorang petugas kesehatan yang pernah meninjau desa itu mengatakan kekuatirannya. Dedaunan yang dimakan itu konon mengandung cellulose yang mengakibatkan kontraksi usus dan dapat menyebabkan mencret. Dan ini sudah dialami mereka. "Kalau makan dedaunan itu menyebabkan mencret, apa harus makan tanah?" kata seorang petani di pinggir pantai Yeh Gangga. Di Kecamatan Kediri, Petani yang prihatin ini banyak yang pergi memburuh ke Denpasar pada pemborong bangunan. Tetapi yang tersedot, kebanyakan wanita karena mereka dibayar lebih murah. Sedang di obyek pariwisata Tanah Lot, anak-anak lelaki yang gesit menjual barang kerajinan tanah liat dari Desa Pejatan. Dan selama musim hujan ini beberapa saja orang tua tersedot dengan pekerjaan baru mendorong mobil dari tempat parkir yang licin itu. Dari semua ini dengan mudah pertanyaan ini akan terjawab: bagaimana kalau panen bulan Maret nanti gagal?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus