Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pemberontak di Unit Nomor 2

Keluarga pengebom Surabaya terhubung lewat "pengajian". Memaksa anak-anaknya menjadi teroris.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEDIAMAN Dita Oepriarto di Perumahan Wisma Indah, Jalan Wonorejo Asri, Surabaya, belakangan rutin dikunjungi rombongan tamu yang sama setiap Ahad. Tetamu itu keluarga Anton Ferdiantono, yang datang dari Wonocolo, Sidoarjo, kota tetangga Surabaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anton, 47 tahun, selalu mengajak istrinya, Sari Puspitarini, yang dia nikahi 19 tahun lalu. Tiga anak Anton, yakni HA, 17 tahun, AR (15), dan FP (11), juga ikut dalam rombongan. "Kami datang bakda magrib," kata AR kepada polisi, Selasa pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiba di rumah Dita, yang menurut para tetangga harganya di atas Rp 1 miliar, Anton sekeluarga sudah dinanti. Menurut AR, keluarga Dita selalu lengkap menyambut mereka. Selain Dita, 46 tahun, dan istrinya, Puji Kuswati (42), ada keempat anaknya, yaitu YF (17), FH (15), FS (12), dan FR (8).

Keluarga Anton bukan satu-satunya rombongan yang kerap bertamu. Beberapa kali ada keluarga lain yang ikut meriung. Seingat AR, kepala keluarga itu bernama Bondan dan istrinya bernama Erna. Bondan dan Erna juga memboyong tiga anak yang sepantar dengannya. "Acaranya pengajian," ujar AR.

"Pengajian" tiga keluarga itu kemudian membentuk kelompok-kelompok kecil. Dita, Anton, dan Bondan berkumpul sendiri dengan Dita sebagai mentor. Sedangkan Puji mengajari Sari dan Erna. Anak-anak mereka disuruh menonton cuplikan tayangan bom bunuh diri di Prancis dan serangan teror di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada Januari 2016. "Kami didoktrin bahwa kalau mati akan ke surga dan orang kafir akan ke neraka," kata AR.

Sepulang pengajian dari rumah Dita, Anton yang sehari-hari menjajakan kue keliling ke warung-warung kopi itu terus menjejali istri dan anaknya dengan doktrin "jihad". HA, putri sulungnya, ikut terpapar.

Sebulan sebelum bom rakitan Anton meledak di unit nomor 2 lantai 5 Rumah Susun Wonocolo, Sidoarjo, penampilan HA berubah. "Biasanya cuma pakai jilbab, tapi kemudian belanja sayur saja pakai cadar," tutur Kasmadi, penghuni rumah susun.

AR justru merasa sebal sejak ayahnya ikut pengajian di rumah Dita. Apalagi ketika bapaknya makin agresif mengajak mati "syahid". Sementara AR mengamuk karena tak mau mengikuti perintah Anton, adiknya, FP, yang tak bersekolah, terseret ucapan sang bapak.

Suatu ketika, AR melihat Anton membeli pipa, kira-kira seukuran 1 dim-sekitar 2,5 sentimeter. Dalam kantong belanja, ada juga baterai dan penutup pipa. AR juga menyaksikan ibunya membantu Anton membuat rompi. Modelnya seperti rompi pada umumnya, tapi dengan kantong besar di tengah pakaian itu.

Sebelum digunakan dalam serangan teror, bom rakitan itu meledak di dalam kamar pada Ahad malam pekan lalu. Sari dan HA, yang saat itu berada di kamar, tewas seketika. Anton terkapar di antara pintu kamar dan ruang tamu. Di sisinya, masih ada bom rakitan yang tergeletak di atas koper. "Ketika saya masuk, napas Anton masih terengah-engah," kata Kasmadi, tetangganya. "Ia sekarat."

AR selamat. Ia tinggal bersama neneknya di unit nomor 5, di lantai yang sama dengan unit yang ditinggali ayah-ibunya. AR minggat ke unit neneknya karena marah kepada Anton, yang terus-menerus mengajak "berjihad". "Ia berontak," kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, yang membesuk AR, Jumat pekan lalu.

l l l

DI perumahan Dita, pengajian saban Ahad itu tak diketahui para tetangga. "Tak pernah terlihat ada kumpul-kumpul," kata Andi Yunarto. Rumah Andi berselang satu rumah dari tempat tinggal Dita.

Tamu rutin keluarga Dita yang terpantau tetangga adalah pemasok bahan baku minyak kemiri, usaha rumahan Dita yang dipasarkan lewat Internet. Ketua rukun tetangga setempat, Khorihan, kerap melihat sebuah minibus berhenti di depan rumah Dita dan sopirnya menurunkan muatan. "Bahan bakunya seperti serbuk," ujarnya.

Bisnis minyak kemiri menopang ekonomi keluarga Dita. Setiap kali ia membuat varian baru, Puji, sang istri, tak sungkan memberikannya ke tetangga secara cuma-cuma. "Istri saya dikasih gratis," kata Andi, tetangga Dita yang beragama Nasrani dan keturunan Tionghoa.

Puji aktif pula mengikuti arisan. Ia juga tak menolak diberi tugas mengelola keuangan kelompok pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK).

Sementara Puji aktif bergaul, Dita malah jarang ke luar rumah. Khorihan pernah dibuat kesal oleh Dita karena urusan administrasi. Dita rupanya tak pernah menyerahkan salinan akta kelahiran dua putranya kepada Khorihan, ketua RT.

Pada awal 2018, pemerintah mengeluarkan imbauan pemutihan akta kelahiran. Bermaksud meminta salinan akta kepada Dita, Khorihan pulang dengan tangan hampa pada kesempatan pertama. Bulan berikutnya, Khorihan menitipkan pesan kepada YF, anak Dita, mengenai permintaan salinan akta. Tetap saja Dita tak mampir ke rumah Khorihan.

Menduga pesannya lewat YF tak sampai, Khorihan kembali mengunjungi rumah Dita. Tapi Khorihan tak masuk ke rumah. Ia berteriak dari luar pagar. "Pak Dita, kalau akta anaknya sudah ketemu, tolong diantar ke rumah saya," kata Khorihan ketika itu. Namun, "Salinan akta tak pernah diserahkan sampai sekarang."

Sisi lain keluarga Dita diungkapkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Menurut Risma, salah seorang anak Dita pernah mengutarakan cita-cita yang janggal. "Ingin mati syahid," kata Risma, Senin pekan lalu. Bahkan anak tersebut menolak mengikuti pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Ia pun enggan menjalani upacara bendera.

Satu-satunya kegiatan Dita yang terlihat tetangga hanya salat berjemaah di Musala Al-Ikhlas-dua menit berjalan kaki dari rumah Dita. Setiap subuh, zuhur, dan magrib, ia selalu mengajak anak laki-lakinya ke musala. Puji dan dua anak perempuannya melakukan salat di rumah.

Dita tak pernah absen salat berjemaah. Sekalinya absen, itu karena ia sakit selama sepekan setelah Lebaran dua tahun lalu. "Rajin salat, tapi tak pernah sekali pun menjadi imam," kata Khorihan, yang juga takmir musala.

Menurut Khorihan, Dita dan putranya selalu datang setelah takbiratulihram atau takbir di awal salat. Mereka duduk di saf paling belakang. Ketika salat bubar, Dita dan kedua anaknyalah yang pertama kali beranjak dari musala.

Subuh pada Ahad pekan lalu, sebelum bom meledak di tiga gereja di Surabaya, Dita, YF, dan FH mendirikan salat di musala. Lagi-lagi, mereka datang paling akhir. Dita langsung bergabung dalam saf, sementara YF dan FH mengambil air wudu.

Tak seperti biasanya, seusai salat, Dita dan anak-anaknya tak bergegas pulang. Hari itu, jemaah musala melihat Dita memeluk kedua putranya. "Didekapnya erat-erat dua anaknya itu," ujar Abi, salah seorang yang menyaksikan peristiwa itu.

Rangkulan Dita tak lepas sampai mereka berjalan pulang dari musala ke rumah, yang jaraknya sekitar 50 meter. Sayup-sayup terdengar ucapan Dita kepada putranya yang menangis sesenggukan. "Ikhlaskan," katanya.

Raymundus Rikang, Artika Rachmi Farmita (Surabaya)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus