Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH di Jalan Simprug Golf I Nomor 89 di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, itu lengang. Ke rumah mewah itulah enam petugas Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan datang pada Selasa pekan lalu. Tapi, seperti yang sudah diduga, yang ditemui hanya angin.
Rumah itu sudah kosong melompong. Yang dicari, Joko Soegiarto Tjandra alias Tjan Kok Hui, 59 tahun, sudah lenyap. ”Sudah sejak Rabu dua pekan lalu pergi,” kata Komali, satu dari dua petugas satpam yang kini menjaga rumah ”tak bertuan” itu. Istri dan empat anak Joko ikut menghilang.
Menurut Bayu Adinugroho, salah satu jaksa yang mendatangi rumah Joko, bos Grup Mulia itu sehari-hari memang tinggal di sana. Enam jaksa yang mendapat tugas menjemput Joko sempat menggeledah isi rumah selama sekitar satu jam. ”Nihil,” kata Bayu.
Kendati sehari-hari tinggal di situ, Joko terbilang tak pernah bergaul dengan tetangga. Gerbang pagar rumahnya hanya terbuka dan tertutup jika ada mobil masuk. ”Orangnya tertutup, jarang bertegur sapa,” kata Supardi, ketua RT setempat. Di kompleks Simprug ini Joko disebut-sebut memiliki dua rumah.
Sebagai pengusaha, bisnis Joko terhitung sudah menggurita. Anak Grup Mulia diperkirakan memiliki sekitar 40 perusahaan. Bergerak dari bidang properti hingga pabrik keramik, metal, dan gelas.
Grup Mulia didirikan Joko pada 1970 bersama tiga saudaranya, Tjandra Kusuma, Eka Tjandranegara, dan Gunawan Tjandra. Fokus pada bidang properti, Mulia kemudian dikenal sebagai pemilik, antara lain, perkantoran Five Pillars Office Park, Kuningan Tower, BRI II, dan Mulia Center.
Belakangan ia juga membangun Hotel Mulia Senayan, yang terletak tak jauh dari rumahnya di kawasan Simprug itu. Nama Joko makin berkibar setelah sukses merambah bisnis keramik dan kaca. Asetnya, sebelum krisis moneter pada akhir 1990-an, diperkirakan Rp 11,5 triliun.
Tak hanya bergaul dengan kalangan bisnis, pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat, itu juga merapat dengan para politikus. Joko dikenal sebagai salah satu penyumbang pundi-pundi partai yang pada zaman Orde Baru sangat berkuasa. ”Namanya memang tak pernah masuk struktur partai,” ujar seorang anggota Golkar yang enggan disebut namanya. Pada 2004, misalnya, Transparency International Indonesia menemukan sumbangan Rp 12 miliar untuk kampanye presiden yang digelontorkan dari kas Mulia.
Dengan Setya Novanto, yang saat itu Wakil Bendahara Golkar, Joko lantas mendirikan PT Era Giat Prima. Di sini ”sobatnya” itu menjabat direktur utama. Perusahaan ini, antara lain, bergerak di bidang jasa ”penagihan utang”. Selain mendirikan Era, Joko juga memiliki PT Persada Harum Lestari, yang salah satu bidang bisnisnya sama dengan Era.
Kedekatannya dengan orang-orang penting inilah yang, antara lain, membuat ia—bersama Setya Novanto—sukses ”mencairkan” hak tagih (cessie) Bank Bali sekitar Rp 900 miliar, yang berujung menggerojoknya uang negara ke kas perusahaannya, Era Giat, sebesar Rp 546, 5 miliar. Jumlah sebesar itu merupakan fee atas jerih payahnya.
Belakangan, pencairan itu ternyata penuh skandal. Joko mulai berhadapan dengan aparat hukum. Pada 2000 kasusnya mulai masuk pengadilan. Setelah sempat bernapas lega—lepas dari jerat hukum—akhirnya kini ia menerima kenyataan pahit: Mahkamah Agung menganulir putusan kasasi dan menghukum dia dua tahun penjara.
Joko, yang kini menghilang, diperkirakan ada di Papua Nugini. Setya Novanto menjamin Joko tidak kabur. Dalam ”kacamata” Setya, sobatnya itu hanya sedang beristirahat, menenangkan diri.
Anton Aprianto, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo