Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMBILAN penyidik Markas Besar Kepolisian RI menyisir ratusan berkas pasien di ruang rekam medis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana, Jakarta Pusat, pada Kamis dua pekan lalu. Dibantu beberapa tenaga medis, mereka mencari data 14 orang yang menjalani operasi transplantasi ginjal di rumah sakit pemerintah terbesar ini pada kurun 2013-2015.
Aparat menelisik rekam medis ke-14 pasien tersebut untuk penyidikan kasus dugaan jual-beli ginjal. "Butuh delapan jam bagi penyidik untuk mencari dokumen yang dibutuhkan," kata Kepala Unit Tindak Pidana Perdagangan Manusia Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri, Ajun Komisaris Besar Arie Darmanto, Rabu pekan lalu. "Data itu jadi kunci bagi kami."
Polisi membuka pengusutan skandal donor ginjal ilegal ini setelah menangkap tiga orang perantara jual-beli organ tubuh tersebut pada medio Januari lalu. Mereka adalah Kwok Herry Susanto, sebagai otak komplotan, serta dua kaki tangannya, Yana Priatna alias Amang dan Dedi Supriadi. Komplotan ini memperoleh Rp 300-500 juta untuk setiap ginjal yang mereka jual.
Arie menuturkan sepak terjang komplotan ini sudah terdengar sejak awal 2015, meski masih samar-samar. Waktu itu, polisi mendapat laporan ada beberapa desa di Kabupaten Bandung, persisnya di sekitar Kecamatan Majalaya, yang sebagian penduduknya hanya memiliki satu ginjal.
Tim kecil Badan Reserse Kriminal turun ke lapangan untuk menguji kesahihan laporan tersebut. Hampir dua bulan tim itu blusukan di wilayah yang berjarak tempuh tiga jam dari Kota Bandung tersebut. Tapi hasilnya nihil. Polisi gagal menemukan cerita detail tentang perdagangan ginjal. Penduduk Majalaya yang mereka temui hanya mengaku pernah mendengar desas-desus tentang penjualan organ ekskresi tersebut.
Gaya penyelidikan berubah. Polisi mencoba merangkul masyarakat lewat kegiatan bakti sosial, termasuk bagi-bagi bahan kebutuhan pokok. Pendekatan ini ternyata ampuh. Polisi mulai mengantongi nama-nama yang diduga sebagai korban perdagangan ginjal. Salah satunya pemuda berumur 19 tahun, sebut saja namanya Indra Sukmara, warga Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, yang berbatasan dengan Kecamatan Ibun.
Indra bolak-balik ke klinik dengan keluhan gampang kelelahan. Polisi menemukan petunjuk awal berupa rekam medis Indra dari sebuah balai pengobatan. Catatan itu menyebutkan Indra hanya memiliki satu ginjal. "Dari dia, kami mulai mendapat nama anggota jaringan Herry," ujar Arie.
Cerita Indra diperkuat kisah seorang tahanan Kepolisian Resor Garut. Lelaki yang terlibat perkara pencurian pada awal Januari lalu itu sering mengeluh sakit di area pinggang. Setelah dicek, tahanan ini ternyata hanya memiliki satu ginjal. Dia menjalani transplantasi pada November 2014. Klop dengan keterangan Indra, kesaksian tahanan pun mengarah ke jaringan Herry dan kawan-kawan.
Berbekal cerita dari dua "korban" itu, polisi menangkap Yana dan Dedi pada Jumat pekan ketiga Januari lalu di Garut. Sedangkan Herry diciduk di rumahnya di Jalan Pisces, Batununggal, Bandung, dua hari kemudian. Kini mereka mendekam di Rumah Tahanan Badan Reserse Kriminal Polri. Ketiganya dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 600 juta.
Pengacara ketiga tersangka, Osner Johnson Sianipar, berkeberatan dengan pasal yang disangkakan kepada kliennya. Menurut dia, seharusnya Yana dan Dedi dijerat dengan pasal yang lebih ringan. Sebab, keduanya hanya pesuruh. "Yang aktif adalah Herry," kata Osner.
Samar-samar, Dedi mengingat, pertemuan dia dengan Herry pertama kali terjadi pada pertengahan 2013. Keduanya bertemu ketika Dedi mengantar Herry ke rumahnya. Sehari-hari, Dedi bekerja sebagai penarik becak. Tanpa basa-basi, Herry menawari lelaki 42 tahun itu menjual ginjalnya.
Herry mengiming-imingi Dedi uang Rp 80 juta. Warga Desa Nanjung, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, ini seketika kepincut oleh tawaran Herry. Apalagi, kala itu, Dedi terlilit utang dari rentenir yang membengkak sampai Rp 42 juta. "Kalau mengandalkan hasil narik becak, enggak akan lunas," ujar Osner menceritakan kembali pengakuan Dedi. "Ambil jalan cepat saja."
Tak berapa lama, Herry mempertemukan Dedi dengan calon penerima ginjal di Jakarta. Namun Dedi mengaku tak ingat siapa penerima ginjalnya. Kala itu, ia diminta menandatangani surat pernyataan yang menyebutkan donasi ginjal tersebut dilakukan secara sukarela dengan niat menolong.
Setelah serangkaian wawancara dan cek kesehatan, Dedi naik ke meja operasi pada 27 Desember 2013 di RSCM Kencana—unit di bawah RSCM dengan tarif seperti rumah sakit swasta. Sepulang dia dari rumah sakit, uang habis untuk melunasi utang dan dipakai buat modal usaha, yang ujung-ujungnya gagal.
"Cerita sukses" Dedi melunasi utang sampai juga ke telinga Yana. Kebetulan keduanya berkawan. Pria 41 tahun itu pun tertarik pada kisah Dedi menjual satu ginjalnya. Kala itu, Yana pun terlilit utang sekitar Rp 30 juta. Ia lalu meminta Dedi mempertemukannya dengan Herry.
Yana mengaku tak ingat persis kapan terjadinya pertemuan pertama dia dengan Herry. Namun warga Kampung Kubang, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, ini masih ingat sewaktu menjalani transplantasi ginjal di RSCM Kencana, awal Mei 2014. Dia mendapat Rp 80 juta dari Herry. Sama seperti Dedi, dia menandatangani surat pernyataan yang menyebutkan ginjal itu diberikan tanpa pamrih.
Tak lama setelah operasi Yana, Herry memberi tahu dia dan Dedi bahwa di Jakarta banyak orang berduit yang mencari donor ginjal. Herry menawari keduanya menjadi makelar yang mencari "donor" organ tersebut. Masing-masing dijanjikan upah Rp 10 juta bila berhasil mencari satu donor. "Dedi dan Yana mau karena kebutuhan," kata Osner.
Sejak itulah Dedi dan Yana rajin bisik-bisik ke tetangga dan kenalan di desa terdekat. Bila ada pesanan dari Herry, Dedi dan Yana pun menawarkan peluang memperoleh uang dengan gampang kepada tetangga mereka. "Iming-imingnya uang Rp 75-80 juta bagi yang mau menjual ginjalnya," ujar Arie.
Meski masih bisik-bisik, Yana dan Dedi tak terlalu kesulitan mencari calon penjual ginjal. Di Kecamatan Majalaya dan sekitarnya, banyak keluarga yang hidup pas-pasan. Bahkan tak sedikit yang serba kekurangan. Kesulitan ekonomi, menurut Arie, menjadi alasan utama masyarakat di sana mau menjual ginjalnya. Apalagi mereka umumnya tak paham bahwa menjual ginjal itu terlarang.
Dedi dan Yana menyangkal jika mereka disebut aktif mencari calon penjual ginjal. Menurut Dedi, justru pemilik ginjal yang lebih sering datang menawarkan organnya untuk dibeli. Dalam beberapa kesempatan, Dedi mengaku meminta pemilik ginjal mempertimbangkan keinginannya. "Lama-lama, kami kasihan juga karena mereka butuh uang," kata Dedi.
Berapa jumlah korban kelompok Herry dkk ini belum terang betul. Kepada polisi, Herry mengaku telah "memetik" 14 ginjal dari Majalaya dan sekitarnya. Adapun Dedi dan Yana mengaku hanya menjadi perantara untuk 11 penjual ginjal. Sedangkan penelusuran polisi menemukan setidaknya ada 30 penduduk di sekitar Majalaya yang hanya memiliki satu ginjal. "Makanya, kami curiga ada sindikat lain," ujar Arie.
Berdasarkan pengusutan polisi, Herry merupakan pemain lama dalam jaringan perdagangan ginjal. Dia tak hanya bermain di Jakarta. Pada 2008, misalnya, Herry membawa seseorang ke Singapura untuk menjual ginjalnya. Menurut Arie, polisi masih menelisik dari mana Herry mendapat nama-nama pencari ginjal.
Kepada Osner, Herry mengaku sering nongkrong di sekitar RSCM. Bila melihat ada pasien yang bolak-balik cuci darah, Herry mulai mendekati si pasien atau keluarganya yang mengantar. Dia menjajaki kemungkinan si pasien melakukan operasi transplantasi ginjal. Bila nyambung, Herry menawarkan bantuan untuk mencarikan organ tubuh tersebut.
Lama-kelamaan, menurut Osner, nama Herry beredar di kalangan pasien pencari ginjal. Penerima ginjal yang pernah memanfaatkan jasa Herry membisikkan nama dia kepada pasien lain yang mencari donor ginjal. Penyebaran informasi secara getok tular itu, misalnya, terjadi ketika pasien lama yang sedang berobat jalan bertemu dengan orang yang berencana menjalani operasi cangkok ginjal.
Setelah menyepakati besarnya imbalan, calon penerima cangkok ginjal (resipien) umumnya meminta Herry memastikan dulu bahwa calon "donor" ginjal tak punya masalah kesehatan. Syarat yang biasa diminta misalnya calon "donor" punya golongan darah yang sama dengan calon penerima ginjal, tidak membawa penyakit turunan, dan tidak terjangkit penyakit menular seperti HIV/AIDS.
Untuk meyakinkan pembeli, Herry mengajak sebagian calon penjual ginjal menjalani cek kesehatan umum ke klinik di Garut atau Bandung. Jika hasil cek kesehatan bagus, Herry baru mempertemukan si pemilik ginjal dengan calon penerima. Herry kadang mengajak calon penjual dan pembeli ginjal beberapa kali makan di luar rumah. Menurut pengakuan Herry kepada polisi, selain agar saling mengenal, pertemuan ini penting untuk mencocokkan jawaban ketika pemilik ginjal dan calon penerima ginjal diwawancarai tim medis di rumah sakit.
Bila perlu, komplotan Herry akan mempermak tampilan luar pemilik ginjal agar lebih meyakinkan. Misalnya, sebelum dibawa ke rumah sakit, calon "donor" diajak potong rambut di salon agar tampak lebih segar.
Calon "donor" terkadang diminta berbohong tentang pekerjaan. Sebab, rumah sakit akan langsung menolak jika si pemilik ginjal merupakan pekerja kasar, yang akan meneruskan pekerjaannya setelah operasi. Biasanya kelompok Herry menyamarkan pekerjaan calon "penyumbang" organ sebagai sopir pribadi atau karyawan si penerima ginjal.
Herry juga selalu mewanti-wanti agar calon "donor" dan penerima ginjal menyimpan rapat-rapat kesepakatan soal uang imbalan. Ia pun meminta pemilik ginjal menandatangani surat pernyataan sukarela memberikan organ tubuhnya kepada resipien.
Selanjutnya, Herry meminta calon penerima mendaftarkan rencana transplantasi ginjal ke rumah sakit. Tahap berikutnya, calon "donor" akan diundang rumah sakit untuk menjalani wawancara. Jika lolos wawancara, pemilik ginjal akan menjalani cek kesehatan secara menyeluruh. Tidak semua rencana Herry cs berjalan mulus. "Ada yang ketahuan berbohong saat wawancara," kata Dedi.
Proses dari pendaftaran sampai naik meja operasi bisa memakan waktu dua bulan. Semua biaya operasi ditanggung penerima ginjal. Adapun biaya melatih dan mempermak penampilan calon "donor" serta biaya pengurusan dokumen pribadi dan cek kesehatan awal ditanggung Herry.
Keterangan Herry cs tentang proses yang panjang sebelum operasi itu berbeda dengan kesaksian salah satu korban sindikat ini, sebut saja namanya Jaya Kurnia. Ia mengaku hanya sekali pergi ke rumah sakit di Jakarta dan langsung menjalani operasi. "Setelah operasi, nginep tiga hari di rumah sakit untuk pemulihan, baru pulang," kata Jaya seusai pemeriksaan di Kepolisian Sektor Ibun, Senin dua pekan lalu. "Beberapa hari kemudian balik lagi untuk kontrol, tapi cuma sekali."
Menurut Arie, polisi masih mencocokkan keterangan para korban dan tersangka dengan data rekam medis yang mereka ambil dari RSCM Kencana. "Nanti bolongnya akan kelihatan di mana," ujar Arie.
Kepada penyidik, Herry mengaku kerap berkomunikasi dengan seorang dokter di RSCM. Meski begitu, Herry mengatakan dokter itu tak tahu ada uang untuk pemilik ginjal. Keterangan ini dibenarkan Osner. Kliennya menyebutkan sering mengontak dokter untuk berkonsultasi tentang kesehatan pemilik dan penerima ginjal setelah menjalani operasi. "Saya tak tahu komunikasi semacam itu berhubungan dengan perkara atau tidak. Itu tugas polisi mencari tahu," kata Osner.
Akhir Januari lalu, polisi memeriksa tiga dokter di RSCM Kencana. Menurut Arie, ketiga dokter ditanyai bagaimana prosedur transplantasi ginjal dijalankan. Yang diperiksa antara lain Ketua Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM Endang Susalit.
Direktur RSCM Czeresna Heriawan Soejono membenarkan kabar tentang pemeriksaan Endang dan dua dokter lainnya. Endang, sampai akhir pekan lalu, belum merespons permintaan wawancara yang dikirim Tempo melalui surat elektronik. "Semua keterangan harus satu pintu, lewat saya," ucap Czeresna.
Tanpa menunggu hasil penyidikan polisi, kata Czeresna, RSCM juga mengaudit rekam medis dan proses transplantasi 14 pasien yang berkasnya dicari-cari polisi. Hasil audit internal itu menyimpulkan tim dokter sudah menjalankan operasi sesuai dengan prosedur. "Jangan karena tempatnya di RSCM terus dokter di sini dianggap terlibat," ujarnya.
Syailendra Persada (Jakarta), Dwi Renjani (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo