Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pekerjaan, ambisi, dan berbagai pilihan berat dalam hidup menjadi penyebab utama munculnya rasa cemas dan cenderung tidak produktif. Stres bisa dan harus dihindari karena beban pikiran terlalu berat dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut penelitian dari Universitas Harvard di Amerika Serikat, kecemasan dan stres berkaitan dengan berbagai risiko penyakit, seperti jantung, migrain, dan gangguan pernapasan kronis. Kondisi buruk lain, berdasarkan hasil penelitian, menyebut stres dapat meningkatkan kemungkinan penyakit autoimun, di mana kondisi kekebalan badan mengalami gangguan dan menyerang jaringan tubuh itu sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca juga:
Profesi dengan Tingkat Stres yang Super
Jangan Stres, Lihat Dampaknya buat Otak dan Tubuhmu
6 Cara Terbebas dari Stres
10 Cara Mengatasi Stres
Sebuah studi di Swedia menemukan orang-orang yang menderita gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan masalah kejiwaan terkait stres bisa meningkatkan penyakit autoimun. Melalui studi itu, peneliti mempelajari 106.464 orang yang didiagnosis dengan gangguan stres, sebanyak 126.652 saudara kandung mereka tanpa gangguan stres, dan lebih dari 1 juta orang lain tidak stres.
Mereka dapat melacak setengah dari orang-orang ini setidaknya selama 10 tahun. Selama penelitian, individu dengan PTSD, 46 persen lebih berpotensi mengalami peningkatan gangguan autoimun dan lebih dari dua kali kemungkinan meningkatnya tiga gangguan autoimun dibandingkan dengan orang tanpa gangguan stres.
"Stres emosional yang parah atau berkepanjangan menyebabkan perubahan dalam beberapa fungsi tubuh melalui disregulasi dalam pelepasan hormon stres," kata peneliti utama, Huan Song, dari Universitas Islandia di Reykjavík dan Institut Karolinska di Stockholm, Swedia.
Dia mengatakan ketika pasien PTSD meminum obat antidepresi yang biasa dikenal sebagai selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) selama tahun pertama setelah didiagnosis, bagaimanapun risiko meningkatnya gangguan imun tampak menurun.
"Pesan utama kepada pasien yang menderita reaksi emosional yang parah setelah trauma atau stres hidup lain adalah mencari pengobatan. Sekarang ada beberapa perawatan, baik obat dan pendekatan perilaku kognitif, dengan efektivitas yang terdokumentasi,"jelasnya.
Ilustrasi stres di kantor. Shutterstock
Peneliti mencatat kebanyakan orang mengalami trauma atau stres yang signifikan di beberapa titik dalam hidup mereka, termasuk kehilangan orang yang dicintai dan paparan berbagai bencana atau kekerasan. Sementara itu, banyak juga orang pulih secara bertahap namun beberapa orang memiliki penyakit kejiwaan yang parah dan permanen.
Masalah kekebalan sering dapat terjadi dalam keluarga. Peneliti hingga saat ini belum dapat memberi gambaran yang jelas tentang berapa banyak orang tua atau lingkungan hidup bersama yang bisa menjelaskan hubungan antara stres dan gangguan autoimun.
Ketika orang mengalami gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh menyerang sel yang sehat. Gangguan autoimun yang umum termasuk radang sendi rematik, lupus, kolitis ulserativa, penyakit Crohn, celiac, multiple sclerosis, dan diabetes tipe 1.
Peneliti menilai sekitar 9 dari setiap 1.000 orang yang didiagnosis dengan gangguan stres dalam studi tersebut mengalami gangguan autoimun setiap tahun. Itu sebanding dengan sekitar 6 dari 1.000 orang dalam populasi tanpa gangguan stres, dan 6,5 dari 1.000 saudara kandung.
"Agak mengherankan bahwa tidak ada perbedaan besar antara saudara kandung dan populasi umum. Orang mengharapkan lebih banyak latar belakang karena genetik," kata Johnny Ludvigsson, peneliti di Universitas Linkoping di Swedia.
Menurutnya, hubungan antara stres dan gangguan autoimun lebih kuat untuk masalah endokrin seperti diabetes dan lebih lemah untuk kondisi kulit dan darah.
Kepala Penelitian Pusat Kesehatan Mental Kopenhagen, Denmark, Michael Eriksen Benros, menuturkan hasil penelitian tersebut menawarkan bukti baru dari cara-cara rumit otak dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, dan sebaliknya.
"Jelas ada interaksi dua arah antara sistem kekebalan dan otak. Stres psikologis jangka panjang dapat mempengaruhi beberapa sistem tubuh termasuk tingkat hormon stres dan sistem saraf otonom yang mengakibatkan gangguan fungsi kekebalan tubuh," kata Benros.